Akibat dari perkataan ibunya, semalaman Renata tak bisa memejamkan mata. Dia tak henti berpikir keras apakah harus melakukan tes DNA antara Justin dengan Bern atau tidak. Renata merasa cara ini agak ambigu. Secara, dia dan Bern baru bertemu sekali, dan itupun mereka tidak mengobrol banyak. Masa iya dia tiba-tiba meminta izin pria itu untuk melakukan tes DNA dengan putranya. Kan aneh. Iya kalau Bern bisa memahami maksudnya. Kalau tidak? Apa Renata tidak malu sendiri jadinya. Hmmmm.
Tapi jika tes ini tidak dilakukan, ah, ya ampun. Apa sih yang sedang kupikirkan. Kenapa juga aku harus menuruti keinginan Ibu. Justin bukan anaknya Bern, aku tahu itu.
Tak mau berlarut dalam pemikiran yang bukan-bukan, Renata memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia langsung menuju dapur guna menyiapkan sarapan untuk keluarganya dan juga bekal untuk putranya. Walaupun di rumah ini ada pengasuh dan juga pelayan, Renata tetap ikut turun membantu. Rasanya kegiatan ini seperti sudah menjadi rutinitasnya saja. Jadi sekalinya bangun tidur, dia akan sibuk di dapur bersama dengan para pelayan.
"Selamat pagi, Nona Renata," sapa para pelayan yang sedang memilih sayuran.
"Selamat pagi kembali, Bi," sahut Renata dengan ramah. Dia kemudian ikut bergabung bersama yang lain.
"Nona, tuan kecil belum bangun ya?" tanya salah satu pelayan. "Apa tidak menangis kalau di tinggal sendirian di kamar?"
"Belum, Justin belum bangun." Renata tersenyum. "Mungkin kemarin dia menangis karena merasa bosan berada di rumah. Makanya sengaja membuat ulah untuk menarik perhatian kita. Dengan begitu kan dia baru akan di ajak jalan-jalan."
"Namanya juga anak-anak, Non. Pasti ada aja tingkahnya yang membuat orang menjadi gemas."
Renata dan para pelayan sama-sama terkekeh lucu saat membicarakan tentang kenakalan Justin. Hingga tanpa sadar suara tawa mereka mengundang perhatian si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar.
"Ekhmm-ekhmmm!" Max berdehem sambil menyender ke dinding. Dia menatap penuh curiga ke arah putrinya yang sedang asik bercengkerama dengan para pelayan di dapur. "Pagi-pagi begini kalian sudah asik saja bergosip. Apa sih yang menjadi topiknya? Jadi penasaran."
Renata menoleh. Dia lalu menggelengkan kepala, tak heran akan keusilan sang ayah.
"Ayah ini seperti tidak pernah muda saja. Selalu saja ingin tahu apa yang orang lain bicarakan. Dasar!" omel Renata. Dia bicara dengan nada bercanda.
"Memangnya kenapa kalau Ayah ingin tahu apa yang sedang kalian bicarakan. Tidak dosa, kan?" tanya Max.
"Dosa sih tidak, hanya aneh saja. Ayah itukan laki-laki, lain cerita kalau Ibu yang bertanya. Iyakan semuanya?"
"Nona Renata benar, Tuan," sahut para pelayan kompak membela nona mereka.
Max memutar bola matanya jengah. Sudah sangat hafal kalau semua pelayan di rumah ini tak pernah mau berpihak kepadanya. Saat Max ingin kembali menggoda sekumpulan wanita itu, terdengar suara tangisan Justin dari dalam kamarnya. Segera dia melesat bagaikan angin sebelum istrinya datang lebih dulu. Biasalah, Max dan Nandira bagaikan musuh bebuyutan setiap kali berebut cucu. Dan dia tidak akan mau mengalah meski Nandira datang sambil membawa samurai sekalipun.
"Haihhh, pasti Ayah tidak akan membiarkan Justin tidur lagi," keluh Renata yang sudah sangat hafal dengan tabiat buruk sang ayah. Dia lalu menghela nafas, pasrah ketika suara tangisan Justin semakin kuat terdengar.
"Max, apa yang kau lakukan pada cucuku. Dasar kakek kejam kau!" teriak Nandira sambil berlari kencang menuju kamar cucunya.
"Kalian lihat itukan? Bagaimana mungkin Justin tidak besar kepala kalau neneknya saja selalu pasang badan untuk membela. Ya ampun," ucap Renata kembali mengeluhkan sikap orangtuanya. Yang satu suka mencari masalah, sedang yang satunya lagi selalu pasang badan tak peduli putranya salah atau tidak.
"Kalau kata orang tua zaman dulu, kasih sayang mereka terhadap cucu itu seribu kali jauh lebih besar dari kasih sayang yang mereka curahkan untuk anak sendiri. Seperti halnya dengan yang dilakukan oleh Tuan Max dan Nyonya Nandira. Walaupun Justin terlahir tanpa seorang ayah, mereka tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Ini bukan saya lancang, Nona Renata. Namun saya hanya sedang menceritakan fakta lucu tentang hubungan antara cucu dengan kakek dan neneknya. Maaf jika perkataan saya ada yang membuat Nona merasa tak nyaman," ucap salah satu pelayan dengan sopan meminta maaf.
Mungkin jika yang mendengar omongan seperti itu bukan Renata, pelayan ini pasti akan langsung di tegur. Akan tetapi karena Renata sangat amat paham dan tidak mudah tersinggung, dia bisa menerima omongan tersebut dengan lapang dada. Toh yang di katakan oleh pelayan ini memang benar kalau Justin terlahir tanpa memiliki seorang ayah. Bukan tak memiliki sebenarnya, tapi Renata yang tidak bisa mengingat siapa orangnya.
"Kadang aku merasa sangat kasihan pada Justin saat dia menanyakan di mana ayahnya. Hatiku seperti di iris-iris, perih dan juga sangat sakit. Setiap malam menjelang tidur aku selalu bertanya-tanya sebenarnya siapa laki-laki yang telah membuatku hamil. Apakah orang ini adalah kekasihku atau aku hamil karena seseorang telah berbuat jahat kepadaku. Tapi mau sekeras apapun aku berusaha mengingat, aku tetap tidak menemukan jawabannya. Aku bingung harus melakukan apa," ucap Renata berkeluh kesah pada pelayan. Dia memang sering melakukan hal ini di kala hati sedang gelisah. Bagi Renata, pelayan yang bekerja di rumahnya sudah dia anggap seperti keluarga sendiri, makanya dia bisa dengan mudah berbagi cerita dengan mereka. Seperti sekarang contohnya.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Nona. Berusaha boleh-boleh saja, tapi Nona harus ingat masih ada Justin yang membutuhkan Nona. Jadi jangan sampai sakit. Ya?"
"Iya, Bibi. Aku tidak mungkin sakit hanya karena memikirkan soal ini kok."
"Kami khawatir,"
Renata mengangguk pelan. Dia lalu terpikir tentang niatan sang ibu yang ingin melakukan tes DNA pada Justin dan Bern. Karena masalah ini sempat membuatnya tak bisa tidur, Renata memutuskan untuk meminta pendapat dari para pelayan. Siapa tahu dari mereka Renata bisa mendapatkan jalan terang sebelum mengambil keputusan.
"Oya, Bibi. Kemarin saat aku dan Justin sedang jalan-jalan di mall, seorang pria asing datang menghampiri kami. Pria ini bernama Bern. Dia bilang wajahku dan wajah kekasihnya sangat mirip. Lalu setelah aku menceritakan hal ini pada Ibu, Ibu menyarankan agar aku melakukan tes DNA antara Justin dan Bern. Ibu menarik kesimpulan bahwa bisa saja Bern adalah ayah kandungnya Justin mengingat kalau aku mengalami hilang ingatan sejak kecelakaan tiga tahun silam. Menurut kalian bagaimana? Aneh tidak jika aku tiba-tiba meminta seorang pria asing untuk melakukan tes DNA dengan anakku?" ucap Renata sambil menatap satu-persatu pelayan yang ada di sana.
Ekpresi wajah para pelayan terlihat berbeda-beda setelah mereka dimintai pendapat oleh sang majikan. Setelah saling lempar pandang, salah satu dari mereka memutuskan untuk jadi perwakilan.
"Nona, menurut Anda sendiri kira-kira ada kemungkinan tidak kalau tuan kecil Justin adalah anaknya Tuan Bern? Em dari kemiripan wajah mungkin,"
Kedua alis Renata saling bertaut. Dia sedang mengingat-ingat seperti apa wajah Bern. Semalam karena masih canggung, Renata tidak terlalu memperhatikan seperti apa rupa pria itu. Dia hanya menatapnya sekilas saja.
Belum juga sempat Renata menjawab pertanyaan pelayan, Justin sudah lebih dulu keluar dari kamar. Bocah cilik itu menangis tersedu-sedu sambil mengadukan kalau neneknya tengah di aniaya oleh sang kakek. Renata dan para pelayan yang mendengar aduan itupun hanya menggelengkan kepala saja. Sudah tidak heran. Hmmm.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Chesta Haydar
jgn menyerah amora dengarkan kata hatimu.
2023-06-03
0
Asih Ningsih
iya memang benar kasih sayang seorg nenek pasti kasih sayangnya melebihi ama cucunya.
2023-02-09
1
Yunia Afida
semangat terus renata
2023-01-23
0