Karena terlalu banyak pikiran, Bern akhirnya demam tinggi. Beruntunglah dia karena tadi Andreas singgah ke apartemen. Jika tidak, malam ini dia pasti akan kembali sendirian menahan sakit.
"Mau di bawa ke rumah sakit saja atau bagaimana? Tubuhnya Bern benar-benar sangat lemah sekarang," ucap Russel seusai memeriksa Bern. Dia lalu mengatur air infus yang baru saja dia pasang.
Panik melihat tubuh Bern yang tiba-tiba menggigil, tanpa pikir panjang Andreas langsung menghubungi Russel dan memintanya datang ke apartemen. Dia takut terjadi sesuatu pada sepupunya, jadi sekalian meminta Russel untuk membawa alat-alat medisnya. Dan benar saja. Setelah di periksa ternyata tekanan darah di tubuh Bern sangat rendah. Sepertinya pria ini benar-benar sangat menderita karena Amora. Hmmm.
"Aku tidak berani mengambil keputusan, Russ. Kau tahu sendiri bukan kalau Bern tak mau berhubungan dulu dengan keluarganya?" sahut Andreas sembari memijit pinggiran kepalanya.
"Iya aku tahu. Tapi ini kan ini demi keselamatannya juga, Yas. Paman Gabrielle dan Bibi Elea bisa menyalahkan kita berdua kalau sampai terjadi sesuatu hal buruk pada Bern!" ucap Russel mencoba meyakinkan Andreas kalau Bern benar-benar butuh perawatan yang jauh lebih baik lagi. Russel adalah seorang dokter, jelas dia tahu seperti apa kondisi orang yang sedang di tanganinya.
"Kalau begitu apa kau mau menanggung kebencian dari Bern? Mau kau tanggung jawab jika dia sampai mengamuk?"
Russel diam seribu bahasa. Benar juga. Beruang kutub inikan kelewat keras kepala, dia bisa jadi abu kalau berani menyinggungnya. Apalagi sekarang kondisi mentalnya tidak sedang baik-baik saja. Cari mati namanya kalau Russel tetap bersikekeh membawanya pergi ke rumah sakit. Hmmm.
"Aku sungguh tak mengira kalau rasa cintanya Bern pada Amora bisa sampai sedalam ini. Pantaslah dia begitu kecewa setelah tahu perbuatan Karl!" ucap Andreas sambil memandangi wajah Bern yang cukup pucat. Dia lalu menghela nafas, iba. "Tadi saat aku datang kemari, Bern muncul dengan keadaan menangis dan kaki berdarah. Di depan kedua mataku, Bern sama sekali tak ragu menunjukkan sisi terlemahnya. Dia terisak, merapat, bahkan mengeluh betapa dia tidak sanggup kehilangan Amora. Mungkin jika Bern yang kukenal dulu bukan sosok dingin yang irit bicara, aku pasti tidak akan seterkejut ini. Tapi Bern yang tadi aku lihat sangatlah berbeda jauh dengan Bern yang kita kenal. Itu sangat memilukan, Russ. Aku tidak bohong!"
Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Russel setelah dia mendengar cerita Andreas. Sebagai sesama pria, sedikit banyak Russel bisa memahami penderitaan yang sedang di tanggung oleh Bern. Karena secara tidak langsung dia juga pernah merasakannya selama bertahun-tahun, hanya saja cara mereka terluka tidak sama. Meski begitu Russel tetap menganggap penderitaan Bern sebagai sesuatu yang wajar. Bukankah pria juga di izinkan untuk menangis? Kaum pria juga masih manusia yang bisa merasakan sakit jika terluka. Jangan lupa itu.
Aku perlu memberitahu Russel tidak ya tentang wanita yang mirip dengan Amora? Ah, sebaiknya jangan dulu. Russel cukup dekat dengan Flowrence dan Bibi Elea, Bern bisa murka jika mereka sampai ikut campur dalam hal ini. Lebih baik aku tidak memberitahunya saja demi keamanan bersama.
"Amora ....
Bern mengingau. Bibir pucatnya bergerak pelan menyebut nama Amora. Russel dan Andreas yang melihat hal itupun hanya bisa diam sambil menghela nafas. Bahkan dalam sakit pun nama wanita itu masih tersebut dari mulut pria ini. Sebegitu berartikah sosok Amora di hidup Bern?
"Amora, sayang ....
Tak tahan melihat keadaan Bern, Andreas memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia butuh ruang yang luas supaya bisa menghirup udara sebanyak mungkin. Dadanya sesak.
"Bern, tenangkanlah dirimu. Amora sudah tenang di surga, jangan terus menyebutnya. Nanti dia sedih," bisik Russel di samping telinga Bern. Dia tak tega mendengarnya yang terus menggumam menyebut nama gadis itu.
Berharap kalau bisikan itu bisa membantu membuat Bern menjadi jauh lebih tenang, nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Alih-alih tertidur, Bern malah berontak kuat hingga membuat jarum infus terlepas dari tangannya. Hal ini terjadi dalam kondisi mata Bern yang terpejam, artinya alam bawah sadar Bern menolak akan apa yang tadi Russel bisikkan.
Sebegini dalamnya Bern menolak kematian Amora? Ya Tuhan, kasihan sekali dia. Bahkan alam bawah sadarnya pun tak mau menerima kenyataan ini. Benar-benar sangat kasihan. Kau sangat kasihan, Bern.
Karena Bern tak henti berontak, terpaksa Russel berteriak memanggil Andreas. Dia meminta Andreas memegangi tubuh Bern saat akan menyuntikkan obat tidur dan juga memasang kembali jarum infus yang terlepas. Setelah itu Russel ikut memegangi kakinya Bern yang tak henti menendang ke sana kemari.
"Russel, apa yang terjadi? Bukannya tadi Bern tidak seperti ini ya?" tanya Andreas sedikit kewalahan memegangi tubuh Bern yang terus bergerak. Dia lalu menatap tajam ke arah Russel yang tak kunjung menjawab. "Kau jangan macam-macam, Russel. Bern tidak sedang dalam kondisi bisa dipermainkan. Tahu!"
"Kau pikir aku segila itu sampai harus mempermainkannya apa?" sahut Russel jengkel. "Tadi aku memang membisikkan sesuatu saat Bern tak henti mengigau. Aku memintanya untuk berhenti menyebut nama Amora karena sekarang dia sudah tenang di surga. Tujuan aku melakukan hal itu adalah untuk membuatnya merasa tenang. Tapi siapa yang akan mengira kalau Bern malah berontak seperti ini. Aku doker, setiap tindakan yang kulakukan pada pasienku sudah kupelajari sebelumnya. Jadi kau jangan sembarangan menuduh!"
Andreas mengumpat kasar. Dia sadar telah salah bicara. Tak mau ada salah paham antara dia dengan Russel, Andreas mengalah dengan cara meminta maaf padanya. Meski kesal, Russel pun memaafkan Andreas. Mereka sama-sama sadar telah terpancing emosi karena panik melihat keadaan Bern yang seperti ini. Mereka khawatir.
Setelah hampir lima menit berjuang memeras tenaga, secara perlahan kondisi Bern berangsur-angsur tenang. Russel yang melihatnya pun segera memeriksa detak jantung dan juga tekanan darahnya. Sedangkan Andreas, dia jatuh terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya.
"Aku tidak percaya akan melihat hal semenyedihkan ini, Russel. Bern, sepupu kita, menjadi lemah dan tidak berdaya karena cintanya yang terlalu dalam pada seorang wanita. Di satu sisi aku senang karena dia mempunyai kesetiaan yang begitu tinggi, tapi di sisi lain aku sakit melihatnya yang dulu begitu kokoh kini bak roti yang mudah hancur. Apa kau juga berpikir hal yang sama sepertiku?" tanya Andreas.
"Kau tahu jelas seperti apa jawabanku," jawab Russel singkat. "Yas, kalau kau lelah sebaiknya kau pulang saja. Bern biar aku yang menjaganya sampai dia sadar."
"Tidak mau!" tegas Andreas menolak. "Selama bertahun-tahun dia sudah menderita sendirian di luar negeri sana. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkannya menderita sendirian lagi. Aku akan menginap!"
"Baguslah. Malam ini kita menginap bersama!"
"Baiklah."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Chesta Haydar
aku bangga melihat prsaysaraan mereka yg saling mendukung n menyemangati satu sama lain semoga sellu brsatu ya.
2023-06-04
0
Chesta Haydar
begitu sakitnya bernama kehilangan amora yg bc ikut sesek.
2023-06-04
0
linamaulina18
kesetiaan keluarga ma pada pasangannya d Ancungi jempol👍👍👍👏👏
2023-03-29
1