Versus

"Aku tidak tahu Pengacara Sinaga mau bertindak sejauh ini." seru Andrew.

Brina menghela napas berat. “Aku juga tidak tahu kenapa dia harus memperpanjang lagi masalah ini.” Kemudian Brina mendengus geli. “Mungkin tindakanku waktu itu membuat Julius sialan itu dendam padaku.”

Andrew tergelak mendengarnya. “Ya, mungkin. Dia terkenal sebagai pengacara yang tidak mau kalah.”

“Kamu mengenal Julius?” Brina menatap Andrew yang sedang fokus menyetir, meminta jawaban.

“Secara pribadi tidak, tapi sebagai pengacara tidak mungkin tidak mengenal Julius. Dia terkenal di kalangan pengacara. Temanku pernah melawan dia saat di persidangan dan Julius memang pengacara yang cerdas namun dia terlalu ambisius. Sikapnya yang keras dan angkuh tidak disukai pengacara lain.” Jelas Andrew.

Brina mendengus kasar. “Hmmm. Aku sudah menduga sifatnya bagaimana.”

“Julius selalu ingin menang sendiri, maksudku semua orang ingin menang, tapi terkadang cara Julius untuk memenangkan kasus terkesan licik dan memaksakan. Apalagi saat dia melawan pengacara yang menurutnya tidak selevel dengannya.” Lanjut Andrew.

“Saat mediasi bersama, tidak ada yang berusaha saling merugikan satu sama lain. Firma hukumnya memberi suspensi yang sama sepertiku agar adil. Itu sesuai kesepakatan kedua pihak.” Brina berdecak kesal. “Meskipun aku tidak melakukan kesalahan apa pun, aku menerima suspensi yang diberikan perusahaan dan aku tidak melakukan apa pun lagi untuk menyerang Julius. Apalagi mencemarkan nama baiknya. Menyebut namanya saja sudah membuatku muak.”

“Kamu menyerang kantornya, Sabrina.” Andrew melirik Brina sekilas sambil tertawa mengejek. Brina hanya menatap Andrew kesal. “Yah, itu juga jadi sifat Julius. Dia tidak suka kesetaraan atau penyelesaian masalah dengan adil. Dia ingin agar lawannya benar-benar kalah. Seperti yang aku bilang tadi, Julius ingin menjadi pemenang satu-satunya. Mungkin karena itu Julius ingin membuatmu kalah dengan cara menggugatmu.”

Mendengar penuturan Andrew, Brina semakin kesal terhadap Julius. “Masalah ini bukan soal menang dan kalah, Andrew. Aku hanya ingin ada itikad baik dari pihak sana namun si pengacara sialan itu malah bertindak sendiri dan menjual rumah klienku yang masih dalam tahap pembangunan.” Ungkap Brina dengan kesal. “Pemilik baru langsung membongkar rumah itu yang sudah susah payah aku bangun selama empat bulan.”

Andrew menepikan mobilnya lalu berpaling menatap Brina. “Sudahlah. Kalau kamu kesal terus, Julius tetap tidak akan mencabut gugatannya. Tenang saja, aku akan menjadi pengacaramu dan membantumu, Sabrina.” Andrew memberikan senyuman hangat dan Brina hanya mengangguk pelan.

Brina memandang keluar mobil, memperhatikan sekitar. “Kenapa kita berhenti di sini?”

Andrew tersenyum lebar dan menjawab. “Tunggu di sini. Aku punya sesuatu untukmu.” Setelah itu, Andrew dengan cepat keluar meninggalkan Brina sendirian di mobil.

Brina dengan raut kebingungan hanya memperhatikan Andrew yang masuk ke sebuah toko. Tak butuh waktu lama, Andrew keluar dari toko sambil menenteng kantong kecil dan kembali ke mobilnya. Brina mengerutkan keningnya dengan bingung saat Andrew tiba-tiba menyodorkan kantong kecil yang dibawanya.

“Untukmu.” Ucap Andrew.

Brina mengamati kantong kecil berwarna coklat yang masih berada di tangan Andrew. “Apa ini?” tanyanya.

“Sebut saja hadiah.” Balas Andrew sambil tersenyum.

“Hadiah dalam rangka apa?” tanya Brina lagi.

Andrew tergelak sesaat. “Bisakah kamu menerimanya dulu? Tanganku pegal sedari tadi memegang ini.” Ucap Andrew dan Brina segera menerima hadiah itu.

“Ok. Aku akan menerimanya.” Ucap Brina lalu membuka kantong tersebut.

Isinya berupa lego dengan desain rumah kecil lengkap dengan hiasan pohon dan halamannya. Brina mengamati detail rumah lego itu dan begitu terkesan dengan susunan lego yang membentuk rumah. Hadiah kecil ini membuat senyum tipis Brina muncul. Andrew yang memperhatikannya merasa lega bahwa Brina menyukai hadiah pemberiannya.

“Terima kasih. Ini benar-benar bagus.” Ucap Brina dan memberikan senyuman.

Senyum Andrew semakin lebar. Dia sesaat terpesona dengan kecantikan Brina dan senyumnya yang menawan. Andrew berdehem sebentar, menyadarkan dirinya dari pesona Brina. “Hmm.. ini hadiah untuk... sebagai.. hmm.” Brina menatap Andrew terus dan hal itu membuat pria itu gugup. Andrew jadi terdiam. Dia terpesona kembali dan menatap Brina.

“Andrew? Kamu kenapa?” kening Brina mengerut dalam. Dia heran dengan sikap Andrew yang tiba-tiba diam. Sesaat, Brina merasa gugup. Andrew masih terus menatapnya dengan teduh. “Kenapa kamu menatapku terus seperti itu?” Brina tertawa gugup. Tatapan Andrew cukup membuatnya tersipu.

Andrew tak menjawab dan hanya tersenyum lalu menghadap ke depan dan mulai menjalankan mobilnya untuk mengantarkan Brina kembali ke kantornya. “Anggap saja itu hadiah kembalinya kamu bekerja dan hadiah karena mendapatkan proyek pertamamu.” Ungkap Andrew.

Brina mengalihkan pandangannya kembali ke pada hadiah lego pemberian Andrew. “Ya. Aku harap ini menjadi hadiah pertama dan terakhir darimu. Jangan membuatku menerima hadiah lain darimu.” Andrew tergelak dan mengangguk patuh.

Sepanjang sisa perjalanan menuju kantor Brina, mereka hanya diam. Brina tidak menduga Andrew akan tiba-tiba memberinya hadiah dari Andrew. Dia terkejut dan cukup senang menerimanya.

Beberapa menit berlalu dan akhirnya Andrew membawa mobilnya sampai dengan aman kembali ke gedung Wilde Construction Company. “Terima kasih karena sudah mau menerima ajakan makan siangku.” Ucap Andrew.

“Sama-sama. Aku juga ingin bertemu denganmu untuk mendiskusikan proyek vila. Terima kasih banyak karena kamu sudah memberitahuku bagaimana desain yang diinginkan ayahmu. Pak Jeremy memiliki selera yang bagus.” Balas Brina.

Andrew tersenyum. “Boleh aku bertanya padamu? Aku harap kamu tidak tersinggung dengan pertanyaanku.” Brina mengerutkan keningnya. “Apa kamu memiliki hubungan pribadi dengan Mr. Wilde?”

Brina mengangkat kedua alisnya lalu menghembuskan napasnya kesal. Pertanyaan ini lagi. Dia tidak mengira Andrew pun akan menanyakan hal yang sama. “Aku cukup tersinggung sebenarnya tapi aku akan tetap menjawabnya.” Brina menghela napasnya sesaat kemudian melanjutkan. “Aku dan Evan Wilde sempat kencan buta dan itu tidak berjalan mulus tapi saat itu aku tidak tahu bahwa pria yang kencan buta denganku adalah Evan Wilde yang mana atasanku sekarang.” Ungkap Brina jelas.

Andrew yang mendengar itu membelalakkan matanya terkejut. “Ke-kencan buta? Bagaimana bisa?”

“Hanya itu yang bisa aku beritahukan padamu karena aku tahu kamu tidak akan menyebarkannya pada yang lain. Ya, aku harap kamu tidak melakukan itu.” Brina segera keluar dari mobil Andrew. “Terima kasih atas tumpangannya, Pak Andrew.” Ucap Brina dengan sedikit kesal lalu berbalik untuk masuk ke dalam gedung, tak perlu menunggu jawaban balik Andrew.

***

Suasana tegang begitu terasa saat Brina tiba di lantai tujuh. Brina melangkah menuju ruangannya dengan bingung dan semakin bertambah bingung ketika dia melihat Pak Herman bersama seorang pria berdiri di depan ruangannya. Raut wajah tegang tampak di wajah Pak Herman. 

"Oh, Sabrina!" pekik Pak Herman begitu melihat kedatangan Brina.

"Ada apa ini, Pak? Kenapa bapak ada di depan ruangan saya?" tanya Brina heran.

Brina melirik ke arah pria yang berdiri tegak seperti tentara di depan ruangannya. Dengan kening yang berkerut, Brina mengamati pria itu. "Ms. Davinian." seru pria itu. "Mr. Wilde sudah menunggu Anda di dalam, Ms. Davinian." Pria itu mundur selangkah, memberi ruang untuk Brina masuk.

Brina termangu. Evan Wilde ada di dalam ruangannya saat ini. Dia tidak mengharapkan untuk bertemu Evan secepat ini. Apalagi di tempat kerja, Evan membuat semuanya berada dalam situasi yang canggung dan menegangkan. Terlebih dia masih kesal kepada Evan saat pesta penyambutan kemarin. Pria itu membuat Brina menjadi konsumsi gosip semua orang.

"Cepat masuk, Sabrina!" titah Pak Herman seraya mendorong Brina.

Belum sempat Brina ingin protes, menolak untuk masuk, Brina didorong cepat oleh Pak Herman yang membuatnya mau tak mau masuk ke ruangannya. Tatapannya langsung menajam saat melihat sosok Evan yang sedang duduk di kursi kerjanya.

"Nona Sabrina. Silakan masuk."

“Tuan Evan Wilde.” Sapa Brina dengan formal.

“Bukankah ini sudah lebih dari tiga puluh menit dari waktu makan siang yang ditentukan?” tanya Evan.

“Saya baru saja menghadiri pertemuan dengan Pak Andrew terkait proyek vila Pak Jeremy.” Jawab Brina.

Ekspresi Evan terlihat mengeras saat nama Andrew terdengar. Iris mata coklatnya menatap Brina tajam dan hal itu cukup membuat Brina gugup.

“Ada gerangan apa seorang direktur datang menemui langsung bawahannya seperti ini? Saya harap saya tidak melakukan kesalahan lagi. Mungkin Anda sudah mendengar bahwa saya baru saja masuk kerja dua hari setelah mendapatkan suspensi selama dua minggu karena saya berbuat masalah dengan Pengacara Sinaga.” Ungkap Brina dengan nada penuh sarkas.

Kehadiran Evan di ruangannya seperti ini sama sekali tidak diharapkan Brina. Kekesalannya terhadap Evan masih dan akan terus ada selama pria itu melakukan hal yang membuat Brina kesal. Dan dia sudah kesal karena Evan saat ini.

“Saya sudah membaca semua kronologi kasus antara kamu dengan Pengacara Sinaga.” Evan menyerahkan map berisi berkas kepada Brina. “Bagaimana tindakanmu untuk menghadapi gugatan Pengacara Sinaga?”

Brina membuka map tersebut yang berisi kronologi kasusnya dengan Pengacara Sinaga. “Besok lusa saya akan datang ke pengadilan untuk menghadiri mediasi dengan Pengacara Sinaga.”

“Saya harap kamu bisa mendiskusikan masalah kalian dengan baik. Jangan sampai nama baik perusahaan terseret karena masalah sepele ini. Apalagi kamu yang pertama memulai masalah ini dengan menyerang langsung Pengacara Sinaga ke tempat kerjanya.” Ucap Evan.

“Saya akan mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan damai. Kalau perlu saya akan mencoba untuk merayu Pengacara Sinaga untuk menarik gugatannya.” Jawab Brina.

Senyum menyeringai Evan muncul. Brina yang melihat itu mengerut heran. “Kamu sepertinya suka sekali melabrak orang secara langsung untuk membalaskan dendam.” Sindir Evan.

Brina seketika mendengus. Ucapan Evan sengaja disebutkan untuk menyindirnya dan sengaja membuat Brina mengingat lagi malam itu. Malam di mana Brina yang mabuk mendatangi kamar inap Evan dan melabrak pria itu hingga berakhir menghabiskan malam bersama. Pria itu tahu sekali cara untuk membuat Brina kesal.

Evan merogoh saku jasnya lalu mengeluarkan selembar kartu nama kepada Brina. “Hubungi Pak Randi. Dia pengacara perusahaan yang akan membantumu. Diskusikan semua masalah sebelum menghadapi Pengacara Sinaga. Saya tidak ingin kamu bertindak gegabah dan malah memperparah masalah.”

“Saya menyadari kesalahan saya. Saya juga sangat berterima kasih sekali Pak Evan mau membantu saya mencarikan pengacara untuk membantu saya, tapi saya sudah berdiskusi dengan baik bersama Pak Andrew dan dia bersedia untuk menjadi pengacara saya.” Ucap Brina.

Seketika itu juga ekspresi Evan menjadi dingin. Tatapannya menjadi sangat tajam pada Brina. Hal itu membuat jantung Brina berdebar cepat. Evan terlihat begitu menakutkan dan aura bossynya tidak bisa diabaikan.

Evan cukup membuat Brina ketakutan dengan tatapan tajamnya yang mengintimidasi. Benar apa yang dibicarakan orang-orang, Evan memiliki aura intimidasi yang kuat yang membuat lawannya seketika tak berdaya. Brina akui, Evan atasan yang cukup menakutkan.

Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan karena menolak pengacara pilihan Evan. Brina berdehem. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. “Hmm.. saya juga akan mencoba untuk.. berdiskusi dengan Pak Randi. M-mungkin.. dengan berdiskusi bersama dua pengacara, akan sangat membantu saya menyelesaikan masalah saya dengan Pengacara Sinaga.” Sial. Evan membuatnya tergagap. Brina menjadi kesal dibuatnya.

Bukannya menjawab, Evan malah membuat Brina tersentak dengan tindakan Evan yang tiba-tiba beranjak dari posisinya. Brina tak berani menatap langsung Evan. Dari sudut matanya dia menyaksikan Evan yang mulai berjalan memutari meja dan semakin mendekati posisi Brina.

Tubuh Brina langsung menegang saat Evan tiba di sampingnya. Entah apa yang akan dilakukan Evan terhadapnya. Brina benar-benar gugup saat ini.

Selanjutnya, Brina kembali dibuat terkejut saat Evan tiba-tiba saja memutar kursi Brina hingga membuat dia menghadap Evan. Kedua tangan Evan berada di sisi tubuh Brina dengan posisi wajah Evan yang begitu dekat dengan wajahnya. Dia hanya bisa diam tak berkutik.

“Sepertinya.. aku cemburu.”

“H-hah?” Kedua alis Brina naik karena terkejut mendengar perkataan Evan. Apa maksud perkataannya itu?

Kemudian, Brina melihat Evan tersenyum. Benar-benar tersenyum dan hal itu membuat Brina terpesona karena ketampanan Evan yang bertambah berkali-kali lipat.

“Aku harap ke depannya aku tidak mendengar kamu menyebut nama Andrew lagi. Aku cemburu. Kamu dengar itu?”

Setelah mengatakan itu, Evan menegakkan tubuhnya dan melenggang pergi meninggalkan Brina yang berada dalam keterkejutan.

Brina tidak salah dengar, kan? Evan cemburu?

 ***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!