Setelah selesai Sholat Subuh dan berbincang-bincang dengan Kak Raga, kini aku memutuskan untuk keluar dari kamar setelah mendapatkan izin dari Kak Raga.
"Assalamu'alaikum?" sapaku kepada Mama mertuaku.
"Wa'alaikumsalam, Sayang." sahut Mama.
"Maafkan Nadhine ya, Ma! karena terlambat membantu Mama membuat sarapan pagi untuk kita." ucapku lirih, sambil menautkan jari-jari ku untuk menghilangkan rasa gugupku.
"Tidak apa-apa kok, Nak. Mama juga sudah terbiasa melakukannya sendiri. Kamu jangan merasa bersalah karena terlambat ke dapur ya? Mama juga tidak menuntutmu untuk harus ini itu di rumah ini, Sayang. Jadi kamu jangan merasa sungkan ya saat di sini, anggap saja rumah ini juga rumah kamu sendiri dan anggap kami juga seperti orang tua mu sendiri." ujar Mama sambil tersenyum.
Tak bisa ku pungkiri bahwa berada di tengah-tengah keluarga Hermawan membuatku semakin bahagia, karena aku dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangi ku dengan sepenuh hati.
Tanpa aba-aba, aku pun langsung berhambur memeluk Mama mertuaku. Ku tumpahkan semua rasa rinduku kepada Mama, sebagai pelampiasan rasa rinduku kepada Ibu.
"Loh, Sayang! Mengapa kamu menangis? apa terjadi sesuatu? apa Raga menyakiti mu? jika iya, katakan saja sejujurnya, Nak! biar Mama yang akan memberikan pelajaran kepadanya." tanya Mama sambil membalas pelukan ku.
Dengan cepat aku pun menggelengkan kepalaku.
"Tidak, Ma. Aku menangis bukan karena tersakiti ataupun terluka, akan tetapi karena aku sangat merasa bahagia saat ini. Karena aku sangat bersyukur, telah dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangi ku dengan tulus, Hiks... Hiks... Hiks..." jelasku kepada Mama.
"Ya Allah, Sayang. Mama kira Raga sudah menyakiti mu, jadi karena itu kamu menangis. Hem! ya sudah, daripada kamu menangis, lebih baik kamu bantu Mama untuk membangunkan adik kecilmu yang manja itu ya? Mama minta tolong! bisa 'kan, Sayang?" pinta Mama sambil mengusap lembut air mataku.
Kemudian aku pun menganggukkan kepalaku, lalu bergegas untuk naik ke lantai dua tepat di sebelah kamarku dan Kak Raga adalah kamar Risma.
Tok... Tok... Tok...
"Ris? bangun yuk! sudah pagi nih, ayo kita sarapan sama-sama. Semua sudah menunggumu di bawah!" seruku dari balik pintu.
Akan tetapi saat aku mencoba mendengarkan suara dari dalam, ternyata masih hening tanpa adanya sahutan dari dalam.
*Ceklek!*
Kini suara pintu terbuka, akan tetapi bukan pintu kamar Risma yang terbuka melainkan kamar Kak Raga.
"Lho, Sayang. Kamu ngapain berdiri di depan kamar Risma?" tanya Kak Raga yang merasa heran dengan keberadaan ku.
"Emn, ini Kak. Tadi Mama meminta tolong kepadaku, agar aku membantunya untuk membangunkan Risma, lalu mengajaknya untuk sarapan bersama." jelasku dengan polosnya.
Tiba-tiba Kak Raga pun terkekeh saat mendengar penjelasan dariku.
"Hahaha, mau sampai besok kalau cara kamu membangunkan si Beruang tidur itu dari luar juga percuma, Na. Dia tidak akan bangun semudah itu. Ayo! biar aku tunjukkan bagaimana cara membangunkan si Beruang tidur itu," titah Kak Raga agar aku mengikutinya.
*Ceklek!*
Kemudian Kak Raga pun masuk setelah pintu terbuka, lalu menggandeng tanganku untuk mengikuti langkah kakinya.
"Ayo, ikuti aku!" titah Kak Raga lagi.
Mau tidak mau aku pun mengikuti langkah kakinya.
Kemudian kami pun berhenti tepat di samping ranjang Risma.
Aku pun mengernyitkan dahiku, saat aku melihat Kak Raga yang mengambil jam weker berbentuk Doraemon yang berada di atas nakas, kemudian memutarnya sesuai dengan arah jarum jam saat ini.
Dan benar saja, jam weker itu pun berdering dengan kerasnya, lalu dengan gerakan cepat Kak Raga meletakkannya tepat di samping telinga Risma.
Kriiingg... kriiingg... kriiingg...
Aku yang mendengar suara jam weker dari jarak beberapa langkah saja menutup telinga, apalagi Risma yang dekat sekali bahkan hampir menempel. Apakah dia tidak terkejut dengan dering yang sangat bising itu?
"Ish! Kak Ragaaaaa!!!! Arghh!! Kebiasaan banget sih! Ganggu tidur ku saja!" pekik Risma sambil berteriak dengan kencangnya.
Tanpa aba-aba, Kak Raga pun menjitak kepala Risma.
"Tuukkk!"
"Aww!!! sakit, Kak! ih, nyebelin banget sih kalau Kakak di rumah. Pasti aku tidak pernah bisa menikmati waktu tidurku." gerutu Risma sambil mencebikkan bibirnya.
Aku yang melihat tingkah antara adik dan kakak ini, mengingat kembali tentang bagaimana aku dan Bima saat sedang bersama.
'Ah, mengapa aku jadi merindukan Bima? meskipun dia sangat menyebalkan, akan tetapi tanpa dia juga terasa sangat hampa dan sepi,' gumamku dalam hati.
"Makanya kalau setelah Sholat Subuh jangan tidur lagi! kamu tuh kebiasaan sekali sih, Dek. Seharusnya kamu tuh bantuin Mama masak di dapur. Bukannya malah enak-enakan tidur lagi. Apa kamu tidak kasihan sama Mama? jika nanti Kakak dan istri Kakak sudah pindah dari rumah ini? apa kamu akan terus menjadi gadis manja seperti ini?" tanya Kak Raga sambil menasehati Risma.
Aku yang mendengar setiap kata-kata yang terucap dari mulut Kak Raga, merasa bahwa kasih sayangnya kepada sang adik begitu sangat besar.
"Iya, iya. Risma bangun, Kak. Bawel banget sih jadi orang! Lihat tuh, Kak Nadhine aja dari tadi diam aja dan tidak sebawel Kakak." sewot Risma sambil melirik ke arahku.
Aku yang melihat tingkahnya, hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Risma Sayang, tolong dengerin nasehat Kak Raga ya? ini semua juga demi kebaikan kamu kok. Kamu belum mengenal Kak Nadhine saja, biasanya Kak Nadhine juga sebawel ini sama Bima. Karena dia juga sama seperti mu. Sedikit susah diatur dan dinasehati. Jadi jangan membantah apapun itu, jika itu untuk kebaikan mu. Karena Kakak juga pernah berada di posisimu, Sayang." jelasku dengan suara lembut.
Tiba-tiba saja raut wajah Risma yang awalnya suram kini berubah menjadi cerah.
"Nah, begini nih caranya kalau mau menasehati adiknya. Jangan sambil marah-marah dong, Kak!" sindir Risma sambil menatap tajam ke arah Kak Raga.
"Iya, iya. Yang mendapatkan Kakak perempuan baru, sekarang Kakak laki-lakinya dijadikan perbandingan ya? Bagus! Lanjutkan, Dek!" serunya sambil berlalu meninggalkan kami berdua.
"Dih, ngambek! Udah kayak anak ABG aja tuh, dikit-dikit ngambekan. Huh!" gerutu Risma sambil menatap punggung Kak Raga yang semakin menjauh.
"Sudah, Sayang. Lebih baik sekarang kamu bersiap-siap untuk turun ke bawah ya? Mama dan Papa pasti juga sudah menunggu kita." titahku kepada Risma.
Kemudian Risma pun menganggukkan kepalanya dengan antusias.
"Siap, Kakakku Sayang! siap laksanakan, Komandan!" serunya sambil memberikan hormat kepadaku.
Aku yang melihat tingkah Adik kecil Kak Raga, hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada-ada saja tingkah Adik dan Kakak ini. Sama-sama jahilnya ternyata." gumamku sambil berjalan keluar dari kamar Risma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments