Tubuh Bern langsung luruh ke lantai begitu dia masuk ke dalam apartemen. Getaran yang sejak tadi sudah tertahan kini perlahan-lahan mulai membuatnya terisak tanpa suara. Pertemuannya dengan Renata membuat pertahanan Bern runtuh. Hatinya goyah.
"Amora, bagaimana ini. A-aku, Renata ... dia, dia sangat mirip denganmu. Bagaimana ini, sayang? Pikiranku goyah, aku mau dia sebagai dirimu. Apa yang harus aku lakukan?" ucap Bern risau. Dengan tangan gemetaran dia segera mengeluarkan ponsel dari saku celana. Setelah itu Bern memandangi wajah cantik Amora yang sedang tersenyum. Mirip. Mata, hidung, bibir, bahkan daun telinga Renata benar-benar sangat mirip dengan foto ini. Hal tersebut membuat mata Bern kian sembab. Dia tersiksa oleh rasa menekan yang membuat dadanya serasa di himpit batu besar. "Sayang, tolong beritahu aku apa benar Renata itu dirimu atau bukan. Jika bukan, aku berjanji tidak akan pernah lagi menemuinya ataupun mencari tahu tentangnya. Tolong aku," ....
Tok tok tok
"Bern, apa kau sudah pulang?"
Suara seseorang menyadarkan Bern yang sedang terhanyut dalam tangis. Namun, dia tak bergeming. Bern kesakitan, dia ingin sendirian.
"Bern, buka pintunya. Aku tahu kau ada di dalam. Jangan bersembunyi lagi kau!"
Suara itu kembali terdengar. Dan kali ini nadanya jauh lebih tinggi dari yang tadi. Namun, Bern masih tak kunjung bergeming. Matanya fokus menatap foto Amora, sedang pikirannya melayang pada Renata. Ah, dia bisa gila. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan dua orang wanita dengan bentuk yang sama persis? Sekalipun kembar, harusnya ada perbedaan di antara mereka. Tapi ini? Amora dan Renata hanya berbeda nama saja. Juga dengan kulit tangan mereka yang tak sama. Bern masih ingat jelas kalau tangan Amora ada banyak sekali bekas luka, sedang tangan Renata sangat mulus tanpa cacat. Walaupun kedua bukti ini cukup meyakinkan, tapi itu tak membuat Bern mau menerima begitu saja. Entah darimana datangnya dia seperti mendapat keyakinan kalau Renata adalah Amora, kekasihnya yang telah di anggap meninggal oleh semua orang.
"Baiklah. Kalau kau masih tak mau membuka pintu apartemenmu, maka jangan salahkan aku kalau mendobraknya!"
Braaakkk
Tubuh Bern tersentak. Seketika tangisnya terhenti saat orang itu dengan gilanya membuat gaduh. Merasa terganggu, Bern segera menyeka air mata di wajahnya kemudian berdiri. Untuk beberapa saat dia menyempatkan diri untuk menatap foto Amora sebelum akhirnya membuka pintu.
Ceklek
"Apa maumu?" Dingin Bern bertanya. Di tatapnya lekat-lekat wajah pria yang sedang tersenyum tanpa dosa di hadapannya.
"Hehehe, galak sekali. Siapa suruh kau lambat membuka pintu!" sahut Cio dengan entengnya. Dia lalu bersedekap tangan. "Ada apa, Bung. Matamu sembab. Kau menangiskah?"
"Bukan urusanmu!"
"Ck, jangan begitulah. Relaks."
Tanpa menunggu di izinkan untuk masuk, Cio dengan songongnya melenggang melewati Bern. Di hadapan beruang kutub itu dia memang memasang sikap konyol dan tidak masuk akal. Akan tetapi begitu mereka saling membelakangi, tiba-tiba saja ekpresi di wajah Cio berubah.
"Aku sudah beberapa bulan terakhir ini terus memperhatikan wanita dari keluarga Goh itu. Kau tidak salah jika menganggapnya sebagai Amora, karena akupun demikian. Dan ya, kedatanganku kemari adalah untuk membicarakan masalah ini setelah tadi aku sempat melihat kalian berdua di mall!" ucap Cio. "Bern, kita adalah saudara. Kalau kau merasa sungkan untuk membagi kesedihanmu pada yang lain, jangan ragu untuk datang padaku. Aku mungkin bajingan, tapi aku bukan seseorang yang akan diam saja melihat saudaraku ada yang menderita. Jadi ceritalah. Mari kita cari jalan keluar untuk masalah ini!"
Begitu Cio selesai bicara, Bern langsung berbalik kemudian menarik tangannya kasar. Matanya berkilat merah, marah dan juga syok.
"Kau bilang apa? Kau mengawasinya?"
Cio mengangguk. Dia santai saja di perlakukan seperti itu oleh Bern. Ayolah, Cio adalah anaknya Patricia dan Junio. Jadi mana mungkin dia gentar hanya karena gertakan kecil seperti ini. Apalagi dia tahu kalau kata-katanya barusan telah mengena di hatinya Bern. Jadi ya sudah. Mungkin ini adalah bentuk reaksi kekagetan Bern setelah mengetahui kalau selama ini dia tahu tentang Renata.
"Jawab, k*parat!" maki Bern tak sabar.
"Apanya yang harus di jawab, Bern," sahut Cio santai.
"Kenapa, hah? Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal soal Renata? Kenapa?!"
"Karena kau menutup komunikasi dengan semua orang! Sadar Bung, sadar. Bagaimana caraku memberitahukan hal ini kalau kau saja tak tahu hilang entah kemana. Sebenarnya bukan hal yang sulit untukku bisa menemukan keberadaanmu, tapi tidak aku lakukan karena aku tahu kau sedang terluka. Lalu kebetulan tadi aku melihatmu sedang bersama Renata. Ya sudah, aku datang saja kemari!"
Bern tergugu. Amarah yang tadi menyelimuti dirinya perlahan mulai mereda. Dengan raut wajah yang tidak berdaya, dia memberitahu Cio kalau hatinya goyah.
"Aku harus bagaimana. Hatiku goyah, aku kalah dengan kemiripan di diri Renata. Tapi ... dia sudah menikah. Aku bahkan menggendong anaknya!"
"Jangan berasumsi dulu sebelum kau mengetahui kebenarannya!" sahut Cio. Ingin rasanya dia tertawa melihat beruang kutub ini begitu sedih. "Dari yang aku tahu, anaknya Tuan Max ini melahirkan anak tanpa mempunyai suami."
"A-apa?"
"Ya. Renata melahirkan seorang anak di luar pernikahan. Dan sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa ayah dari bocah itu!" ucap Cio sembari memasang seringai usil. Pandangannya kemudian tertuju ke arah gundukan milik Bern. Dia lalu berucap. "Aku jadi curiga jangan-jangan kau adalah pria yang telah menyumbang benih di rahim Renata. Benar tidak?"
"Omong kosong!"
Cio terkekeh. Dia menepuk bahu Bern kuat-kuat lalu menajamkan tatapannya. "Bung, kita ini berada di lingkaran keluarga yang bisa dengan mudah mengetahui segalanya. Daripada kau mati penasaran, aku sarankan sebaiknya lakukan tes DNA saja. Kau tangani kecocokan gen dengan bocah itu, lalu aku akan menangani Renata. Selama ini aku hanya memantau dari jauh karena khawatir Renata akan jatuh cinta padaku. Tapi karena sekarang kau sudah pulang, maka marilah kita bekerja sama. Namun dengan satu syarat!"
"A-apa?"
"Bekerjalah padaku. Aku dendam sekali melihat Karl yang semakin meroket tinggi dengan bisnisnya. Jadi kalau kau ada di pihakku, aku bisa mengalahkan pesona bajingan itu di mata para wanita. Aku merasa ternoda Bern setiap kali mendengar para p*lacur itu membangga-banggakan Karl. Jadi kalau kau mau masalah ini cepat selesai, maka kau harus bersedia membantuku. Bagaimana?"
"Enyah kau dari hadapanku!"
Sudah tahu orang sedang serius, begundal ini malah sibuk membahas tentang wanita. Bern sungguh tak habis pikir dengan kelakuan Cio. Sejak dulu wanita wanita saja yang dia pikirkan. Heran.
"Ck!" Cio berdecak. "Seminggu. Aku akan dapatkan semua informasi tentang Renata dalam waktu satu minggu!"
"Kau pikir aku tidak bisa melakukannya sendiri?"
"Kau terhalang restu Amora. Dan tadi aku yakin kau menangis karena merasa berdosa telah terpesona pada Renata. Iya, kan?"
Bajingan ini benar-benar brengsek!
"Nah, kau diam. Itu artinya kau setuju dengan kerjasama kita!" ucap Cio kegirangan.
"Kalau hasilnya tidak sesuai harapan bagaimana?" Bern resah. Di satu sisi dia ingin mengenal Renata lebih jauh, tapi di sisi lain dia takut menyakiti Amora. "Aku hanya mencintai Amora, Cio. Aku benar-benar hanya menginginkan dia di hidupku!"
"Ada tidak adanya Amora hidup akan terus berjalan, Bern. Kau harus sadar itu!" jawab Cio dengan tegas. Kali ini dia serius. Sungguh.
"Jadi?"
"Seminggu. Aku akan datang dengan semua informasi itu. Oke?"
"Oke."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Chesta Haydar
iya kmu gak salah bern dia amora percaya dgn hati keciomu bern.
2023-06-03
0
Alexandra Juliana
Yaaa namanya bibit dr Junio pasti di otaknya wanita, wanita dan wanita..Jd g ush heran lg Bern...
2023-04-05
1
linamaulina18
cio nh anknya Junio y sama cia
2023-03-29
0