Seperti yang telah Cio janjikan, begitu Bern bersedia bekerja padanya dia akan langsung memerintahkan orang untuk mulai mencaritahu tentang Renata. Penyelidikan ini dimulai dari lokasi tempat kecelakaan yang terjadi tiga tahun lalu. Mengapa harus tempat itu? Karena Cio ingin. Hehehe.
“Ah, sabar dulu, sayang. Jangan buru-buru. Oke?” ucap Cio sambil menahan tangan wanita yang sedang menjalar ke area terlarang. Posisinya sekarang sedang kurang nyaman, jadi sentuhan tangan wanita ini membuat Cio merasa kesal. “Sh*t, kenapa harus miring sih. Jadi terganggukan sekarang?”
Saat Cio sedang sibuk dengan kesenangannya, ponsel di atas meja berdering. Awalnya dia abaikan, tapi dering ponsel itu tak kunjung berhenti. Hal ini tentu saja membuat Cio merasa jengkel sekali. Dia lalu memberikan uang pada wanita itu kemudian memintanya segera pergi dari ruangan. Walaupun Cio tak bisa hidup tanpa wanita, dia tetap tidak suka mereka berada di sekitarnya. Apalagi setelah Cio melihat siapa yang menelpon, semakin dia tak ingin ada orang lain yang mengetahuinya.
“Halo, Bern. Ada apa?” tanya Cio sambil menyilangkan kaki di atas meja.
“Aku menemui Renata pagi ini. Aku tidak tahan, Cio.” Bern menjawab sambil menghembuskan nafas berat. “Kapan kau akan menyerahkan informasi itu padaku?”
“Ya ampun. Baru juga aku bicara semalam, bagaimana bisa kau sudah memintanya sekarang? Sudah gila apa!” sahut Cio terkejut mendengar pertanyaan sepupunya ini. Dia lau mendengus, agak jengkel akibat janji yang di ucapkannya sendiri. “Bern, bersabarlah sebentar. Akukn sudah bilang dalam waktu seminggu aku baru akan mneyerahkan informasi tersebut. Ada banyak hal yang perlu di selidiki dulu kalau kau mau tahu.”
Hening.
“Dengar, Bern. Daripada kau sibuk mengejar-ngejar pekerjaanku, akan lebih baik kalau kau pikirkan saja cara agar bisa mengambil rambut anaknya Renata. Dengan begitu kau bisa membantu mempermudah investigasiku lewat hasil tes DNA kalian. Kan tidak lucu kalau aku bersusah payah mencari informasi tentang seseorang yang ternyata tidak ada hubungannya denganmu. Benar tidak?” ucap Cio mencoba mengalihkan perhatian Bern agar tidak mengganggunya dulu. Dan harusnya cara ini bisa berhasil. Harusnya.
“Bagaimana caraku mengambilnya kalau anak itu saja takut padaku. Renata bisa marah jika aku tiba-tiba membuat anaknya menangis saat mencabut rambutnya,”
Sudut bibir Cio berkedut. Tidak di sangka beruang kutub ini bisa bodoh juga gara-gara wanita. Cio pikir hanya dia saja yang mudah terbuai pada makhluk berdaging kenyal itu, ternyata Bern juga. Hahaha, lucu sekali. Cio jadi ingin tertawa.
“Renata memiliki usaha toko bunga. Nanti siang aku akan mengajakmu pergi ke sana. Nah begitu ada kesempatan, kau berpura-puralah bermain dengan anak itu. Lalu cabut saja beberapa helai rambutnya. Mudah, kan?”
“Kalau anak itu menangis bagaimana?”
“Bilang saja rambut anak itu tidak sengaja tersangkut di kancing baju. Begitu saja tidak tahu. Payah kau, Bern!”
Klik. Mulut Cio ternganga, tidak percaya kalau beruang kutub itu memutuskan panggilan secara sepihak. Benar-benar menyebalkan.
Tok tok tok
“Masuk!” teriak Cio agak kesal saat seseorang mengetuk pintu ruangannya.
Pintu terbuka. Seorang pria dengan wajah datar masuk ke dalam ruangan dengan di ikuti oleh dua orang penjaga di belakangnya. Cio yang melihat hal itupun hanya memutar bola matanya jengah. Dia kesal karena musuh bebuyutannya datang.
“Mau apa kau?” sengit Cio.
Karl diam tak menyahut. Dia berdiri di dekat jendela sambil memasukkan satu tangan ke saku celana.
“Cihhh, kalau kau datang hanya untuk menumpang melamun lebih baik kau pergi saja dari sini, Karl. Moodku sedang tidak mau menerima kehadiran siapapun selain wanita yang bisa memuaskan juniorku!” usir Cio sembari menurunkan kaki dari atas meja.
Walau musuh bebuyutan, nyatanya Cio tetap tak bisa mengabaikan kehadiran laki-laki menyebalkan ini. Dia pergi membuka lemari kemudian mengambil segelas vodka dan menuangkannya ke dalam gelas. Setelah itu Cio memberikannya pada Karl, sedang dia sendiri langsung minum dari botolnya. Cukup lama Karl dan Cio saling diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menikmati minuman.
“Kapan dia pulang?”
Akhirnya Karl membuka suara lebih dulu. Akibat kejadian tiga tahun silam, hubungan Karl dengan Bern menjadi sangat buruk. Mereka putus kontak, dan benar-benar tidak saling tahu kabar masing-masing. Karl sebenarnya bisa saja memerintahkan orang untuk mencaritahu tentang keadaan saudaranya itu. Tapi tidak dia lakukan karena tak mau Bern merasa terusik. Lalu semalam dia menerima laporan dari bawahannya kalau saudaranya itu terlihat muncul di sebuah mall. Yakin kalau Cio mengetahui kedatangan pria itu, Karl memutuskan untuk datang kemari.
“Belum juga seminggu Bern kembali ke negara ini, Karl,” jawab Cio. Kini raut wajahnya terlihat serius, tidak tengil ataupun menyebalkan seperti biasanya. “Kenapa? Apa kau berkeinginan untuk menyapanya lebih dulu?”
“Mustahil kulakukan. Jikapun mau, dia tidak akan mungkin mau menganggapku!”
Karl menoleh. “Saat Amora jatuh aku benar-benar tidak melakukan apapun kepadanya. Kami sedang bicara, lalu tubuhnya tiba-tiba oleng dan terjatuh dari lantai dua rumahnya Bern. Aku terkejut, hingga membuat sensor di tubuhku seperti berhenti bekerja. Itulah kenapa aku hanya diam saja tanpa melakukan tindakan apapun untuk menolongnya. Kau tahu itu, kan?”
Cio menghela nafas. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Posisi Karl saat kejadian itu terjadi benar-benar sangat menyulitkan karena banyak bukti menjurus kepadanya. Di tambah lagi dengan pengakuan Tuan Kendra yang menyebut kalau dengan diserahkannya Amora pada Bern adalah karena ancaman Karl. Jadilah hal ini semakin membuat posisi Karl terpojok, hingga merubahnya menjadi sosok dingin yang tidak tersentuh. Namun setiap kali membahas masalah ini, Karl seakan kembali seperti sosok dirinya yang banyak bicara. Seperti sekarang ini contohnya.
“Aku tahu aku tidak spenuhnya benar, aku akui itu. Tapi bukan berarti aku sudah tidak peduli lagi pada saudaraku. Bern dan Flow, aku sangat menyayangi mereka. Sungguh!”
Greeeppp
Nafas Karl memburu saat Cio memeluknya. Rapuh, itu yang dia rasakan sekarang. Dan hanya di hadapan Cio seorang dia bisa menunjukkan sisi lemahnya. Meskipun Cio adalah seorang bajingan, tapi hanya pria ini yang bisa mengertinya. Bahkan tak sekalipun pernah menyalahkannya atas apa yang terjadi di masa lalu.
“Jangan panik. Aku tahu kau tidak sepenuhnya bersalah dan akupun tahu kau sudah berusaha untuk memperbaiki diri. Yang sudah berlalu biarkan saja berlalu dengan sendirinya. Sekarang kau dan Bern jalani saja seperti yang sudah Tuhan gariskan. Aku tahu perkataanku tidak banyak membantu, tapi usahakanlah untuk tidak mengusik ketenangan Bern dulu. Saat ini dia sedang goyah. Seorang wanita telah membuatnya menjadi bodoh!”
“Wanita? Maksudmu Bern sudah mau membuka hati untuk wanita lain?”
Cio menggeleng. Dia mengurai pelukan kemudian meletakkan kedua tangannya di bahu Karl. Sebenarnya Cio belum ingin memberitahu siapapun tentang persoalan Renata. Tapi melihat Karl yang begitu tersiksa akan rasa sesalnya, membuat Cio jadi terpikir untuk ikut melibatkannya pada masalah ini. Siapa tahu dengan begini hubungan kedua saudara kembar itu bisa kembali akur seperti dulu.
“Karl, seorang wanita bernama Renata muncul dengan wajah yang sama persis dengan Amora. Entah karena mereka kembar atau memang itu adalah Amora, sekarang aku sedang menyelidiki masalah ini. Jika benar wanita itu adalah Amora, maka hubunganmu dengan Bern bisa secepatnya di perbaiki. Kau berdoalah saja semoga dugaanku bisa terbukti benar!”
“A-apa? Wa-wanita mirip dengan Amora?”
Ada apa ini? Bagaimana bisa ada kebetulan yang begitu mirip? Dan kenapa juga aku tidak mendapatkan firasat apapun soal ini? Kenapa?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Laili Dwi Agustina
cio memang" player girl /playboy cap kadal buaya buntung"tapi dia sebagai saudara tertua dia bijak dalam bersikap terhadap para sepupunya
2023-10-11
0
Chesta Haydar
mungkin trhalang karna ada Justin yg bisa melihat masa depan yg seperti kmu.
2023-06-03
0
Asih Ningsih
mungkin udh hilng karl
2023-02-09
1