Setelah Oliver membawa Flowrence pulang, Bern memutuskan untuk tetap berada di restoran sambil menunggu Cio menelpon. Rencananya setelah ini mereka akan pergi ke toko milik Renata. Dalam keheningan, Bern kembali menyumpah-serapahi perbuatan Karl yang tega mencelakai Flowrence hingga jadi seperti sekarang.
Tiga tahun lalu saat sang ibu berhasil menghalangi niat Bern yang ingin menembak Karl, bajingan itu dengan kejamnya mengaku kalau semua yang terjadi di keluarga mereka merupakan perbuatannya. Tapi pada saat itu Karl menolak untuk mengakui kalau dia telah mensabotase mobil yang membawa Flow dan Amora. Bern tentu saja tak percaya mengingat kalau bajingan itu adalah seseorang bermuka muda. Makanya tadi dia bertanya pada Flowrence tentang apa yang terjadi sebelum mobil terperosok masuk ke dalam sungai. Tapi sayang, dia gagal mendapatkan jawaban.
“Ck, aku benar-benar muak memikirkan hal ini. Kenapa tidak ada satu orangpun yang mau menjelaskan dengan gamblang padaku. Aku lelah terus bertanya-tanya seperti ini!” kesal Bern sambil mencengkeram gelas minumannya. Dadanya berdenyut.
Emosi, Bern berniat membanting gelas tersebut. Namun di saat tangannya hendak terayun ke atas, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Cio menelpon.
“Aku di luar. Cepat kemari!”
Klik. Tanpa sempat menjawab bajingan itu sudah lebih dulu mematikan panggilan. Bern segera mengusap wajah dengan kasar kemudian melangkah pergi dari sana. Dia abai saja ketika manager dan para pelayan restoran membungkukkan badan ke arahnya.
“Cepat sedikit, Bern. Jangan seperti putri keraton kau. Dasar lelet!” teriak Cio dengan kepala tersembul keluar dari jendela mobil.
“Aku tidak tuli. Jalankan saja mobilmu, aku akan mengikutinya dari belakang,” sahut Bern enggan mendekat begitu melihat kalau di sebelah Cio ada seorang wanita yang dandanannya sangat menor. Itu menjijikkan. Cihhh.
Tak lama setelahnya dua mobil beriringan pergi dari sana. Sambil mengemudi, pikiran Bern melayang pada cara apa yang harus dia gunakan agar bisa mengambil rambut Justin tanpa harus ketahuan oleh Renata. Jujur, seumur-umur dia hidup hal yang paling menegangkan adalah ketika dia pusing memikirkan cara hanya untuk mendapatkan beberapa helai rambut. Bahkan dulu ketika Bern melakukan tindak kejahatanpun dia tidak sampai setegang ini. Aneh, bukan?
Kalau benar Justin adalah putraku, maukah Renata untuk mengakuiku sebagai ayahnya? Usia Justin satu bulan lagi baru akan genap tiga tahun, sedang kejadian itu sudah lewat dari tiga tahun lebih. Jika hitunganku tidak salah, berarti saat kecelakaan itu terjadi Amora sedang mengandung. Ya Tuhan …..
Geram memikirkan hal tersebut, Bern mengirim pesan pada Cioa agar mempercepat laju mobil mereka. Mendadak dia jadi tidak sabar ingin segera bertemu dengan Justin, bocah lucu yang sempat membuat Bern terpana. Karena di desak oleh Bern, tak berselang lama mereka akhirnya sampai di sebuah toko bunga. Bern mengerutkan kening, tidak menyangka kalau usaha seperti inilah yang di jalankan oleh Renata.
“Bahkan papan nama tokonya pun di buat dengan warna putih. Tidak mungkinkan ini hanya kebetulan lagi," gumam Bern.
Cio keluar dari dalam mobil, tapi tak mengizinkan wanitanya ikut keluar. Segera dia menghampiri Bern kemudian mengetuk kaca. “Keluarlah, Bung. Sudah saatnya kau menjalankan misi. Ingat, jangan sampai gagal.”
“Hmmm,” ….
Di dalam toko bunga, Justin yang sedang sibuk mengacau diam-diam mencari celah untuk bisa kabur keluar. Dan ketika semua orang sedang sibuk merangkai bunga untuk seorang pelanggan, Justin berhasil menyelinap. Dia berlari kencang sekali sambil terus menoleh ke belakang. Justin takut ketahuan.
Bruukkkk
“Awhhhhhh!”
Renata dan para pekerjanya segera menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara teriakan. Segera dia tersadar kalau itu adalah suara putranya. Renata yang kala itu sedang memegang bunga tanpa pikir panjang lansung melemparkannya ke lantai kemudian berlari menghampiri Justin yang sedang menangis di gendongan seseorang.
“Justin, kau kenapa berteriak? Apa yang terjadi?”
Bern dan Cio kompak menelan ludah. Saat ini Justin sedang menangis sambil memegangi kepalanya. Hehe, kalian pasti penasaran bukan apa yang membuat bocah ini menangis? Yap, benar sekali. Tadi begitu Justin menabrak Bern, dia menggunakan kesempatan ini untuk mengambil beberapa helai rambut bocah tersebut. Tapi siapa yang akan menyangka kalau perbuatannya itu akan membuat bocah ini menangis kesakitan?
“Hikssss, Ibu. Paman ini mencabut otaknya Justin,” ucap Justin mengadukan apa yang terjadi.
“A-apa?”
Syok, Cio sampai memekik kencang saat mendengar Bern telah di tuduh mencabut otak anaknya Renata. Dia tidak mengira kalau bocah ini ternyata cukup tengil juga.
“Sayang, tidak boleh bicara seperti. Tidak sopan,” ucap Renata sembari mengambil Justin dari gendongan Bern. Jujur, dia kaget sekali saat tahu kalau pria ini muncul di tokonya. “Bern, aku minta maaf ya atas nama Justin. Dia masih anak-anak, belum terlalu paham cara bicara yang baik dengan orang yang lebih tua. Sekali lagi aku minta maaf ya,”
“Tadi dia berlarian dan menabrakku. Lalu rambutnya tak sengaja tersangkut di kancing baju. Mungkin itu yang membuat dia menangis,” sahut Bern mencoba beralasan. Dan begitu Justin berpindah ke gendongan Renata dia segera memasukkan hasil buruannya ke saku celana. “Aku baru tahu ternyata toko ini adalah milikmu, Ren.”
Sambil berusaha menenangkan Justin, Renata mengiyakan perkataan Bern. Tak lupa juga dia bertanya apa tujuan Bern datang ke tokonya.
“Sudah dua tahun aku menjalankan bisnis toko bunga. Lumayanlah untuk mengisi waktu sembari mengasuh Justin. Ya walaupun tidak terlalu besar sih,” ucap Renata. “Lalu kau sendiri darimana, Bern? Ingin membeli bungakah?”
“Aku dari restoran dan ingin kemari.” Bern terbatuk, merasa canggung karena terlalu jujur. Untung Cio menyikut lengannya. Kalau tidak, dia pasti sudah kebablasan bicara. “Maksudku aku dan temanku baru saja keluar dari restoran. Dia lalu mengajakku singgah di toko bunga ini larena ingin membelikan hadiah untuk kekasihnya. Orangnya sekarang sedang menunggu di mobil.”
Meskipun jawaban Bern terdengar sedikit ambigu, tapi Renata mencoba untuk tetap berpikir posistif. Mungkin saja Bern bersikap seperti ini karena wajahnya yang mirip dengan kekasihnya, jadi dia merasa gugup.
“Ibu, apa kepala Justin bolong?”
Pertanyaan Justin sukses memecah kecanggungan yang sedang terjadi. Sambil menahan tawa, Renata pura-pura memeriksanya. Dia lalu memberitahu Justin kalau kepalanya baik-baik saja.
“Paman, lain kali tidak boleh seperti itu lagi ya. Justin masih kecil, jadi Paman harus tunggu Justin dewasa kalau ingin mencabut otak. Oke?” ucap Justin sambil menatap seksama ke arah pria yang tadi menggendongnya.
“Iya,” sahut Bern patuh.
Kalau tidak sedang dalam misi, Cio bersumpah dia akan langsung bergulingan di lantai saking tak kuatnya mendengar percakapan aneh antara Bern dan Justin. Beruang kutub ini begitu patuh mengiyakan perintah Justin yang begitu nyeleneh. Karena tak mau ketahuan sedang menahan tawa, Cio memanggil seorang pelayan agar membungkuskan bunga untuknya. Dia lalu membiarkan Bern tetap bersama Renata dan juga Justin, mencari tempat yang sedikit sepi untuknya bisa melepas tawa.
“Ya ampun, aku tidak terbayang kalau Justin adalah benar anaknya Bern. Aku jamin dia pasti bisa muntah darah jika harus mendengar celotehannya yang aneh itu. Xixixixi,” ucap Cio sambil mengintip Bern dari kejauhan.
Sementara itu Bern dan Renata yang masih berada di depan pintu masuk toko, sama-sama bingung harus bicara apa. Keduanya hanya diam sambil mendengarkan ocehan Justin. Cukup lama mereka berada dalam kondisi seperti itu sampai akhirnya Cio mengajak Bern untuk pergi dari sana. Di tangannya ada sebuket bunga yang mereka jadikan alasan mendatangi toko Renata. Sungguh alasan yang sangat klise sekali. Hmmmm.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Chesta Haydar
iya pasti nya keturunan nenek ellea yg menggemaskan itu.
2023-06-03
0
Chesta Haydar
kepolosannya melebihi nenennya ellea cucumu lucu banget.
2023-06-03
0
Puspita Dewi
wahhh.. ini mah titisan nenek alea 🤣🤣🤣🤣🤣
2023-03-30
0