6. Raga Vs Nadhine ( Teman Masa Kecil )

"Lho, kamu.........?"

Aku merasa sangat terkejut, ternyata anak dari sahabat Ayah adalah Pak Raga Hermawan, Dosen Killer di Kampus ku.

'Ya Allah, apa lagi ini? Mengapa harus dia?' gumamku dalam hati.

Mau tidak mau, karena aku sudah terlanjur tiba di hadapan mereka. Kini aku pun menyalaminya satu persatu tamu Ayah.

Kini tiba di depan Pak Raga, lalu aku pun mengulurkan tanganku kepadanya.

"Assalamu'alaikum, Nadhine" Salam Pak Raga dengan seulas senyum manis di wajahnya.

"Wa-wa'alaikusalam Pak Raga," jawabku sambil menunduk.

"Lho Nak, kenapa kamu gugup seperti itu? Bukankah seharusnya kalian sudah saling mengenal satu sama lain? Kalian kan juga berada di Kampus yang sama?" Tanya Ayah kepadaku.

"I-iya Yah, Pak Raga salah satu Dosen di Kampus ku," ucapku sambil melirik ke arah Pak Raga.

"Sini Sayang, duduk di sebelah Ibu!" Kini Ibu menarik perlahan tanganku, agar aku duduk di sampingnya.

Kini aku mengikuti perintah Ibu, lalu duduk bersama dengannya.

"O, iya Nak, kamu apa kabar? Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu, apa kamu masih mengingat Om Andy dan Tante Siska?" Tanya Om Andy dengan suara lembut.

"Alhamdulillah baik Om. Tentu saja Nadhine masih ingat dengan Om dan Tante, baru 2 tahun kemarin kita kan juga sempat bertemu di acara reunian Ayah," jawabku dengan sopan.

Ya, Ayah dan Om Andy adalah sahabat sejak mereka duduk di bangku SMA, hingga kuliah pun memilih Kampus yang sama, meskipun jurusan mereka berbeda.

Karena acara reuni kemarin mengharuskan para Alumni, membawa keluarga masing-masing.

Akan tetapi saat itu, Om Andy dan Tante Siska hanya membawa putrinya, Risma.

"Hay kak Nadhine, kita bertemu kembali," sapa Risma dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

"Hay juga Risma, aku tidak menyangka jika kita akan bertemu kembali di sini," ucapku sambil tersenyum kepadanya.

Akan tetapi, senyuman ku sirna saat pandangan ku teralihkan kepada Pak Raga.

Tanpa sengaja tatapan kami bertemu, dan dia tersenyum manis kepadaku.

Jujur saja, saat ini jantungku berdebar-debar dan berdegup kencang.

"Hem, sepertinya kalian sudah saling akrab saja. Di sini hanya aku sendiri yang tidak di sapa oleh Nadhine. Padahal dahulu waktu kami masih kecil, aku yang lebih dahulu di sapa olehnya," ucap Pak Raga sambil melirik ke arahku, dia merasa tidak terima karena sejak tadi aku tidak menyapanya.

Aku pun menjadi bingung dan salah tingkah sendiri, saat Pak Raga mengucapkan itu.

"Mungkin karena kalian sudah jarang sekali bertegur sapa, jadi Nadhine masih belum terbiasa, Nak!" Ucap Ayah, yang kini membelaku.

"Hehe, aku hanya bercanda saja, Om. Tetapi sepertinya Nadhine menganggapnya serius, jadi dia terlihat gugup sepertinya," ucap Pak Raga, dengan sopan.

"Nadhine yang sekarang bukanlah Nadhine yang kamu kenal dahulu, Nak! Nadhine sekarang lebih pendiam daripada Nadhine kecil yang sangat cerewet dan super berisik," ucap Ayah, yang kini membalas candaan dari Pak Raga.

Aku pun merasa tidak terima, lalu menatap ke arah Ayah.

"Ayah?" Panggilku, sengaja agar Ayah tidak melanjutkan candaannya.

"Iya, iya Sayang. Ayah tidak akan mengatakan apapun lagi," ucap Ayah dengan suara lembutnya.

"O, iya kalian pasti belum makan siang kan? Yuk, kita makan siang bersama terlebih dahulu! Obrolannya bisa kita sambung lagi nanti, setelah makan siang dan sholat Dzuhur berjama'ah," ajak Ibu, kepada kami semua.

Akhirnya kami pun beranjak dari tempat duduk kami, saat ini aku berada di barisan belakang sendiri dan beriringan dengan Pak Raga.

Tiba-tiba tanganku di cekal oleh Pak Raga, aku pun terlonjak dan terkejut karena dibuatnya. Lalu aku menghentikan langkahku.

"Nadhine Arzenia Elvanie, Nana kecilku? Apa kamu sama sekali tidak mengingat aku, sebagai teman masa kecilmu? Apa kau tidak bisa mengingat momen-momen yang sangat membahagiakan, dan membuat kita tertawa lepas di kala itu?" Tanya Pak Raga, dengan penuh harap.

Kini aku masih terdiam dan menatap lekat wajahnya.

Lalu ku gelengkan kepalaku.

"Maaf Pak Raga, saya sama sekali belum bisa mengingat kejadian itu! Karena setelah kami pindah, kita juga sudah tidak pernah saling bertemu. Dan saya mengenal Anda pun sebagai Dosen yang mengajar di Kampus yang sama dengan saya. Jadi saya minta maaf, karena belum bisa mengingat kejadian itu," jelasku kepada Pak Raga.

Saat ini Pak Raga hanya tersenyum, mendengar penjelasan dariku.

"Baiklah, aku juga tidak akan memaksa kamu untuk mengingat semua itu. Tetapi saya harap kamu bisa menerima lamaran saya nantinya," ucap Pak Raga, yang kini perlahan melepas cekalan tangannya.

*Degh!*

Aku yang mendengar ucapan tentang lamaran ini, membuatku terdiam dan membeku di tempat.

'Apa ini benar nyata? Aku dan Pak Raga? Ah, tidak.. tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku sudah memiliki Ringgo, aku tidak boleh mengkhianati kepercayaannya! Tetapi aku harus bagaimana?' gumamku dalam hati, kini perasaan dilema kembali mengusik ketenangan hatiku.

Kini kami pun menunaikan ibadah sholat Dzuhur berjama'ah, yang di imami oleh Pak Raga. Karena Ayah sendiri yang menyuruhnya untuk menjadi imam sholat kami.

Kini terdengar suaranya merdu, yang sedang membacakan surat Al-fatihah dan surat pendek lainnya.

Hatiku pun berdesir hebat, saat mendengar suaranya indah yang sama sekali belum pernah aku mendengarnya.

Setelah selesai salam, dia pun membacakan do'a-do'a, dan kami semua mengAamiinkannya.

"Alhamdulillah," ucap kami serentak, mengucapkan hamdalah secara bersamaan.

******

Ruang Makan...

Setelah melaksanakan kewajiban kami, kini kami melanjutkan acara makan siang bersama.

Saat ini bangku yang kosong hanya di sebelah Pak Raga, jadi mau tidak mau aku harus duduk di sampingnya.

"Makanlah yang banyak, agar cepat besar. Sejak dahulu tubuhmu terlihat sangat mungil dan menggemaskan," bisik Pak Raga, tepat di sebelah telinga ku.

Aku pun menoleh, dan memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Bisakah Anda diam! Jangan sampai Anda membuat saya tidak nyaman, Pak!" Ucapku lirih dengan nada ketus.

"Hem, apa kamu sedang balas dendam kepadaku? Karena beberapa hari yang lalu, memberikan sebuah pelajaran kepadamu?" Tanya Pak Raga, sambil menggoda ku.

Aku yang merasa terusik, kini merasa tidak nyaman dan meminta Risma, untuk bertukar tempat duduk dengan ku.

"Ris, bisakah kita bertukar tempat duduk? Aku ingin duduk di samping Ibu saat ini!" Ucap ku kepada Risma.

Mungkin saat ini mereka menganggap ku tidak sopan, tetapi aku sangat terganggu jika lama-lama berdekatan dengan Pak Raga. Bisa frustrasi aku di buat olehnya.

"Oke kak," ucapnya, kini aku pun beranjak dari tempat dudukku.

Kini Pak Raga hanya bisa melihatku berjalan menjauh darinya, sambil tersenyum lebar.

'Awas saja nanti.....!'

Terpopuler

Comments

Tri Wahyuni

Tri Wahyuni

bilang nya dosen killer tapi ko klo kumpul gitu cerewet .mulut lemes ...

2023-01-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!