Amora Shin. Nama ini tertulis jelas di atas sebuah nisan. Walau tiga tahun telah berlalu, tapi ukiran nama tersebut masih terlihat sangat indah terawat. Sama seperti yang tertulis di dalam hati seorang pria tampan yang tengah menatap tak berkedip pada nisan tersebut.
"Amora Shin, kau pikir aku akan mempercayainya? Cih!" Bern mencibir sinis. Setelah itu dia berjongkok. Masih dengan ekpresi yang sangat sinis, tangannya mulai menabur bunga yang di bawanya. Tak lupa juga dia menyiramkan air ke atas makam sebelum akhirnya dia menghela nafas panjang. "Tiga tahun lalu aku dan Amora pernah mereguk kebahagiaan bersama. Kami mencinta dengan cara yang begitu indah. Dia mempesona, dia berkilau, aku suka itu. Lalu dengan semua keindahan yang dimiliki oleh kekasihku kau berniat merusaknya atas nama kematian? Omong kosong! Kau kira aku akan percaya begitu saja? Tidak akan. Amora-ku masih hidup. Kami hanya terpisah jarak, bukan dunia. Tahu kau!"
Mungkin jika ada orang yang melihat kelakuan Bern, orang itu pasti akan berpikir kalau Bern sudah gila karena kesal pada sebuah makam. Namun, anggapan seperti itu sama sekali tak akan di hiraukan olehnya. Orang-orang bisa berpikir demikian karena mereka tak merasakan betapa hancur dan menderitanya dia ketika di tinggal oleh Amora. Jadi Bern sudah tak mempedulikan hal-hal seperti itu. Tujuannya datang ke makam ini adalah untuk mengingatkan sosok yang tertanam di tanah kalau selamanya Amora akan selalu hidup di hati. Perasaan Bern tidak akan pernah berubah sekalipun takdir menyodorkan fakta kalau orang yang tertanam di balik makam ini adalah benar kekasihnya.
"Bern!"
Sebuah suara menghentikan Bern yang ingin kembali berbicara dengan makam. Segera dia menoleh ke belakang untuk melihat suara siapa itu.
"Bern?" Suara Elea terdengar mendayu-dayu. Matanya berkaca, tak percaya bisa melihat putranya lagi setelah tiga tahun berpisah. Dengan langkah yang sedikit terseok-seok, Elea bergegas datang menghampiri. "Bern, kenapa tidak bilang kalau kau kembali kemari? Ibu merindukanmu, Nak!"
Bingung, Bern hanya diam tak bergeming. Bohonglah kalau dia tak merindukan ibunya, sangat rindu malah. Akan tetapi kenangan tentang kejadian tiga tahun lalu membuat Bern mengepalkan kedua tangan sekuat mungkin. Masih sangat jelas di ingatannya bagaimana sang ibu yang lebih membela Karl ketika dia ingin menghabisinya. Wanita ini memeluk bajingan itu, bahkan memasang badan untuk melindunginya. Bern sebenarnya tahu kalau ibunya tak bermaksud memihak, tapi rasa sakit akan kehilangan Amora membuatnya merasa sangat kecewa. Itulah kenapa sekarang Bern bingung. Dia tak tahu harus melakukan apa pada wanita ini.
"Bern, kau masih marah ya pada Ibu?"
"Bu, siapa yang memberitahu Ibu kalau aku sudah pulang?" tanya Bern. Dia tak tega melihat raut sedih di wajah sang ibu. Jadi memutuskan untuk bertanya saja.
"Oliver," jawab Elea. Dia lalu memberanikan diri untuk menyentuh wajah putranya. Seketika bibir Elea bergetar, tak kuat menahan sesak di dada saat Bern menepis tangannya pelan.
Maafkan aku, Ibu. Aku tahu Ibu tak bersalah, tapi tangan ini pernah tergerak untuk melindungi bajingan yang telah menyakiti kekasihku. Aku harap Ibu bisa mengerti ....
Melihat ekpresi dingin di wajah Bern, Elea mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis. Dia tak bisa memaksakan kehendaknya untuk menumpahkan kerinduan karena saat ini Bern masih terselimuti amarah dan juga kekecewaan. Mencoba mencairkan suasana, Elea duduk di sebelah makam kemudian mengelus nama yang terukir di atas nisan. Amora, di mana gadis ini sebenarnya?
Yang kalian pikirkan benar. Dua bulan lalu Elea menerima penglihatan di mana dia bertemu dengan seorang wanita yang wajahnya mirip sekali dengan Amora. Namun penglihatan itu hanya sekilas, dan tak pernah dia dapatkan lagi sampai sekarang. Elea sebenarnya ingin sekali memberitahu Bern soal ini, tapi dia takut hal tersebut malah akan menambah luka yang belum mengering. Jadilah Elea hanya menyampaikan hal ini pada suaminya saja dan baru akan memberitahu Bern nanti setelah mendapatkan titik terang.
"Sayang sekali dulu Ibu belum sempat bertemu dengan Amora. Jika boleh tahu dia itu gadis yang seperti apa, Bern? Apa warna yang Amora suka?" tanya Elea.
Sudut bibir Bern tertarik ke atas begitu sang ibu menanyakan tentang Amora. Bak terbujuk, hatinya langsung luluh. Dia dengan senang hati menceritakan betapa Amora-nya dulu begitu cantik dan juga baik hati.
"Amora gadis yang sangat luar biasa baik, Ibu. Dia seperti malaikat, dan kecantikannya bagaikan bidadari. Walaupun kebersamaan kami terhitung singkat, tapi aku tahu semua hal yang di sukai Amora. Dia sangat suka memasak, dia suka mengikat rambutnya ke atas, dia juga sangat menyukai warna putih. Sama seperti hatinya yang bersih tanpa noda!"
"Benarkah?"
"Tentu saja. Kekasihku mana mungkin orang biasa saja. Bahkan dia adalah wanita terbaik dari seluruh wanita yang pernah aku kenal!" sahut Bern dengan bangganya.
Elea menoleh. Dia memasang wajah cemberut.
"Kalau begitu apakah Ibu ini tidak baik? Ibu tidak cantik?" Elea protes. Jarang-jarang putra sulungnya mau bicara sepanjang ini, jadilah Elea menggunakan kesempatan tersebut untuk memangkas jarak yang sempat terbangun.
"Ibu dan Flowrence adalah pengecualian. Sedangkan Amora, dia berbeda. Aku mencintainya. Dan sekarang harusnya dia sedang bersamaku menikmati kebahagiaan," sahut Bern dengan santai menjawab. Namun, setelah berkata seperti itu pandangan Bern tiba-tiba meredup. Dadanya kembali berdenyut begitu teringat kalau Amora tidak ada di sisinya.
Sadar akan apa yang terjadi, dengan cepat Elea mencari bahan pembicaraan yang baru. Dia tidak akan membiarkan putranya terus dilanda kesakitan. Elea ibunya. Dia akan melindungi Bern sama seperti saat dia melindungi Karl dari amarahnya.
"Oya, Bern. Kau tahu tidak akhir-akhir ini ingatan Flow banyak mengalami peningkatan. Setelah kecelakaan itu terjadi, tidak ada satupun ingatan yang tersisa di kepalanya. Tuhan seakan-akan menghapus semua itu, tapi beberapa hari ini Flow selalu saja bertanya di mana dirimu. Sepertinya ikatan batin di antara kalian telah membuatnya merasa gelisah. Apa kau akan membiarkan Flowrence menemuimu?"
"Aku ingin, tapi hatiku masih belum siap. Aku harap Ibu tidak memaksa," jawab Bern sambil mengeratkan kedua rahang. Dia menahan diri agar jangan menjawab iya.
"Baiklah Ibu tidak akan memaksa. Yang penting kau sudah tahu kalau Flowrence merindukanmu," ucap Elea maklum.
Bern membuang nafas perlahan. Dia lalu teringat dengan perseteruan antara Oliver dengan Russel. Penasaran, dia pun memutuskan untuk bertanya pada sang ibu.
"Bu, kemarin saat aku bertemu dengan Russel dan Oliver kenapa mereka terlihat tidak akur? Sebelum semua ini terjadi kan hubungan mereka baik-baik saja. Aku bahkan masih ingat dengan jelas saat mereka ikut masuk ke dalam sungai untuk menyelamatkan Flowrence. Tapi kenapa tiba-tiba mereka bermusuhan. Apa yang terjadi?" cecar Bern penuh rasa ingin tahu. Walaupun sudah mendapat feeling, tapi dia ingin mendengar penjelasan secara langsung. Bern tahu ada yang salah dengan kedua sepupunya.
"Hahhh, bagaimana cara Ibu menjelaskan padamu, Bern. Musibah yang menimpa Flowrence membuat hubungannya dengan Oliver merenggang. Kau tahu kan kalau Flowrence kehilangan semua ingatannya?"
Bern mengangguk.
"Sebenarnya Ibu tidak bisa menyebut ini sebagai kesempatan yang di curi paksa. Akan tetapi selama ini tanpa kita ketahui ternyata diam-diam Russel menyimpan perasaan lebih pada adikmu. Dan kebetulan dokter yang menangani terapi adikmu adalah temannya Russel. Dia lalu menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan perasaannya yang telah terpendam selama bertahun-tahun," ucap Elea lirih. "Flowrence menyambut perasaan Russel dengan penuh ketulusan, Bern. Inilah kenapa kedua sepupumu menjadi musuh!"
Tak di sangka di tiga tahun setelah kepergian Bern banyak sekali terjadi masalah yang tak di ketahuinya. Dan kabar ini merupakan kabar yang paling mengejutkan. Bern sama sekali tak menyangka kalau Russel ternyata menyukai adiknya. Padahal anak itu jelas tahu kalau Flowrence telah di jodohkan dengan Oliver bahkan sebelum mereka lahir. Lalu kenapa dia nekad?
"Bu, beri aku waktu selama beberapa hari untuk menenangkan diri. Setelah itu ajaklah Flowrence dan Oliver ke apartemenku. Aku perlu bicara dengan mereka!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
linamaulina18
kasian Russel karma yg tanggung atas ulah dr blok nya sndr si Jakson mntn pembunuh bayaran
2023-03-29
0
linamaulina18
kasian elea jd ibu srba salah posisi nya beet Karl n flow sama2 ank2 elea n iel
2023-03-29
0
Alexandra Juliana
Perasaan Bern yg meyakini Amora msh hidup begitu kuat, Amora msh hidup dan berubah menjadi Renata, krn kecelakaan yg menyebabkan amnesia Amora tdk mengetahui masa lalunya, Renata asli yg menghuni makam Amora Shin
2023-03-17
1