13. Ijab Qobul

Sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga, hari ini tepat satu Minggu setelah di tentukannya hari baik untuk melaksanakan Ijab Qobul . Saat ini aku sedang di rias oleh seorang MUA yang cukup terkenal di kota ini, dengan balutan kebaya berwarna putih dan hijab yang senada menjadi penyempurna penampilan ku saat ini.

"MasyaALLAH! Cantik sekali Kak Nadhine! so perfect and elegant !" puji Kak Ara sambil memandangiku berulang-ulang.

Aku yang mendengarnya hanya tersipu malu, sehingga semburat merah di pipiku pun terlihat.

"Kak Ara, juga cantik kok. Bukankah semua wanita memang cantik, Kak?" ucapku sambil tersenyum lebar kepadanya.

"Ah, Kak Nadhine ini memang suka merendah. Ara mah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kak Nadhine," ujar Kak Ara sambil menghiasi hijabku dengan mahkota kecil.

Aku pun hanya tersenyum getir, karena sejujurnya aku belum siap untuk menikah di usiaku yang hampir menginjak 20 tahun. Aku masih ingin meraih mimpiku dan membuat Ayah dan Ibu bangga kepadaku.

Akan tetapi, aku juga tidak bisa menolak permintaan Ayah. Karena selama ini Ayah dan Ibu selalu menuruti semua permintaan ku, jadi aku juga ingin menuruti kembali permintaan mereka, meskipun sebenarnya aku pun enggan melakukannya.

"Kak Nadhine sama calon suaminya sudah lama ya berpacaran? kok tidak menunggu lulus kuliah terlebih dahulu?" tanya Kak Ara sambil merapikan penampilan ku.

"Hah?"

"Ah.. maksud ku tidak, Kak. Kami hanya teman masa kecil yang mungkin berjodoh saat ini, bahkan kami pun juga tidak berpacaran. Kami hanya kembali bertemu dan langsung menikah." jelasku sambil tersenyum tipis kepada Kak Ara.

Aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya kepada Kak Ara, karena bagiku dia hanya orang lain yang sekedar ingin tau saja. Jadi aku hanya mengatakan seperlunya, tanpa menjelaskan apapun kepadanya.

"Wah, hebat berarti Kak Nadhine ya? hanya melalui ta'aruf saja langsung setuju untuk menikah. Padahal biasanya di usia Kak Nadhine seperti saat ini, masih ingin bebas menikmati dunia luar," ujar Kak Ara sambil tersenyum lebar kepadaku.

Aku pun tersenyum saat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Kak Ara.

"Sebagian besar mungkin berpikir seperti itu. Akan tetapi aku hanya ingin membuat semua orang yang berada di sekeliling ku, merasa bahagia dengan keputusan yang aku ambil saat ini, Kak. Dan semoga ini menjadi keputusan yang terbaik untukku dan untuk kami semua." jelasku sambil tersenyum tipis kepadanya.

"Aamiin.. semoga Kak Nadhine bahagia dengan pernikahan ini sampai kalian menua bersama nanti," ucapnya dengan tulus.

"Aamiin.. Do'akan saja yang terbaik untuk kami ya, Kak!" pintaku kepada Kak Ara.

"Tentu, Kak." ucapnya dengan penuh semangat.

***

Tepat pukul 10.00 acara Ijab Qobul, Alhamdulillah terlaksana dengan lancar. Saat ini aku sudah SAH menjadi istri dari Raga Hermawan, dan tanggungjawab ku pun kini beralih kepada Kak Raga.

Setelah acara Ijab Qobul selesai, kini kami mengundang kerabat dan tetangga dekat sebagai saksi acara sakral kami. Dengan melanjutkan acara syukuran kecil-kecilan di rumah kami. Berbagai ucapan selamat pun kami dapatkan dari para tamu yang hadir. Dan akhirnya setelah acara selesai, semua orang pun berbondong-bondong untuk berpamitan dan menyalami kami.

Kemudian kami pun bernapas lega, karena semua berjalan sesuai dengan harapan. Lalu kami duduk bersantai bersama di ruang tamu sambil berbincang-bincang.

"Alhamdulillah, akhirnya kalian sudah SAH menjadi suami-istri. Nak Raga, Ayah titip Nadhine ya? Tolong bahagiakan dia, seperti kami yang selalu mencoba membuatnya bahagia! Jika nanti dia salah tolong tegur saja! Satu lagi tetap setialah kepada putriku, jangan melukai hatinya. Karena lukanya adalah luka kami juga. Apa kamu mengerti, Nak?" tutur Ayah kepada Kak Raga sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Kak Raga yang mendengar penuturan Ayah, tersenyum sambil meraih tangan Ayah lalu menggenggamnya.

"Ayah tenang saja, Raga tidak akan menjanjikan apapun kepada Ayah dan Ibu. Akan tetapi Raga akan selalu berusaha untuk membuat Nadhine bahagia, dengan cara Raga sendiri. Dan Ayah tidak perlu khawatir, karena di hati Raga selamanya hanya ada nama Nadhine, bahkan sejak kecil namanya sudah terukir indah di hati Raga,Yah1" jelas Kak Raga dengan penuh keyakinan.

Tes... Tes... Tes...

Kini air mataku pun menetes membasahi pipiku. Ibu yang duduk tepat di sebelah ku, kini langsung menyadarinya lalu menarik ku ke dalam pelukannya.

"Ssttt! Sudah jangan menangis ya, Sayang! ini adalah hari bahagia kalian, jadi jangan jatuhkan air matamu. Tersenyumlah!" bisik Ibu sambil mengusap lembut kepalaku yang tertutup hijab.

Mereka yang berada sekeliling ku pun mulai menyadari, bahwa saat ini aku sedang terisak di dalam pelukan Ibu.

Kini Mama pun menghampiri ku, lalu ikut duduk di sampingku.

Beliau pun ikut menenangkan ku. Sedangkan Kak Raga yang sedari tadi berbincang-bincang dengan Ayah dan Papa, kini ikut menghampiri ku.

"Sayang, kamu kenapa menangis? apa kamu tidak bahagia saat ini?" tanya Kak Raga sambil meraih satu tanganku untuk di genggamnya.

Aku pun masih terdiam di sela isakan tangisku. Sebenarnya saat ini aku menangis bukan karena sedih, akan tetapi aku terharu dengan ucapan Kak Raga kepada Ayah yang terlihat begitu tulus.

"Sudah kamu jangan cemas, Nadhine tidak apa-apa, Ga. Dia hanya membutuhkan waktu saja untuk menerima pernikahan ini, karena pernikahan ini juga sangat tiba-tiba untuknya. Kamu juga harus bersabar ya nanti, saat menghadapi sifat Nadhine yang sering berubah-ubah. Kadang dia bisa menjadi sangat dewasa, tetapi kadang dia juga bisa seperti seorang anak kecil yang suka merengek." tutur Ayah sambil mencairkan suasana yang sempat menegang karena ku.

Aku yang mendengarnya, kini perlahan melepaskan diri dari pelukan Ibu, lalu menghapus kasar air mataku.

Kemudian aku pun menoleh ke arah Ayah dan Kak Raga, dengan memperlihatkan mata sembabku.

"Duh! Putri Ayah kok sedih dan cemberut begitu, ada apa, Sayang?" tanya Ayah dengan suara lembutnya.

Aku pun masih bergeming, tanpa satu patah katapun yang keluar dari mulut ku.

Kak Raga yang melihatku hanya terdiam, kini kembali menggenggam tanganku lalu tersenyum dengan manisnya.

"Tersenyumlah, wahai bidadari tak bersayap ku! jangan bersedih seperti itu! Karena kesedihan mu seperti sebuah sayatan untuk hatiku, jadi tolong jangan kau buang air matamu yang sangat berharga ini," tutur Kak Raga sambil menatapku dan bersimpuh di depan ku.

Tatapan matanya kini seperti mengunci pergerakanku, kini mataku pun menyelami dalam-dalam melalui iris matanya.

Ah, sungguh mata elang yang benar-benar sangat tajam.

"I-iya, Kak." jawabku dengan suara parau.

Setelah semua orang mendengar suaraku, mereka pun kini bernapas lega. Lalu mereka semua menatapku dengan senyuman yang sangat meneduhkan hati.

"Ya sudah, lebih baik kalian berganti pakaian terlebih dahulu, lalu kita makan siang bersama." ucap Ayah sambil mempersilahkan 'ku dan Kak Raga, agar meninggalkan ruang tamu.

Kini aku berjalan beriringan dengan Kak Raga menuju ke kamar ku, untuk mengganti pakaian kami.

*Ceklek!*

Pintu pun terbuka, lalu aku pun mempersilahkan Kak Raga untuk memasuki kamar ku.

"Silahkan masuk, Kak!" titahku kepada Kak Raga.

"Terimakasih, Tuan Putri." serunya sambil menyunggingkan senyum manisnya.

'Ah, manisnya....'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!