Sambil membawa barang perlengkapan milik Justin, Renata terus berlari mengejar putranya yang tak mau diam. Padahal tadi Renata sudah mengingatkannya agar tidak berlarian, tapi tetap saja Justin melakukannya. Alhasil sekarang Renata jadi repot sendiri. Hmmm.
“Justin, ayo cepat kemari. Jangan berlarian seperti itu, Nak. Nanti kau jatuh!” seru Renata sambil meringis ngeri menyaksikan putranya yang berlari dengan sangat kencang.
Khawatir putranya terjatuh, Renata meletakkan semua barang bawaan di atas kursi tunggu kemudian berjalan cepat menuju putranya yang tengah menari-nari di belakang tubuh seorang pria. Jujur, sikap Justin hari ini sebenarnya mengundang satu kecurigaan aneh di diri Renata. Setelah tadi pagi merengek dan tidak membiarkannya keluar dari kamar, tiba-tiba saja Justin jadi tidak mau mematuhi perkataannya. Sejak keluar dari mobil, putranya itu terus saja membuatnya merasa kewalahan. Mulai dari berlari ke sana kemari, mengganggu anak gadis orang, dan bahkan sekarang berjoget di belakang seseorang yang tak di kenalinya. Padahal yang Renata tahu Justin itu selalu merasa tak nyaman setiap kali bertemu dengan orang asing. Tapi sekarang? Entahlah, Renata bingung.
“Amora,” ….
Samar-samar Renata seperti mendengar suara gumaman saat dia lewat di samping pria yang tengah diam melamun. Namun karena mereka tidak saling kenal, Renata acuh. Dia lalu menangkap Justin yang sudah bersiap pergi melarikan diri lagi.
“Kena kau ya. Dasar tukang kabur,” omel Renata sambil memeluk Justin erat. Di ciumnya penuh sayang pipi putranya yang terlihat begitu bahagia. “Apa kau begitu senang setelah membuat Ibu berlarian ke sana kemari, hem?”
“Sangat senang, Ibu. Justin senang sekali,” teriak Justin dengan hebohnya. Dia lalu terkikik kencang saat sang ibu menggelitik pinggang.
Ha? Ibu? Jadi Amora sudah menikah?
Terkejut akan apa yang di dengarnya, Bern segera berbalik menghadap belakang. Dia tertegun menyaksikan wanita yang begitu mirip dengan Amora tengah berjongkok sambil mendekap bocah laki-laki yang rambutnya sempat membuat Bern merasa gemas.
“Ibu, siapa Paman ini? Kenapa dia memelototi kita? Aku jadi takut,” bisik Justin kemudian menyembunyikan wajah di ceruk leher ibunya.
Segera Renata menoleh ke arah yang di maksud oleh Justin. Kedua alisnya mengerut, heran melihat sikap pria yang tadi menggumam tidak jelas. Merasa tak nyaman, Renata memutuskan untuk membawa Justin pergi dari sana. Dia tak mau kehadiran pria ini mengganggu kebahagiaan putranya.
“T-tunggu!”
Entah apa yang Bern lakukan. Dia reflek mencegah agar wanita ini tidak pergi. Walau tahu kalau sikapnya akan di anggap lancang, Bern memberanikan diri mendekati wanita ini kemudian mencoba berbicara dengannya.
“Maaf, Tuan. Aku tidak mengenal siapa dirimu. Dan putraku, kau menakutinya!” ucap Renata tanpa basa basi. Tapi dia bicara masih dengan bahasa yang sopan. Renata takut menyinggung pria ini.
“Nona, maaf. Aku sama sekali tidak ada niat untuk berbuat buruk padamu ataupun menakuti putramu. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui namamu? Aku tahu ini sangatlah lancang karena di antara kita tidak saling kenal, tapi tolong. Sekali saja tolong sebutkan siapa namamu. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggu kalian lagi. Oke?” sahut Bern langsung menyampaikan tujuannya. Dia pura-pura tak melihat saat bocah laki-laki itu mencuri pandang ke arahnya.
“Untuk apa kau mengetahui siapa namaku, Tuan? Kita tidak sedekat itu untuk saling mengetahui nama,” tanya Renata kian merasa tak nyaman akan permintaan pria ini. Beruntung suasana di lorong bioskop masih ramai. Kalau tidak, Renata pasti akan langsung berteriak meminta peertolongan dari security mall. Dia takut pria ini akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sungguh.
“Nona, namaku Bern, Bern Wufien Ma. Alasan kenapa aku menanyakan namamu adalah karena wajahmu sangat mirip dengan wajah kekasihku. Jadi tolong beritahu aku siapa namamu. Itu saja. Pleasee,” ….
Mungkin bagi orang yang pernah mengenal Bern, mereka pasti akan terheran-heran melihatnya memohon pada orang lain. Terlebih lagi orang lain ini merupakan orang asing yang baru pertama kali di jumpainya. Namun karena rasa penasaran Bern yang begitu besar, dia sudah tak mempedulikan lagi tentang harga dirinya. Satu hal yang paling penting. Bern ingin memastikan apakah wanita ini benar adalah Amora atau bukan.
Untuk beberapa saat Renata hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa setelah mengetahui tujuan pria ini ingin mengetahui namanya. Jika di tanya dengan sungguh-sungguh, dia sebenarnya amatlah risih jika harus menjawab. Akan tetapi Renata merasa kasihan setelah tahu kalau wajahnya di anggap mirip dengan wajah kekasih pria tersebut. Dan akan sangat keterlaluan sekali jika Renata memilih bungkam alih-alih memberitahunya. Hmmm.
“Nona, aku mohon. Tolong biarkan aku tahu siapa ….
“Renata.” Jeda sejenak. “Namaku Renata Goh. Dan ini adalah putraku, namanya Justin. Permisi.”
Begitu menyebutkan namanya, Renata buru-buru pergi dari hadapan pria itu. Dia bahkan sampai melupakan barang miliknya yang masih tergeletak di atas kursi. Renata terlalu takut untuk kembali ke sana dan mengambilnya. Jadi memutuskan biar sopir saja yang melakukannya nanti.
Namun, sepertinya takdir baik tidak sedang berpihak pada Renata malam ini. Saat sudah berada di dalam lift menuju lantai dasar, Renata baru tersadar kalau ponselnya tertinggal bersamaan dengan barang-barang itu. Dia lalu mend*sah pelan, bingung memikirkan bagaimana cara menghubungi sopir kalau ponselnya saja tidak ada.
Ya Tuhan, haruskah aku kembali ke sana lagi? Lalu bagaimana jika pria itu masih belum pergi? Aku takut, Tuhan. Aku tak nyaman ….
Seolah menyadari kalau ibunya sedang gelisah, Justin segera mengangkat wajahnya yang sejak tadi terus tersembunyi di ceruk leher. Dengan suaranya yang mulai parau karena sudah mengantuk, dia pun bertanya ada apa.
“Ibu, Ibu kenapa? Sedih ya?”
“Tida sayang, Ibu tidak sedang sedih. Ibu hanya panik saja karena semua barang-barang kita tertinggal di lantai atas,” sahut Renata sambil menciumi kening Justin. Dia lalu berusaha untuk tersenyum agar putranya tak merasa khawatir lagi.
“Kalau begitu ayo kita ke sana lagi, Bu. Justin masih kuat menonton kok."
Kalau saja di dalam lift tidak sedang ada orang lain, Renata pasti sudah tertawa mendengar celotehan putranya yang menyebut masih kuat menonton dengan kondisi mata yang sudah terkantuk-kantuk. Menggemaskan sekali.
“Ya sudah kita kembali lagi ke sana, tapi tidak menonton. Justin pasti lelahkan setelah berlarian ke sana kemari? Makanya sekarang mengantuk. Apa Ibu benar?”
Dengan polos Justin menganggukkan kepala. Setelah itu dia kembali memeluk ibunya, merebahkan kepala di bahu sambil berusaha agar matanya tak terpejam. Namun, bocah tetaplah bocah yang tak pernah sinkron dengan apa yang di pikirkannya. Tepat ketika pintu lift terbuka, kedua mata Justin terpejam. Renata yang mendengar suara dengkuran nafas putranya hanya tersenyum saja. Dia berpindah ke lift lain kemudian menekan tombol menuju lantai atas. Dengan hati yang berdebar-debar, Renata menunggu kapan lift ini akan sampai. Dan ….
Ting
Pintu terbuka. Hening. Renata terdiam seribu bahasa begitu melihat apa yang ada di hadapannya. Pria yang tadi mengaku bernama Bern saat ini tengah berdiri di depan pintu lift sembari membawa semua barang-barang miliknya.
“Nona Renata, kau meninggalkan barang-barangmu di atas,” ucap Bern sambil menatap Renata lekat. Dia lalu menyodorkan semua barang milik wanita ini. “Aku tadi bermaksud mencarimu keluar. Maaf jika tindakanku membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya ingin membantu mengantarkan barang ini saja.”
“T-terima kasih.” Terbata Renata bicara. Dia lalu mengambil semua barangnya dari tangan Bern. Tapi karena satu tangannya sedang memegangi Justin, beberapa dari barang itu jatuh ke lantai. Renata kesulitan.
“Boleh aku membantu?”
Bern menawarkan bantuan. Dan jujur, dia sangat berharap Renata akan menjawab iya.
“Tapi ini akan merepotkanmu,” ucap Renata tak berdaya.
“Tanganku kosong. Kau tinggal perintahkan saja apa yang harus kulakukan,” sahut Bern seraya menghela nafas lega.
“Umm … bisa tolong bantu gendong putraku tidak? Aku perlu menelpon sopir untuk menjemput kami di sini.”
“Baiklah.”
Dengan hati-hati Bern mengambil Justin dari pelukan Renata. Setelah itu dia menekan tombol menuju lantai bawah. Sembari menunggu Renata selesai menghubungi sopirnya, Bern diam-diam melirik ke arah dinding lift. Sungguh, wanita ini benar-benar sangat mirip sekali dengan Amora. Sama sekali tidak ada yang di buang, kecuali nama dan juga kulit tangannya yang putih mulus tanpa ada bekas luka yang tertinggal.
“Berapa usia Justin?” tanya Bern sesaat setelah mereka keluar dari lift.
“Tiga tahun,” jawab Renata. “Dan baru akan genap sekitar satu bulan lagi.”
Deg deg deg
Apa-apaan ini? Kenapa waktunya bisa sangat pas dengan kejadian yang menimpa Amora?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Chesta Haydar
iya bernama itu amora yg selama ini kmu tunggu2
2023-06-03
0
Alexandra Juliana
Krn skrg Justin bertemu ayahnya, makanya bertingkah konyol 🤭🤭
2023-04-05
0
Asih Ningsih
pasti kmu bisa merasakannya bern krn justyn putra kmu.
2023-02-08
0