Jam di dinding berdentang nyaring membelah hening malam. Sudah jam 4 dini hari. Pak Mas'ud yang baru sampai di rumahnya langsung duduk di atas kursi rotan di dalam rumahnya. Nafasnya masih terdengar ngos-ngosan. Begitu juga dengan degup jantungnya. Ceret berisi air dekat lampu teplok di atas meja hampir habis diminumnya.
Pak Mas'ud mendesah panjang. Tubuhnya yang penuh keringat disandarkannya di kursi. Kedua matanya memincing seperti sedang mengingat apa yang baru saja terjadi. Benar-benar aneh. Adinullah seperti orang yang sedang kerasukan setan. Mengejarnya membabi buta dn melemparinya dengan batu. Jika saja ia tak segera melarikan diri, mungkin saja Adinullah sudah membunuhnya. Aneh sekali. Tenaga Adinullah saat mendorong begitu kuat. Dia yang awalnya masih mampu menahan tubuhnya, tiba-tiba saja terpelanting jauh beberapa meter dan terjerambat di semak-semak. Ia yakin ada kekuatan luar biasa yang merasuki tubuh Adinullah sehingga tenaganya begitu kuat.
"Assalamualaikum. Pak Mas'ud!"
Terdengar suara perempuan mengucap salam dari arah luar. Pak Mas'ud mengernyitkan keningnya. Ia terdiam sejenak. Mencoba mengenali suara perempuan di luar.
"Assalamualaikum." Salam itu terdengar lagi.
" Loh, kapan Bapak pulang," kata Bu Mukmin, istri pak Mas'ud ketika keluar dari kamarnya dan melihat pak Mas'ud duduk di kursi. Ia mengusap-usap matanya.
"Baru saja, Bu," kata pak Mas'ud.
"Siapa yang mengucap salam masih malam begini, Pak," kata bu Mukmin setengah berbisik. Ia menatap ke arah pintu.
Pak Mas'ud mengangkat kedua pundaknya.
"Assalamualaikum."
Untuk ketiga kalinya suara salam itu terdengar. Pak Mas'ud sempat mengira orang di luar rumahnya sudah pergi karna untuk beberapa lamanya tak ada suara terdengar dari arah luar. Bu Mukmin mengernyitkan keningnya.
"Kayak suaranya bu Johani ya Pak," kata bu Mukmin. Ia mendekat ke arah pintu.
"Wa alaikum salam. Siapa ya?" tanya bu Mukmin.
"Saya Johani, Bu. Saya mau bicara dengan pak Mas'ud," kata perempuan yang mengaku Johani itu. Jantung pak Mas'ud kembali berdegup kencang. Mendengar nama Johani, ia langsung teringat kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu.
"Ada urusan apa, Bu. Apa gak bisa besok saja," jawab pak Mas'ud. Ia sudah bersiap-siap bangkit dari tempat duduknya. Ia masih menunggu jawaban dari Johani.
"Ini, saya hanya mau mengambil kopiah suami saya. Katanya tertinggal di mobil,"
Pak Mas'ud mengernyitkan dahinya. Ia menatap ke arah istrinya. Ia menyuruh Bu Mukmin membuka pintu. Pak Mas'ud bangkit. Lampu teplok di atas meja di ambilnya kemudian melangkah mendekati ke pintu.
"Maaf, mengganggu malam-malam, Pak, Bu. Suami saya mau shalat subuh, tapi ia baru ingat kalau kopiahnya ketinggalan di mobil," kata Johani sambil tersenyum.
"Memangnya Pak Adin ada di mana, Bu," tanya pak Mas'ud heran.
Johani mengerutkan dahinya. Ia tersenyum.
"Pak Mas'ud ini ada-ada saja. Ya di rumah lah, Pak. Kan perginya sama pak Mas'ud," jawab Johani. Pak Mas'ud menggaruk-garuk kepalanya. Ia benr-benar heran dengan cerita Johani. Bagaimana mungkin Adinullah sudah ada di rumah. Dia sendiri yang pakai mobil dengan kecepatan penuh saja baru beberapa menit tiba di rumah. Tapi tak mungkin Johani tahu kalau kopiah Adinullah tertinggal di mobilnya kalau bukan Adinullah sendiri yang memberitahunya. Pak Mas'ud benar-benar bingung.
"Ayo, Pak. Takut suami saya menunggu. Kalau boleh saya mau ambil kopiahnya," kata Johani membuyarkan kebingungan pak Mas'ud. Pak Mas'ud yang masih kebingungan menunjuk ke arah mobil.
"Ibu buka saja pintu mobilnya. Kopiahnya pak Adin ada di dalam. Oya, Bu. Ada beras juga di belakang," kata pak Mas'ud.
"Beras apa, Pak," tanya Johani.
"Ada jamaah yang akan gotong royong pagi ini. Tuan guru menyuruh pak Adin membawa beras," kata pak Mas'ud.
Johani mengangguk. Ia segera berbalik dan menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Setelah mengambil kopiah, ia kembali menemui pak Mas'ud dan bu Mukmin.
"Kalau begitu saya pulang dulu, Pak, Bu. Sekali lagi, maaf kalau mengganggu," kata Johani sambil memegang beras di atas kepalanya dengan kedua tangannya. Bu Mukmin tersenyum.
"Gak apa-apa, Bu Johani. Lagi pula ini sudah subuh. Kita juga mau shalat," Jawab bu Mukmin. Setelah berpamitan, Johani pun segera pergi. Bu Mukmin langsung masuk. Sedangkan pak Mas'ud sendiri masih berdiri di depan pintu rumahnya menatap tubuh Johani yang telah hilang di balik gelap malam. Berkali-kali ia terlihat menggelengkan kepalanya. Ia masih tidak percaya Adinullah sudah berada di rumahnya. Sangat mustahil sekali. Pak Mas'ud benar-benar dibuatnya penasaran.
"Bu, saya mau keluar sebentar. Saya baru ingat pesan Tuan guru. Saya lupa menyampaikannya tadi sama bu Johani," kata pak Mas'ud memanggil istrinya. Karna tidak ada jawaban, ia segera meletakkan kembali lampu teplok di atas meja. Ia kemudian keluar. Setelah menutup pintu, ia segera berlari-lari kecil menembus kegelapan malam.
Jarak antara rumah pak Mas'ud dengan rumah Adinullah kurang lebih sekitar tiga ratus meter. Adinullah yang merupakan pendatang baru, membangun rumah agak menyendiri dari rumah-rumah yang lain. Tanah yang ditempatinya kini adalah pemberian dari Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Sebelum sampai di rumah Adinullah, terlebih dahulu orang yang hendak ke sana harus melewati ladang yang di penuhi tanaman jarak. Rumah kecil milik Adinullah hampir tak terlihat karna di kelilingi batang-batang pohon bidara dan pohon banten. Lamat-lamat ia mendengar suara orang berbincang-bincang dari dalam rumah.
Pak Mas'ud mengendap di antara batang tanaman jarak di depannya. Ia tahu Adinullah tak memelihara anjing. Jadi ia tidak khawatir keberadaannya terendus. Tapi kejadian aneh yang terjadi pada Adinullah tadi di perjalanan, membuatnya berpikir jangan-jangan Adinullah mengetahui kedatangannya. Tapi rasa penasarannya membuatnya urung membatalkan niatnya. Ia hanya ingin memastikan bahwa Adinullah memang benar sudah berada di rumah seperti yang dikatakan istrinya.
Pak Mas'ud segera bersembunyi di balik pohon banten ketika melihat cahaya lampu teplok terlihat menerangi halaman rumah. Perlahan cahaya lampu itu memperlihatkan sosok tubuh laki-laki yang sudah tidak asing di matanya. Jantung pak Mas'ud berdegup kencang. Berkali-kali ia mengusap matanya. Tidak salah lagi. Itu memang Adinullah. Pak Mas'ud menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar ajaib. Atau mungkinkah orang yang bersamanya tadi ke pesantren adalah orang lain? Ataukah memang benar Adinullah adalah seorang yang sudah dalam tingkat seorang wali? Atau apakah orang yang kini bersama Johani bukan Adinullah? batin pak Mas'ud penuh tanda tanya.
Pak Mas'ud menghela nafas panjang. Jantungnya masih berdegup. Perlahan ia mundur dan segera meninggalkan tempat itu.
* * * * *
"Aku mau pergi duluan ke ladang. Mau bersih-bersih dulu. Nanti sarapannya di ladang saja," kata Adinullah sambil mengambil sabit yang terselip di sela-sela bambu atap rumahnya.
"Kok tumben sepagi ini mau ke ladang," kata Johani yang sedang mencuci beras di dekatnya.
"Hari ini jamaah mau gotong royong. Mau benahi pondok biar ada tepat berteduh orang yang bekerja," kata Adinullah. Ia menyalakan senternya. Wajahnya terlihat ceria tanpa ada kerutan kegelisahan sama sekali seperti biasanya. Langkahnya terlihat ringan melangkah keluar halaman rumah. Johani yang merasakan ada sedikit perubahan pada diri Adinullah, menghentikan pekerjaannya mencuci beras sejenak. Diam-diam ia memperhatikan Adinullah hingga tak terlihat di balik kegelapan malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments