8. Berpura-pura

"Aw!" rintihku.

"Bagaimana, nak? Masih sakit?" tanya ibu dengan raut wajah yang khawatir.

"Lho.. aku dimana, Bu?" tanyaku yang celingukan dan merasa bingung.

"Kamu di Rumah Sakit sekarang, Sayang? Tadi kamu jatuh tersungkur dan pelipis mu mengeluarkan banyak darah, jadi Ayah langsung menggendong mu dan membawa mu ke Rumah Sakit ini," jelas Ibu.

Lalu ku pegang perlahan pelipis ku.

"Aww!" rintihku kembali.

"Apa masih sakit, Sayang? Kalau begitu Ayah panggilkan Dokter terlebih dahulu. Ayah takut kejadian dahulu terulang kembali," ucap Ayah, lalu bergegas memanggil Dokter.

Perlahan aku pun mengingat sesuatu, akan tetapi saat ini kepalaku justru terasa sangat sakit.

*Argh!*

Kini aku pun merintih kembali, akan tetapi rasa sakitnya saat ini terasa sangat luar biasa.

"Bu, sakit," keluhku sambil memegangi kepalaku.

*Ceklek!*

Terdengar suara pintu terbuka, dan kini Ayah telah datang kembali bersama dengan seorang Dokter.

Saat ini, Dokter memeriksa keadaanku, karena aku merasakan sakit di kepalaku. Ada sekilas bayangan seseorang di dalam pikiranku, akan tetapi semua masih terlihat buram.

"Saat ini saya belum bisa mengambil kesimpulan, akan tetapi kami akan segera mengambil tindakan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Apakah ini bukan pertama kalinya pasien mengalami amnesia sementara?" tanya sang Dokter kepada kedua orangtuaku.

"Benar, Dok. Waktu kecil dia juga pernah mengalami hal yang sama seperti ini," jelas Ayah kepada sang Dokter.

"Jika memang begitu, kemungkinan besar ingatan yang sempat hilang, perlahan akan kembali," ucap sang Dokter dengan seulas senyum yang tersungging di bibirnya.

"Benarkah, Dok? Jika memang ada harapan untuk mengembalikan sebagian ingatannya yang hilang, maka tolong lakukan yang terbaik, Dok!" pinta Ibu kepada sang Dokter.

"InsyaALLAH, akan kami usahakan yang terbaik untuk pasien, Bu. Kalau begitu saya permisi dahulu, karena masih ada pasien lain yang harus segera saya tangani," ucap Dokter, kemudian dia pun berlalu meninggalkan kami berempat di dalam ruangan ini.

Bima yang dari tadi hanya diam saja, kini dia berjalan menghampiriku.

"Cepatlah sembuh, kak! jangan sakit seperti ini! nanti siapa yang akan aku ajak bertengkar di rumah." ucap Bima sambil menatap sendu ke arahku.

"Tenang saja, aku tidak apa-apa. Semoga saja aku segera cepat keluar dari tempat yang membosankan ini," ucapku sambil mengembangkan senyum tipis.

Saat aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku, tiba-tiba kepalaku terasa sakit kembali.

"Aww! Sakit, Bu. Nadhine tidak tahan jika seperti ini terus. Tolong Bu, ini benar-benar sangat menyakitkan." rintihku kepada Ibu.

Ibu yang melihatku kesakitan, hanya bisa mencoba untuk menenangkan diriku.

"Sabar ya, Sayang? kamu harus kuat! semoga rasa sakit yang kamu rasakan akan segera berakhir." ucap Ibu, dengan buliran air mata yang mengalir membasahi pipinya.

"InsyaALLAH, Bu." ucapku sambil menahan rasa sakit ini.

******

Tiga hari kemudian..

Sesuai dengan janjiku kepada kak Raga dan kedua orangtuanya. Aku akan memberikan jawabanku kepada mereka, dan untuk masalah Ringgo nanti akan aku pikirkan kembali.

Karena aku belum pulang dari Rumah Sakit, mereka pun menjenguk sekaligus menunggu keputusanku.

Sebenarnya setelah kejadian 3 hari yang lalu, setelah sakit di kepalaku mulai mereda. Perlahan aku pun telah mengingat bayangan masa kecilku bersama dengan Kak Raga.

Akan tetapi aku masih menutupi kebenaran ini dari mereka semua, termasuk keluarga ku sendiri.

'Saatnya sandiwara di mulai. Maafkan aku semuanya, aku harus berpura-pura belum mengingat kejadian masa kecil itu. Aku hanya ingin melihat seberapa besar ketulusan yang dimiliki oleh Raga Hermawan,'gumamku dalam hati.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? apakah sudah lebih baik?" tanya Tante Siska dengan penuh perhatian.

"Alhamdulillah, Tante. Sudah lebih baik, sakit di kepalaku juga sudah mulai berkurang," ucapku sambil tersenyum kepadanya.

"Syafakillah ya, Sayang! Semoga Allah SWT segera memberikan kesembuhan untukmu," sebuah do'a tulus dari Tante Siska untukku.

"Aamiin. Terimakasih, Tante." ucapku dengan mengAamiinkan do'anya.

"Sama-sama, Cantik." ucap Tante Siska sambil mengusap lembut puncak kepalaku.

Saat ini yang datang menjengukku hanya Om Andy, Tante Siska, dan Kak Raga. Risma tidak ikut karena harus masuk ke Sekolah, dan sebentar lagi akan menghadapi Ulangan Sementara. Jadi Om Andy dan Tante Siska, tidak memperbolehkannya untuk izin dari Sekolahnya.

"Nadhine?" panggil Kak Raga dengan suara lembutnya.

Aku pun menoleh ke arahnya, lalu menatap manik mata elangnya.

"I-iya, Kak." sahutku dengan gugup.

"Bagaimana? sesuai dengan janjiku, aku akan kembali 3 hari lagi dan ini sudah hari ke 3 setelah aku berkunjung ke rumahmu. Apakah kami sudah bisa memberikan jawabannya sekarang, untukku?" tanya Kak Raga dengan penuh harap.

Kini aku hanya terdiam sejenak, sambil menatap wajahnya terlihat sangat tampan.

'Ah, ada apa denganku? mengapa aku menjadi gugup seperti ini? dan ini juga, mengapa jantungku berdebar kencang sekali?' gerutuku dalam hati.

Lalu ku hela napas panjang.

"InsyaALLAH, Nadhine sudah mendapatkan jawabannya, Kak." ucapku dengan ragu-ragu.

"Apa kau yakin?" tanya Kak Raga lagi.

Dengan ragu-ragu, perlahan ku anggukan kepalaku.

"InsyaALLAH, Kak." jawabku singkat dengan seulas senyum yang dipaksakan.

"Lalu apa jawaban yang akan kamu berikan kepadaku?" tanya Kak Raga sambil menatap lekat wajahku.

Untuk sedikit mengurangi rasa gugupku, aku pun menarik napas dalam-dalam, lalu ku hembuskan perlahan.

"Setelah aku memikirkannya matang-matang. Aku bersedia menerima lamaran dari Kak Raga, akan tetapi aku memiliki beberapa syarat untuk Kak Raga!" ucapku dengan penuh keyakinan.

"Apa syarat yang ingin kamu ajukan kepadaku?" tanya Kak Raga dengan raut wajah penasaran.

"Aku ingin pernikahan kita di rahasiakan selama aku masih menempuh pendidikan di Kampus itu, kita harus bersikap profesional layaknya Dosen dan Mahasiswi. Saya tidak ingin Kak Raga memperlihatkan hubungan kita di depan publik, sampai aku lulus nanti. Apa Kak Raga menyetujui syarat yang aku ajukan?" tanyaku tanpa ragu-ragu.

Kak Raga yang mendengar syarat dariku, hanya mengernyitkan dahinya.

"Baiklah, tapi hubungan hanya di private saat di Kampus saja. Jika di luar Kampus, saya berhak untuk memperhatikan mu sebagai layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Apa kamu keberatan?" tanya Kak Raga, sambil menatap penuh harap kepadaku.

"Baik, tidak masalah. Saya tidak mau hubungan kita akan menggangu aktifitas masing-masing, karena ada pihak luar yang mengetahuinya. Saya hanya ingin menjalankan pendidikan saya dengan baik dan tenang sampai lulus nanti, Kak." pintaku kepada Kak Raga.

"Iya, Nana kecilku," ucapnya sambil mengacak-acak lembut rambutku.

"Ih, Kak Raga!" pekikku, sambil mengerucutkan bibirku.

Kini terdengar suara gelak tawa semua orang.

"Nah, sekarang kan sudah jelas. Bagaimana jika pernikahannya kita percepat saja? sebelum masa liburan mereka usai, mereka harus memiliki hubungan resmi terlebih dahulu. Agar kita para orangtua juga akan merasa tenang, karena mereka nanti akan tinggal bersama," ucap Ayah, dengan senyum mengembang di bibirnya.

*Degh!*

"Tinggal bersama?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!