Menikahi Putri Jin

Menikahi Putri Jin

#1

Adinullah masih duduk menekur sambil tatapannya jauh diarahkan ke puncak pohon asam yang tumbuh di atas bukit. Perbukitan yang berjejer di depannya, yang lahan-lahan di bawahnya masih penuh ditumbuhi semak-semak, adalah milik yayasan tempat Adinullah mengabdi sebagai tenaga pengajar. Di antara bebukitan itu, ada satu bukit yang terlihat paling menonjol dan terlihat paling angker. Bukit itu satu-satunya yang punya nama. Bako tinggi. Konon, bukit itu bisa dilihat dimanapun seseorang berdiri. Bahkan di tengah laut sekalipun, bukit itu bisa terlihat dan seringkali dijadikan patokan nelayan jika tersesat di tengah laut. Menurut cerita orang tua, bukit Bako Tinggi itu sendiri diberi nama oleh seorang ulama keturunan timur tengah. Ulama yang sedang melakukan perjalanan melewati laut untuk berdakwah dan tersesat di tengah laut. Saat ulama tersebut kebingungan. Ia berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah. Setelah selesai berdoa, Allah mengabulkan doa Sang Ulama dengan memperlihatkannya sebuah pohon Bakau yang menjulang tinggi di atas sebuah bukit. Sang ulama lalu mengikuti arah bakau yang diihatnya dan ia akhirnya sampai di sebuah pesisir pantai. Bukit Bako tinggi itu masih ada hingga kini. Terletak di dusun Tanak pait desa Pemongkong lombok Timur.

Adinullah tersenyum. Hari ini ia ditugaskan oleh Tuan Guru Alamsyah Hasbi, pimpinan Yayasan tempatnya mengabdi, untuk mengawasi jamaah yang akan gotong royong membersihkan lahan di bawah lereng bukit itu. Musim penghujan telah tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mayarakat yang mendapatkan hak garap dari pemerintah, akan memenuhi ladang mereka dengan tanaman jagung dan tanaman palawija lainnya. Dan Seperti biasa, Adinullah yang sudah lama mendampingi Tuan Guru Alamsyah Hasbi, ditugaskan kembali untuk menjaga tanaman di ladang itu. Sebagai imbalannya, Yayasan memberikannya lahan seluas satu hektar untuk ditanami sendiri oleh Adinullah dan istrinya.

Hari ini seperti biasa, Adinullah di temani istrinya, Johani, sehabis shalat dhuhur tadi sudah berada di ladang. Johani masih sibuk membersihkan semak-semak untuk tempat membangun pondok di saat Adinullah masih asik duduk santai dengan tatapan tak berpaling dari bukit di depannya. Johani menoleh kesekian kalinya ke arah Adinullah. Ia masih melihatnya duduk dengan posisi yang sama setelah istirahatnya sekitar sejam yang lalu. Ada yang berbeda dari Adinullah hari ini. Sejak mereka datang ke tempat itu sehabis dhuhur tadi, Adinullah hanya bekerja sebentar memotong tanaman liar di pembatas ladang dengan hutan lindung. Selebihnya, ia hanya melihatnya mondar-mandir di bawah bukit. Dan kini dia belum juga beranjak dan mempersiapkan diri memulai membangun pondok. Mendung sudah terlihat berarak menuju langit di atas mereka. Mereka harus segera membangun pondok. Minimal, atapnya sudah harus bisa melindungi mereka dari hujan yang sebentar lagi mungkin akan turun.

Johani menghela nafas panjang setelah beberapa lamanya ia menatap Adinullah yang sama sekali tak terlihat menggerakkan tubuhnya. Dia terheran-heran melihat sesekali Adinullah nampak tersenyum ke arah bukit itu. Seperti ada seseorang yang sedang menggodanya. Dan senyuman itu mirip sekali dengan senyuman yang ia dapatkan saat bertemu pertama kali dengan Adinullah. Johani menoleh ke arah bukit. Semak-semak dan tanaman liar masih menghampar hijau memenuhi lereng bukit.

Johani bangkit. Lama-lama ia merasa kesal dengan Adinullah. Dia sama sekali tak memperhatikan mendung yang berarak tebal ke arah mereka. Sabit di tangannya di tancapkannya di batang pohon bidara di dekatnya. Ia lalu melangkah pelan menuju tempat Adinullah duduk menekur.

Johani menghempaskan tubuhnya di samping Adinullah. Ia mengernyitkan dahinya. Adinullah sama sekali tak menghiraukan kedatangannya. Bahkan terlihat seperti tak menyadari ia kini duduk di dekatnya. Bahkan kali ini ia kembali melihat dengan jelas Adinullah tersenyum lebar ke arah bukit. Lama-lama ia merasa takut melihat Adinullah tersenyum sendiri seperti itu. Bulu kuduk Johani tiba-tiba saja berdiri. Ia merasa tengkuknya seperti di remas-remas tangan gaib. Segera saja ia memegang tubuh Adinullah dan mengguncang-guncangkannya keras. Adinullah kaget. Hampir saja tangannya menyambar wajah Johani jika saja tak segera sadar. Ia mendesah dan mengusap dadanya.

"Kamu itu, datang tiba-tiba dan mengagetkanku. Hampir saja aku menampar wajahmu," kata Adinullah terlihat kesal. Wajah Ekspresi wajah Johani tak kalah kesal ketika mendengar kata-kata Adinullah.

"Kamu itu kayak orang gila, senyum-senyum sendiri. Apa? memangnya di sana ada cewek sehingga kamu senyum-senyum sendiri. Lihat, sebentar lagi hujan. Kita belum juga menyelesaikan pondok kita," kata Johani. Adinullah mendesah dan meluruskan kedua kakinya. Sabit di sampingnya duduk diambilnya. Pandangannya kembali di arahkannya ke arah depan. Ke arah semak-semak yang menghampar.

"Kalau Tuan Guru tidak cepat-cepat mengundang jamaah membersihkan lahan ini, batang-batang semak yang telah kita bersihkan sebelumnya pasti akan tumbuh lagi. Padahal hujan sudah mulai turun," kata Adinullah. Johani melirik. Kerut di keningnya hampir tak terlihat oleh warna keningnya yang kusam. Dia mengangkat tubuhnya pelan. Kedua tangannya memegang erat batang pohon turi di dekatnya untuk membantu mengangkat tubuh gemuknya.

"Seharusnya kamu pulang dulu ke yayasan. Laporkan masalah ini sama Tuan Guru. Bagaimana Tuan Guru tahu masalah ini kalau kamu di sini saja," kata Johani. Ia melangkah menuju tempat di mana lokasi pondok akan dibuat. Sebuah parang yang tergeletak di atas potongan batang semak-semak diambilnya dan kembali melangkah ke arah Adinullah. Ketika telah sampai di dekat Adinullah, ia langsung saja mengangkat parang di tangannya dan menebaskannya ke arah batang pohon turi di depannya. Dua kali tebasan, pohon turi itu terpotong dan ambruk dan hampir mengenai kaki Adinullah.

Adinullah menoleh dan menatap Johani.

"Marahnya kok seperti itu. Hampir saja pohon itu mengenai kakiku. Sabar," kata Adinullah. Ia bangkit. Johani tak menjawab. Ia sibuk membersihkan beberapa ranting pohon turi kemudian memotong batangnya menjadi dua potongan. Setelah itu ia membawanya ke lokasi pondok.

Adinullah melangkah malas mendekati Johani.

"Tunggu Tuan Guru membawakan kita bambu agar pondok yang kita buat lebih kuat. Di sini anginnya keras. Kita tidak punya tali untuk mengikat atap pondok. Tunggulah sebentar," kata Adinullah.

"Aku mau menunggu jika kamu tidak duduk dan melamun terus di sana. Lihat! Hujan sebentar lagi akan turun. Tak ada satupun tempat kita berteduh di tempat ini," kata Johani tanpa menoleh. Ia terus menancapkan batang-batang pohon turi di dalam retakan tanah dan mengganjalnya dengan batu. Adinullah berkacak pinggang seraya mendesah panjang. Peci hitam lusuhnya di bukanya dan memasangnya kembali. Ia mengarahkan pandangannya ke arah langit. Dalam sekejap, langit di atasnya beruabah gelap. Angin yang bertiup dingin seperti membawa tetes-tetes hujan ke lokasi itu.

"Baik, aku mau cari tukang ojek dulu. Aku mungkin pulangnya agak malam jika hari ini hujan turun. Kamu pulang saja dulu," kata Adinullah. Johani tak menjawab. Empat tiang pondok sudah menancap membentuk persegi empat. Ia menoleh ke arah langit. Seperti kata suaminya, ia harus segera pulang jika tidak ingin basah kuyup di tempat itu. Ditambah lagi jika hujan di sertai petir. Faiz, putra satu-satunya, yang ia titipkan di tetangga sebelah juga mungkin sudah mulai mencarinya. Walaupun Faiz lebih suka menginap di rumah salah satu tetangganya karna punya teman bermain seumurannya.

Johani meletakkan sabit dan parang di atas tumpukan semak-semak, kemudin menutupnya dengan semak-semak yang telah dipotongnya.

"Jangan lupa mintakan bubuk kopi dan gula sama Tuan Guru. Kalau bisa, jangan menunggu terlalu malam. Jika urusan sudah selesai, cepat pulang," kata Johani sembari mengumpulkan beberapa ranting kering dan meletakkannya di salah satu pundaknya. Adinullah menganggukkan kepalanya kecil.

"Ayo, kita pulang dulu. Nanti aku carikan Mustamin untuk mengantarmu ke Yayasan," kata Rohani sambil mulai melangkahkan kakinya. Amdnullah menoleh ke arah bukit. Bola matanya bergerak kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Tatapannya kini terhenti di pucuk pohon asam yang tumbuh di puncak bukit. Ia tersenyum.

Menyadari suaminya tidak mengikutinya, Johani menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Adinullah ternyata masih belum beranjak dari tempatnya. Johani menundukkan tubuhnya. Di balik tanaman kedilem yang tumbuh lebat di sepanjang jalan setapak yang ia lewati, Dia mengintip. Dia mengerutkan keningnya. Lagi-lagi ia melihat Adiullah tersenyum sendiri ke arah bukit. Sikap dan gelagat suaminya akhir-akhir ini benar-benar aneh. Itu terjadi setelah Tuan Guru memindahkan tempat bertanamnya di kaki bukit Bako Tinggi. Setiap datang ke tempat itu, suaminya selalu duduk di samping pohon turi yang ditebangnya tadi. Dia sengaja melakukannya agar sumainya tidak duduk bersandar lagi di tempat itu sembari termenung menatap ke arah bukit.

Johani menoleh ke arah bukit. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menelingkupi jiwanya. Johani membalikkan tubuhnya. Gerimis sudah terdengar menggeretas ramai dari arah perkebunan jati di belakangnya.

"Kak, Ayo! kenapa masih diam saja di sana," teriak Johani. Adinullah kaget dan segera beranjak dari tempatnya. Tak beberapa lama kemudian, hujan mulai turun dengan derasnya.

Terpopuler

Comments

🧭 Wong Deso

🧭 Wong Deso

mampir kiw👍🏽

2024-01-22

0

Yurnita Yurnita

Yurnita Yurnita

hadir Thor

2023-03-15

1

Adico

Adico

karya baru.

2023-01-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!