Bali (5)

Kelopak mata cantik itu terbuka perlahan-lahan. Hal yang pertama dilihat adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih. Kemudian dia bangun dari posisi baringnya seraya menarik napas perlahan.

Setelah itu matanya terpaku pada sosok pria yang berbaring terlentang di atas sofa. Pria yang selama beberapa hari ini selalu menemaninya dan merawatnya. Dia lalu turun dari ranjang dan seraya menarik tiang infusannya, dia mendekati pria itu. Evan Wilde.

Brina terus mengamati Evan yang masih terlelap. Pikirannya melayang mengingat kembali apa yang dilakukan Evan selama dia dirawat. Sikap Evan yang sama sekali tidak dia duga. Evan begitu cekatan merawatnya selama beberapa hari ini dan sikapnya yang menyebalkan itu menguap entah kenapa.

Bahkan pria itu juga mengurus segala perlengkapan kewanitaannya. Mengingat hal itu, Brina cukup malu sebenarnya tapi mau bagaimana lagi, hanya Evan yang berada di sampingnya saat itu. Sesekali Evan juga memarahinya jika dia bersikap ceroboh. Evan akan mencercanya dengan cerewet dan tegas.

Brina berjongkok menyetarakan pandangannya tepat di depan wajah Evan, untuk memperhatikannya. Harus Brina akui kalau Evan memang pria yang rupawan. Figur wajah yang blasteran, membuat ketampanan Evan di atas rata-rata orang Indonesia. Evan memiliki rambut tebal dan hitam legam.

Saat pertemuan pertama dengan Evan, jantung Brina sedikit berdebar ketika melihat Evan. Namun tetap saja, rupa Evan yang tampan tidak cukup berhasil menarik hati Brina.

Dari atas sampai ujung kakinya, semua bagian tubuh Evan rupawan. Bisa dikatakan bahwa proporsi tubuh Evan sangat ideal. Jangkung dan badannya cukup berotot, terbukti karena Evan cukup rajin berolahraga, terutama renang. Brina tahu karena atasannya itu selalu meluangkan waktunya untuk berenang selama di Bali.

Kalau Brina lupa-lupa ingat, saat malam pertemuan pertama dengan Evan, Brina sedikit mengingat dimana dia menyentuh tubuh kekar Evan, terlebih otot perutnya.

Brina segera menggeleng begitu kejadian malam itu teringat. Meski masih samar-samar, tapi Brina cukup mengingat sedikit detail pada malam itu.

“Sial!” Brina mengumpat pelan.

Kejadian malam itu kembali berputar di kepalanya. Bagaimana Evan menciumnya, mendambanya, dan memanjakan tubuhnya. Jantung Brina seketika berdebar terlebih melihat wajah terlelap Evan di depannya ini. Matanya tak bisa mengabaikan bibir penuh Evan yang pernah menjamah bibirnya.

Kepalanya kembali menggeleng keras. Semakin lama dia menatap Evan maka semakin cepat jantung Brina berpacu. Jangan sampai dirinya terbawa suasana hanya dengan menatap Evan.

Demi Tuhan, dia ini sedang sakit dan masih dalam proses penyembuhan. Bagaimana bisa dipikirannya terlintas ingin mencicipi bibir Evan lagi?

Brina mendengus kasar. Dirinya sedang linglung karena kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Lalu dengan gerakan cepat, Brina bangun dari posisi jongkoknya dan melangkah untuk kembali berbaring. Dia lebih baik beristirahat kembali untuk menyegarkan pikirannya yang sudah kotor ini.

Baru beberapa langkah berjalan, sebuah tangan kekar menarik tangannya dan membuat Brina kehilangan keseimbangan hingga berakhir jatuh di atas tubuh yang keras.

“Sudah puaskah memandang wajah tampanku ini?” tanya Evan tanpa membuka matanya.

Brina mengerling menatap wajah Evan. Entah bagaimana bisa, posisinya kini tengah telungkup di atas tubuh Evan. “K-kamu..” cicit Brina, entah apa yang coba ingin dia sampaikan.

Tersadar sedang berada di atas tubuh Evan, Brina mencoba untuk bangun, namun tangan Evan dengan cepat memeluk erat tubuh Brina dan membuat tubuh mereka berguling sehingga keduanya berbaring dengan menyamping dan saling berhadapan.

“E-Evan.. lepas.” cicit Brina.

Di atas sofa yang sempit dengan posisi yang berdempetan seperti ini, membuat Brina gugup. Apalagi kini wajahnya berhadapan tepat dengan wajah Evan, dengan jarak hidung mancung mereka yang hanya beberapa senti. Dia bahkan bisa merasakan hembusan napas halus dari hidung Evan menerpa wajahnya. Napasnya semakin memburu karena gugup.

Tanpa membuka matanya, Evan berucap, “Kamu harus istirahat yang banyak biar cepat sembuh.” Pelukannya pada Brina semakin erat hingga tubuh mereka semakin menempel.

Kedua sudut bibir pria itu tertarik ke atas. Senyumnya terukir dengan tipis. Hidungnya berada tepat di atas kepala Brina. Dalam kesempatan itu, Evan menghirup wangi buah dan vanilla yang menguar dari rambut wanita ini. Cukup untuk menenangkannya.

Brina tercekat. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Kepala Brina kini berada tepat di bawah ceruk leher Evan sampai dia bisa mencium bau harum kayu manis yang maskulin. Diam-diam Brina menghidunya. Aroma kayu manis yang menyatu dengan tubuh Evan cukup menenangkannya. Tanpa sadar Brina menghirupnya dengan kencang sehingga keluar hembusan napasnya yang kencang menerpa kulit leher Evan.

Tubuh pria itu langsung menegang saat merasakan deru napas hangat Brina yang berat menerpa kulit lehernya. Napas Evan mulai memburu. Tampak jelas urat-urat lehernya terlihat dan itu tak luput dari perhatian Brina. Evan berusaha tenang. Dengan posisi menempel seperti ini sangat membahayakan jiwanya. Namun alih-alih mendorong, kedua tangan Evan malah semakin erat memeluk tubuh Brina.

 “Bernapaslah dengan tenang, sayang. Aku bisa hilang kendali kalau kamu terus bernapas seperti itu.” Gumam Evan.

“Apa?!” Brina memekik pelan. Dia lalu berusaha melepaskan diri, tapi Evan tidak membiarkan hal itu. “Evan! Lepas! Kalau ada orang masuk gimana?!”

Mata Evan terbuka lalu menunduk menatap Brina. “Oh, jadi kalau tidak ada orang, kita pelukan gini gak apa-apa?” tanya Evan.

Seketika Brina langsung mendaratkan pukulan pada dada Evan yang membuat pria itu mengaduh karena terkejut.

"Kenapa kamu pukul aku?"

"Hentikan omong kosong kamu itu!" desis Brina lalu langsung bangkit melepaskan diri dari dekapan Evan. "Aku lapar."

Evan mengambil posisi duduk lalu lalu memeriksa arlojinya sesaat. "Aku sudah menghubungi Toni untuk mengantarkan makanan ke sini jam satu." Dia lalu melirik Brina. "Apa kamu sudah lapar sekarang? Aku bisa membeli makan sebentar ke kantin." ucapnya seraya beranjak.

"Eh..mmm, tidak usah." cegah Brina segera.

Brina tidak mau lagi semakin merepotkan Evan. Sikap dan tindakan Evan yang selalu siaga cukup membebankan Brina. Beban karena dia merasa tak enak hati membiarkan atasannya selaku 'bakal calon suaminya yang dia tolak mentah-mentah ini', berlaku baik padanya.

"Aku tunggu saja." setelah berucap, Brina langsung menuju ranjang dan berbaring.

Debaran jantungnya masih berdebar kencang akibat pelukan Evan tadi. Untuk itulah dia memilih berbaring agar menghindari interaksi dengan Evan.

Dia tidak akan membiarkan kemalangannya ini bergantung terus kepada Evan.

***

"Anda bisa pulang besok pagi."

Kata-kata dokter semalam membuat Brina bersemangat pagi ini. Begitu bangun, dia langsung bergegas mebereskan barang bawaannya. Kondisinya sudah lebih dari baik saat ini.

Brina bukanlah tipe yang mudah sakit, tapi sekalinya sakit, dia terserang penyakit berat. Untuk itulah hari ini adalah hari yang sangat ditunggunya setelah empat hari lamanya dia dirawat.

"Nona Sabrina."

Panggilan seseorang membuat kegiatan Brina terhenti. Dia menoleh ke asal suara dan mendapati Toni, sekretaris dari Evan, sedang berdiri di ambang pintu.

"Mr. Wilde memerintahkan saya untuk mengantarkan Anda kembali ke hotel." ucap Toni melanjutkan.

Brina hanya termangu lalu matanya memindai ke segala kamar inap vip yang dia tempati ini. Dia baru menyadari bahwa sosok Evan tidak ada di tempat.

Sejak hari pertama, pria itu selalu ada di sini menemaninya dan setiap dia terbangun dari tidurnya, dia selalu mendapati Evan sedang duduk di sofa entah sedang tidur atau mengerjakan pekerjaan kantor.

Namun hari ini, pria itu tidak ada. Jejak yang biasanya ditinggalkan berupa kertas berserakan entah itu dokumen penting, tidak tampak di atas meja. Atau segelas kopi hitam yang biasanya Evan minum pun, tidak tampak bekasnya.

Brina mengernyit dalam. Ketiadaan Evan yang tiba-tiba tepat di hari kepulangannya setelah dirawat, membuatnya bertanya-tanya.

"Apa ada urusan urgent?" gumam Brina dalam hati.

"Mari, Nona Sabrina."

Ucapan Toni mengembalikan Brina dari pertanyaan-pertanyaan soal ketidakhadiran sosok Evan hari ini di sampingnya. Ingin rasanya bertanya pada Toni, tapi ah sudahlah, toh Evan tidak ada urusan dengannya. Kemarin-kemarin Evan hanya bantu mengurusnya karena harus bertanggung jawab setelah membuatnya kelelahan.

Namun sepertinya, rasa penasaran Brina masih berlanjut bahkan setelah sampai di kamar hotelnya, yang kini diupgrade ke kamar suite room, yang mana kamar yang sebelumnya ditempati oleh Evan. Dan Evan tidak ada di kamar itu.

"Silakan beristirahat dengan baik, Nona Sabrina. Dan ini," Toni mengeluarkan secarik kartu nama. "Ini adalah nomor Sarah, yang ditugaskan sebagai asisten untuk membantu Anda."

"Asisten?" tanya Brina.

"Mr. Wilde memerintahkan Sarah, asisten kepegawaian di perusahaan untuk menjadi asisten Anda dan membantu pekerjaan Anda selama mengurus proyek vila Pak jeremy." jelas Toni.

"Tapi saya tidak butuh asisten. Saya bisa bekerja sendiri." tolak Brina.

"Anda tidak bisa menolak. Ini perintah langsung dari Mr. Evan Wilde. Berhubung Anda baru saja keluar dari rumah sakit, Mr. Wilde memastikan pekerjaan Anda tidak terlalu berat karena itulah beliau mengirimkan Sarah untuk menjadi asisten Anda."

Brina tersenyum kaku. Asisten? Entah dia merasa terbantu dengan adanya asisten atau tidak. Jujur, tindakan Evan untuk ini terlalu berlebihan sebagai atasan.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi." Toni menundukkan kepalanya sekejap lalu berbalik meninggalkan Brina di ambang pintu kamar.

"Hei!" Tanpa sadar Brina menyeru dan itu juga mengejutkan dirinya sendiri. Brina segera membekap mulutnya seraya memandang Toni yang kini berbalik menatapnya.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona Sabrina?" tanya Toni.

Brina melepaskan tangannya dari mulutnya lalu tersenyum kikuk. "I-itu.. Emm.. a-aku. . Maksudku, maksud saya.. Saya ingin bertanya." Toni membalas singkat seraya menunggu pertanyaan Brina. "Kemana Evan? Tidak! Eh.. Maksudku.. Maksud saya.. Evan.. Tuan .. Pak Evan k--"

"Beliau sedang ada urusan penting. Saya tidak bisa memberitahukannya dengan detail." balas Toni segera, memotong ucapan Brina yang gugup.

Brina tertawa canggung. "Ah.. Ya, terima kasih infonya. Kalau begitu, terima kasih. Ya. Terima kasih banyak."

Setelah menundukkan kepalanya dengan sopan lagi, Toni kembali melanjutkan langkahnya dan benar-benar meninggalkan Brina sendirian, dengan pikiran yang masih berkecamuk soal keberadaan Evan.

Brina mendesah berat lalu berdecak. "Kenapa aku harus peduli di mana dia?!" gerutunya pelan dan langsung masuk ke kamarnya yang baru.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!