Pesta ulang tahun Brina yang diadakan oleh Salsa dan Ayahnya sudah selesai sejak satu jam tadi dan saat ini adalah ‘pesta setelah pesta’ di mana hanya Brina dan kedua temannya yang hadir. Hanya pesta perayaan kecil yang biasa Brina dan teman-temannya lakukan jika ada yang berulang tahun atau ada hal istimewa. Mereka biasa memesan kamar hotel lalu merayakan pesta kecil, memesan berbagai makanan dan minuman sambil bertukar hadiah dan saling bercerita.
Brina melampiaskan kekesalannya dengan meminum minuman keras. Entah sudah berapa banyak botol bir dan alkohol lainnya yang dia habiskan. Brina sudah menceritakan semua keluh kesahnya mengenai kencan butanya yang berantakan dan bagaimana Kakaknya, Salsa, yang mengomelinya. Ternyata Salsa mengetahui rencana Brina yang berpura-pura bersikap nakal demi menghancurkan perjodohannya.
“Sepertinya pria itu membuatmu benar-benar kesal.” Ucap Tria sambil menatap Brina simpati.
“Dia dengan licik dan mudahnya berbalik menyerangku. Dia juga bilang bahwa dia tidak akan membatalkan perjodohan ini.”
“Dia bilang apa?!” ucap kedua temannya dengan kompak. Mereka terkejut karena mereka tahu tidak ada satu pun pria yang mau meneruskan perjodohan setelah bertemu Brina dan bagaimana Brina bertingkah seperti wanita nakal untuk membatalkan perjodohan itu.
“Dia sudah tahu semuanya dan dia tetap ingin melanjutkan perjodohan kalian?!” tanya Tria. Tria merasa simpati terhadap Brina terlebih Brina tidak suka dengan perjodohan.
“Entahlah. Itu yang dia katakan bahkan sebelum aku pergi, dia terdengar mengancamku.” Tria dan Kesha menatap Brina dengan fokus. “Ck! Dia pikir dia punya kuasa apa sampai dia bisa mengancamku?! Huh!”
“Apa yang dia katakan?” tanya Kesha.
Brina menggeleng pelan sambil mendengus geli, menyepelekan ancaman Evan yang terakhir diucapkan. “Dia bilang bahwa jika dia melihatku lagi maka jangan harap bisa lepas darinya. Apa maksudnya coba?! Aku tidak pernah berharap untuk bertemu dengannya lagi!” ucap Brina penuh emosi. “Dia menyebalkan, bukan?!”
“Jika dia mengatakan itu, aku rasa dia tahu sesuatu tentangmu, Brina.” Ucap Tria.
Bukannya takut atau terheran-heran, Brina malah tertawa dengan kencang. Kedua temannya menatap Brina dengan bingung. Dia sudah gila karena minuman dan pria licik itu.
“Aku tidak takut. Jika memang aku akan bertemu lagi dengannya, maka aku akan menghajarnya.” Ucap Brina sungguh-sungguh. “Kalian pegang kata-kataku. Aku akan benar-benar menghajarnya. Berani sekali dia melawan Sabrina Davinian!”
Kemudian Brina beranjak dari ranjang lalu berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah pintu.
"Kamu mau kemana, Brina?" tanya Kesha. Kedua temannya pun ikut berdiri saat Brina beranjak dan mereka mengawasi Brina yang seperti akan pergi.
"Aku harus menemui pria itu. Aku harus memberinya pelajaran sekarang. Kebetulan dia menginap juga di hotel ini, jadi aku harus pergi menemuinya sekarang."
Tria bergegas mendekati Brina. "Kamu mabuk. Jika kamu ingin memberinya pelajaran, kamu bisa melakukannya di lain hari. Kondisimu tidak memungkinkan untuk menghajar dia, Brina." cegah Tria. Dia tidak ingin Brina terluka di saat Brina dalam keadaan mabuk.
"Lepas! Aku tidak mabuk." Brina menarik tangannya dari Tria lalu menampilkan senyum lebar sebagai bukti bahwa dirinya tidak mabuk. "Aku akan baik-baik saja. Aku hanya akan menemuinya sebentar lalu segera kembali ke sini." Brina dengan sudah payah memasang sendal hotel. "Aku juga harus mengambil baju gantiku yang tertinggal di kamarnya. Pria itu penyebab aku harus memakai baju ini dan akhirnya Salsa memarahiku." gerutu Brina.
Kesha dan Tria hanya tersenyum. "Besok lagi. Besok kita akan menemanimu untuk mengambil bajunya."
"Tidak! Aku harus membawanya sekarang lalu memberi pelajaran pada pria itu!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Brina berlari keluar kamar dan membuat kedua temannya berteriak memanggil namanya dan mengejarnya. Brina masuk ke dalam lift hingga membuat kedua temannya itu tidak sempat mencegahnya.
"Bagaimana ini, Kesha?" tanya Tria cemas.
Kesha menghela nafas. "Kita cukup berdoa saja. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi padanya. Kita juga tidak bisa melakukan apa-apa. Kita tidak akan pernah bisa mencegah Brina."
***
“EVAN!”
Teriakan seorang wanita menggema di sepanjang lorong itu. Dia berdiri di depan pintu kamar bernomor 207 sambil tangannya menggedor pintu kamar itu dengan keras.
“EVAN!! Buka pintunya!”
Dari dalam kamar itu, Evan yang baru saja memejamkan matanya beberapa menit itu terbangun dengan terkejut. Bibirnya berdecak kesal seraya tangannya mengurut bagian pangkal hidungnya. Dia lalu memeriksa ponselnya untuk memeriksa waktu. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh lima.
Evan bangun dari posisi tidurnya lalu mengambil posisi duduk. Matanya yang berat menatap ke arah pintu kamar dengan tajam. Suara wanita yang memanggil-manggil namanya terus terdengar disertai dengan suara pintu yang diketuk dengan keras.
Wanita gila mana yang berteriak di waktu tengah malam ini? Dan berani sekali dia meneriakkan namanya?
“EVAN!! Sialan kamu!" teriak wanita itu lagi.
Dia kemudian turun dari ranjang dan dengan segera keluar dari kamar menuju pintu keluar. Teriakan wanita itu semakin kencang dari luar. Evan membuka pintu dan matanya seketika membulat saat melihat sosok wanita yang berdiri di depan kamar hotelnya ini.
“Akhirnya kamu keluar, Evan!” ucap wanita itu setelah berhenti berteriak. Wanita itu berkacak pinggang sambil menatap Evan tajam.
Sementara Evan malah tersenyum miring menatap wanita itu. “Apa kamu sudah merindukanku, Sabrina?”
Brina mendengus sebal lalu tertawa. “Merindukanmu? Dalam mimpimu!” jawab Brina kesal.
Senyum Evan malah semakin lebar. Dia sama sekali tidak menduga Brina akan muncul secepat ini di hadapannya. Dia sudah tahu bahwa dia akan tetap bertemu dengan Brina lagi nantinya, tapi dia tidak menduga akan secepat ini. Dan Brina sendiri yang mendatanginya.
“Permisi.” Dua orang penjaga hotel tiba-tiba muncul.
“Kami mendengar laporan adanya keributan di sini. Apa ada masalah?” ucap salah satu dari kedua penjaga itu.
Evan mengerjapkan matanya dan baru menyadari bahwa orang-orang yang menginap di lantai yang sama sedang berdiri di luar menyaksikan dia dan Brina.
“Syukurlah ada penjaga di sini.” Ucap Brina. “Pak, saya ingin melaporkan adanya anca---“ Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Brina sudah ditarik oleh Evan dan dengan segera tangan Evan membungkam mulut Brina.
Evan lalu menatap kedua penjaga hotel itu. “Kami baik-baik saja. Maafkan pacar saya karena sudah membuat keributan.” Kedua penjaga hotel itu mengangguk pelan dan terlihat sedikit ragu. “Kalau begitu kami permisi.” Tanpa basa-basi lagi, Evan segera menarik Brina masuk ke kamar, meninggalkan kebingungan dari kedua petugas itu.
Brina diseret paksa masuk ke dalam kamar dengan mulut yang masih dibungkam oleh Evan. Hal itu membuat Brina terus memberontak di dalam dekapan Evan sambil terus berteriak meski tertahan karena terbungkam oleh tangan Evan.
Evan dengan susah payah berhasil membawa Brina masuk ke ruang tengah kamar hotel lalu melepaskan Brina di atas sofa. Brina yang terbebas dari Evan, segera bangkit dari sofa dan menjauh dari Evan. Tatapan Brina menajam menatap Evan.
“Berani-beraninya kamu menyentuhku!” pekik Brina.
Evan hanya diam lalu duduk di sofa. Iris coklatnya menatap dingin Brina. Dia memperhatikan Brina dengan seksama. Penampilannya terlihat acak-acakan. Brina masih memakai dress yang dipakainya saat kencan buta tadi. Rambutnya yang tergerai rapi sudah tidak rapi. Dia juga hanya memakai sandal hotel.
Evan sempat mencium aroma alkohol tadi dan sepertinya Brina sedikit mabuk. Dia bahkan tidak segan membuat keributan di tengah malam hanya untuk bertemu Evan.
“Ada perlu apa sampai-sampai kamu ingin bertemu denganku tengah malam gini?” tanya Evan dingin.
Brina menarik nafas dalam-dalam. Matanya kini memicing tajam pada Evan. “Aku ingin.. balas dendam padamu, Evan.” Evan memiringkan kepala bingung. “Kamu sudah menghancurkan rencanaku, Evan. Kamu harus membayarnya!”
Sudut bibir Evan segera tertarik. Lebih tepatnya menyeringai. “Aku tidak melakukan apapun.”
“Tidak melakukan apapun?! Haha!” Brina tertawa. “Lalu bagaimana dengan kamu yang sudah melecehkanku dan merendahkanku?!”
“Maksudmu saat kita berdua di sofa ini?” Tunjuk Evan pada sofa. “Kita sedang mengobrol. Lagipula kamu yang pertama mengajakku untuk ke kamar. Kamu yang pertama menggodaku, Brina.” Jawab Evan.
Brina menarik nafas dalam, tak terima atas jawaban Evan. “Kamu juga mengancamku! Tapi aku tidak takut!”
“Mengancam bagaimana?” Evan kemudian berdiri mendekati Brina dengan perlahan. “Mengancam bahwa aku tidak akan melepaskanmu setelah aku bertemu denganmu lagi? Mengancam bahwa kamu tidak akan bisa lepas lagi dariku?”
Brina melipat tangannya di depan. Tatapannya tajam menatap Evan penuh kebencian. “Apa maksudmu bahwa kamu akan menghancurkanku? Memangnya siapa kamu? Kita bahkan tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak memiliki rasa penasaran sedikitpun tentangmu. Kamu hanya pria kesekian yang akan aku lupakan. Perjodohan kita hanya percobaan saja karena aku sama sekali tidak berminat untuk menikah. Apalagi menikah denganmu.” Ucap Brina panjang lebar.
Jarak Evan dan Brina kini hanya beberapa langkah saja. Tatapan Evan terhadap Brina begitu dingin dan tak terbaca. Hening beberapa saat setelah penjelasan Brina dan mereka hanya saling bertatapan.
“Aku sungguh-sungguh mengatakan itu.” Ucap Evan. Kakinya mengambil langkah semakin mendekati Brina hingga membuat wanita itu mundur untuk menghindarinya.
Brina semakin tersudut sampai punggungnya menyentuh dinding. Evan dengan ekspresi dinginnya semakin mempersempit jaraknya dengan Brina hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Kepala Evan menunduk untuk menatap jelas wajah Brina. Tangan Evan terangkat ke atas, memegang dagu Brina dan memaksanya untuk menatap Evan.
“Aku sudah melepaskanmu seharusnya kamu tidak kembali. Kamu membuang kesempatanmu.”
Terlihat nafas Brina semakin berat. Mata Brina terkunci pada tatapan iris coklat tajam milik Evan. Evan memikat Brina dengan tatapannya, menguncinya agar Brina fokus padanya. Dia menyadari bahwa Brina masih terlihat cantik bahkan ketika make up di wajahnya sudah hilang. Iris coklat hitam itu menatap balik padanya dengan sayu. Evan merasa tenggelam ke dalam mata gelap Brina yang bersinar.
“Aku tidak akan membayar atas segala perbuatanku. Kamu yang seharusnya membayar atas perbuatanmu, Brina.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments