“A-apa yang... aku lakukan?” tanya Brina dengan sedikit tergagap.
Mendengar suara Brina yang tergagap, senyum miring Evan semakin meninggi. “Kamu yang pertama menggodaku, Brina.”
“I-itu cu-cuma... itu cuma alasan. Kamu tahu a-aku bertingkah seperti wanita murahan hanya untuk... untuk mencoba membatalkan perjodohan.” Jawab Brina dengan suara yang masih tergagap. Nafasnya semakin berat. Ketegangan begitu terasa dengan Evan yang begitu dekat dengannya. “Untuk itu aku datang menemuimu. Ucapanmu mengenai perjodohan kita. Aku ingin kamu membatalkan perjodohan. Katakan itu pada orang tuamu.” Ucap Brina.
“Kenapa kamu sangat ingin perjodohan kita batal?” tanya Evan.
“Aku sudah mengatakan alasannya tadi!” jawab Brina menggerutu. Dia memalingkan wajahnya, enggan lama-lama menatap wajah Evan. Namun Evan malah kembali menarik dagu Brina, memaksanya kembali agar tetap melihatnya.
Evan mendengus. “Bagaimana, ya? Aku tidak mau perjodohan kita batal.” Brina mendelik sebal. Evan yang melihat itu hanya tertawa pelan. “Aku sudah mendengar banyak tentangmu dan itu membuatku penasaran. Lalu setelah bertemu denganmu,..” Evan menunduk mengamati penampilan Brina. “Kamu tidak seburuk yang orang-orang katakan. Kita akan cocok menjadi suami istri.”
“Aku tidak mau menikah denganmu!”
Evan tidak tersinggung dengan penolakan Brina. Yang ada dia semakin bersemangat ingin terus menggoda Brina. Entah kenapa menggoda Brina begitu menyenangkan.
“Mungkin kita bisa mencoba untuk saling berkenalan lebih dulu. Semacam pendekatan.” Tawar Evan.
Brina menggeleng kencang. “Tidak!” Kemudian Brina mendorong tubuh Evan untuk memberinya ruang dan Brina keluar dari kungkungan Evan. “Kamu...” tunjuk Brina pada Evan.
Evan dengan santai membalikkan badannya lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding sambil matanya terus tetuju pada Brina. “Aku serius. Setelah bertemu denganmu, aku cukup tertarik padamu.” Evan memang serius. Brina wanita yang cukup menarik di matanya.
Brina yang mendengar itu terlihat kesal. “Apa kamu sedang merayuku?”
“Aku tidak perlu merayumu. Aku bisa dengan mudah membuatmu jatuh ke pelukanku. Tidak. Kamu memang sudah jatuh ke dalam pelukanku.” Ucap Evan dengan percaya diri.
Mendengar itu, Brina mendengus geli. “Kamu begitu percaya diri sekali, Tuan. Kamu bahkan bukan tipeku sama sekali.” Tatapan Brina berubah dari tajam menjadi tatapan menilai melihat Evan.
Wajah Evan mengeras. Tatapan Brina yang menilainya membuat Evan tersinggung dan itu cukup melukai harga dirinya. Wanita itu berani sekali telah membuat seorang Evan Wilde kesal.
“Kenapa diam? Apa kamu merasa terluka karena aku menolakmu?” Brina tersenyum senang. Dia terlihat senang telah membuat Evan kesal dan berhasil membalaskan dendamnya.
Evan menegakkan tubuhnya seraya mengambil nafas berat. “Sedikit.” Lalu Evan melangkahkan kakinya, kembali mendekati Brina. Kali ini Evan menarik Brina ke arahnya hingga membuat wanita itu memekik kaget. Tangan Evan melingkari pinggang Brina, memeluk wanita itu dengan erat.
“Lepas! Apa yang kamu lakukan?!” Brina memberontak dalam dekapan Evan. “Evan!”
“Tidak pernah ada wanita yang menolak pesonaku.” Ucap Evan angkuh.
Tapi itu memang kenyataannya. Evan Anthony Wilde adalah salah satu bujangan kaya yang selalu menjadi incaran para wanita. Ketampanan dan wibawa yang ada pada Evan, membuat wanita mana pun ingin berkencan dengannya. Ditambah status Evan sebagai putra semata wayang dari Ivan Wilde, CEO Wilde Corp, dan Evan sudah dinobatkan sebagai pengganti ayahnya nanti.
Sifat Evan yang dingin dan sulit didekati, membuat dia menjadi pria yang semakin diidam-idamkan para wanita. Evan bukanlah tipe yang tebar pesona atau bahkan sering bergonta-ganti wanita. Dia tidak begitu tertarik berkencan dengan banyak wanita. Dia hanya beberapa kali berpacaran, itupun saat dia masih berstatus sebagai mahasiswa. Ketika dia lulus kuliah, dia tidak pernah ada waktu untuk melirik wanita. Dia fokus dalam mengejar karir dan bisnis ayahnya.
“Kamu ini sepertinya punya penyakit narsis.”
Ejekan Brina malah membuat Evan semakin lekat menatap Brina. Wajah Evan kini malah mendekat ke wajah Brina hingga deru nafas Brina terasa diwajahnya. Brina terlihat semakin gugup dengan aksi Evan.
“A-apa yang akan ka-kamu lakukan?! Evan! Lepas! Dasar mesum!” tanya Brina panik. Brina terus memberontak dengan Evan yang semakin mendekatkan wajahnya. Senyum miring tercetak jelas wajah tampannya. Brina semakin gugup.
“Aku akan membuktikan padamu bahwa aku bisa membuatmu jatuh padaku juga.”
Nafas Brina semakin berat dan tak teratur terlebih kini Evan malah mengarahkan bibirnya pada bibir Brina. Evan berniat ingin mencium Brina. Sementara itu, Brina semakin gugup dan berusaha melepaskan diri. Namun lengan Evan yang melingkar begitu kuat memeluk pinggangnya.
Deru nafas hangat keduanya sudah saling beradu. Evan semakin dekat mengarahkan bibirnya pada bibir Brina. Jujur saja, bibir Brina yang merekah cukup menggoda Evan dan sejak awal bibir itu membuat dia sedikit tidak fokus.
“Ev-evan?” panggil Brina sambil menutup matanya.
Evan yang melihat itu malah mendengus geli dan segera menjauhkan diri dari Brina lalu melepaskan Brina dari dekapannya. “Apa kamu benar-benar berharap aku menciumu?” ujar Evan lalu tertawa pelan. Ternyata Evan hanya mempermainkan Brina dan melihat reaksi Brina yang gugup setengah mati karenanya, membuat Evan puas.
Brina membuka matanya. Deru nafasnya masih terlihat cepat. Dia menatap Evan dengan kening berkerut dan tatapan tajam. “Kamu benar-benar menyebalkan, Evan!” ucap Brina.
Evan merendahkan tubuhnya lalu duduk di sofa. Matanya menatap Brina dengan angkuh serta bibirnya masih menyunggingkan senyum menyeringai. Dia benar-benar puas sudah menggoda dan mempermainkan Brina.
“Kamu ini memang senang sekali mempermainkan wanita, ya.” Ucap Brina. Dia masih terlihat kesal. “Kenapa kamu harus berhenti? Kenapa kamu tidak meneruskan untuk menciumku? Hah?! Apa kamu memang tidak pernah mencium wanita?!” Tatapan Brina kini berubah terlihat seolah mengejek Evan. “Kamu memang tampan tapi hanya tampan. Tidak ada yang lain. Aku yakin bahwa kamu hanyalah laki-laki sombong yang banyak menggoda wanita dengan kekayaan. Lagipula kekayaanmu semuanya adalah pemberian dari orang tuamu.”
Sudah cukup. Evan tahu kalau Brina mengucapkan itu hanya untuk menantangnya dan membalaskan dendamnya karena dia telah mempermainkan Brina. Tapi wanita itu sudah keterlaluan dan dia tidak bisa membuat wanita itu terus mengoceh dan melukai harga dirinya.
“Kamu hanyalah laki-laki sombong, licik, dan menye—“
Sebelum Brina menyelesaikan kata-katanya, Evan dengan kesal menarik tangan Brina hingga jatuh ke pangkuannya dan dengan segera bibir Evan menyambar bibir Brina, membungkam mulut wanita itu.
Malam semakin larut dan entah bagaimana, kedua insan itu juga semakin larut dalam bercumbu.
***
Kedua kelopak mata itu terbuka dengan susah payah. Sinar matahari yang bersinar begitu terang lewat jendela membuat Brina mengernyit. Bibirnya bergumam tak jelas seraya memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pening.
“Uhhh.” Brina mengerang pelan. Dia meregangkan tubuhnya dengan perlahan. Entah kenapa seluruh tubuhnya terasa sakit dan pegal-pegal.
Matanya yang belum terbuka sepenuhnya itu menatap langit-langit kamar cukup lama seraya mengumpulkan kesadaran penuh. Brina memejamkan matanya sesaat sambil kembali meregangkan tubuhnya. Wajahnya seketika terlihat bingung saat dia merasakan selimut yang membungkusnya bergesekan dengan kulitnya begitu terasa jelas.
Seketika kedua mata Brina langsung membulat terkejut. Panik segera menyerangnya dan pikiran-pikiran buruk mulai memenuhi benaknya. Dia membuka selimutnya untuk mengecek dan sesuai dugaannya, dia telanjang di balik selimut itu. Helaan nafas kesal dan berat keluar begitu saja dari bibirnya.
Brina bangun dari posisinya. Matanya berkeliling memandang keadaan kamar hotel yang bukan menjadi tempat dia menginap bersama teman-temannya. Jika ini bukan kamarnya, lalu dimana dirinya? Kamar inap siapa ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di kepalanya. Brina tiba-tiba merasa sesak. Seketika bayang-bayang semalam mulai muncul di pikirannya. Bayangan Evan dan dirinya yang bertengkar semalam muncul di otaknya.
“Apa yang terjadi semalam?!” tanya Brina pada dirinya sendiri dengan nafas yang mulai memburu.
Pikirannya kacau. Ingatan semalam perlahan mulai terlihat dalam pikirannya. Dia tidak mau berspekulasi dengan apa yang terjadi semalam dengan Evan. Dia ingin mengkonfirmasi apa yang terjadi semalam tapi dia tidak juga tidak mau tahu jika sesuatu benar-benar terjadi.
"Ti-tidak mungkin... aku dan Evan... kita..."
Tubuh Brina membatu dan mulutnya membisu. Matanya menatap nyalang ke depan. Pikirannya terus mengingat-ingat waktu semalam. Hanya sebagian dari ingatan semalam yang bisa dia ingat. Dia mengingat semalam dirinya terlalu mabuk lalu mendatangi Evan. Dia ingat saat dia mengatakan sesuatu pada Evan meski tidak tahu apa yang dia katakan pada Evan. Setelah itu, dia tidak ingat apapun yang terjadi.
"Arghh!" Brina menunduk seraya memegangi kepalanya. Kepalanya terasa berat akibat dari minuman alkohol. Seharusnya dia tidak minum banyak semalam. Brina mendesah berat.
Brina cepat-cepat beranjak dari kasur dan mulai memunguti pakaiannya yang berserakan. Dengan kecepatan kilat dia memakai dressnya yang semalam. Matanya menangkap kaos dan celana yang biasa dipakai seorang pria. Dia semakin takut.
Dia takut jika apa yang dipikirkannya atas apa yang terjadi semalam benar-benar terjadi. Dia takut jika dia memang 'melakukannya' dengan Evan. Memikirkan itu semua semakin membuat kepalanya pusing.
Melangkah dengan hati-hati, Brina menololkan sedikit kepalanya mengintip ke ruangan tengah dan dia melihat sosok Evan sedang berdiri menghadap jendela balkon sambil menelepon.
Ini kesempatan bagus. Brina tidak mau Evan melihatnya dan dia juga tidak mau harus berhadapan dengan Evan setelah apa yang terjadi semalam. Meskipun dia masih belum tahu pasti apa semalam dia dan Evan benar-benar 'melakukannya'.
Perhatian Evan masih pada seseorang yang berada dalam telepon dan dengan posisi membelakangi. Setengah berlari kecil, Brina melangkah menuju pintu dan dengan cepat keluar dari kamar inap Evan.
Tanpa melihat ke belakang lagi, dengan kaki yang bertelanjang, Brina berlari cepat menuju lift dan segera menekan tombol untuk membawanya kembali ke kamarnya dan menemui kedua temannya.
Begitu sampai, Brina disambut cemas oleh kedua temannya, Tria dan Kesha. Wajah kekhawatiran begitu kentara dari wajah kedua temannya itu. Brina segera memeluk kedua temannya itu dengan erat. Dia merasa lega bisa bertemu mereka.
"Brina! Ya Tuhan! Kamu darimana saja semalam?!" ucap Tria dengan khawatir.
"Kami tidak bisa mencegahmu semalam. Apa kamu baik-baik saja?!" ucap Kesha yang juga mengkhawatirkan Brina.
"Guys!!" Brina memeluk keduanya semakin erat. "Maafkan aku." ucap Brina.
Tria yang pertama melepaskan pelukan Brina lalu dia memeriksa keadaan Brina. "Kamu semalam tidur di mana, Brina?"
"Aku dan Tria mengkhawatirkanmu. Aku takut terjadi sesuatu padamu!" ucap Kesha menimpali.
Brina hanya terdiam. Ingatan semalam masih terbayang-bayang di benak Brina. Hanya potongan-potongan kecil dan itu membuatnya frustasi. Dia tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya setelah pertengkaran, setelah dia mengatakan sesuatu pada Evan, setelah Evan dengan senyum liciknya mendekatinya dan merayunya.
"Brina! Kamu tidak kenapa-kenapa, kan?!" tanya Tria dengan cemas dan semakin cemas lagi melihat Brina yang hanya diam.
Kesha dengan cekatan menarik Brina masuk lebih dalam dan mendudukkan Brina di sofa. Tria segera menyodorkan segelas air dan Brina meminumnya sekali teguk. Tria dan Kesha saling berpandangan, heran dan cemas akan sikap Brina.
"Katakan sesuatu, Brina. Jangan diam saja!" ucap Tria.
Brina memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. Ingatan semalam perlahan dia ingat semuanya. Dia mulai mengingat saat pertama dia berbincang bersama Kesha dan Tria lalu tiba-tiba dia pergi menemui Evan dan berdebat masalah perjodohan dengan Evan. Dia juga sedikit mengingat bagaimana Evan yang menggodanya dan bagaimana Evan yang tiba-tiba saja menciumnya.
"Tidak mungkin!" gumam Brina pelan. Kedua temannya masih menatap Brina dengan cemas.
Evan menciumnya. Brina terus memastikan ingatannya lagi dan ingatan ciuman Evan dengannya semakin terasa jelas di pikirannya. Brina bahkan mengingat bagaimana semalam dirinya pun membalas ciuman Evan dan menikmati pergumulan mereka. Hingga ingatan saat Brina dibawa oleh Evan menuju kamar dan Evan kembali menciumnya lagi. Selanjutnya mereka 'melakukannya'.
"Sepertinya... kita memang melakukannya." ucap Brina dengan suara parau, dia masih ragu dengan ingatannya. Kepalanya semakin terasa berat.
"Melakukan apa, Brina?" tanya Kesha.
Brina menatap kedua teman dekatnya itu. "Aku pikir aku melakukannya dengan pria itu." ucap Brina.
Keisha dan Tria menatap Brina bingung. "Melakukan apa? Dengan siapa?" tanya Tria.
"Aku dan Evan... kita..."
"Evan? Jadi nama pria itu Evan? Apa dia berbuat mesum padamu? Iya, begitu?!" tanya Tria beruntun dan Brina hanya memiringkan kepalanya tak yakin. "Terus apa?! Ayolah beritahu kita!"
"Aku rasa, aku semalam bercinta dengan Evan."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Endang Yuliana
lanjut thor
2023-01-30
1