Hujan masih turun dengan lebatnya ketika truk yang mengangkut Tuan Guru Alamsyah Hasbi bersama rombongan jamaah tiba di pondok pesantren. Nyai Hidayatullaili yang duduk di temani beberapa orang santri di beranda rumah langsung bangun ketika melihat truk berhenti di gerbang rumah. Beberapa santriwati di suruhnya ke dapur untuk memasak air.
"Masak air yang banyak, ya. Langsung seduhkan kopi buat tamu," perintah Nyai Hidayatullaili. Melihat Tuan Guru Alamsyah Hasbi berjingkrak-jingrak menuju ke arahnya, Nyai Hidayatullaili langsung masuk ke dalam rumah. Tak beberapa lama kemudian ia kembali dengan membawa payung. Tapi Tuan Guru Alamsyah Hasbi sudah keburu sampai di teras.
"Loh, belum tidur, Bu,"
"Belum, ibu khawatir, kok Bapak belum pulang dari tadi malam," kata Nyai Hidayatullaili. Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia melepas baju koko putih yang dipakainya dan kemudian memberikannya kepada Nyai Hidayatullaili.
"Ambilkan baju yang lain, Bu," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Nyai Hidayatullaili melangkah ke dalam rumah. Sambil menunggu, Tuan Guru Alamsyah Hasbi duduk di kursi teras rumah. Tak berapa lama kemudian, Nyai Hidayatullaili keluar dengan membawa sepotong baju dan sarung. Setelah mengganti pakaiannya, Tuan Guru Alamsyah Hasbi kembali ke gazebo menemui jamaah yang sedang duduk menunggunya. Di belakangnya, tiga orang santri terlihat membawa termos dan beberapa gelas.
"Ayo, yang mau ngopi lagi tinggal diseduh sendiri," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi mempersilahkan orang-orang yang duduk bersila di setiap sisi gazebo. Tuan Guru Alamsyah Hasbi melepaskan kopiahnya dan mengusap kepalanya yang sedikit basah dengan handuk kecil di tangannya. Ia mengernyitkan keningnya ketika melihat pak Mas'ud ada di antara orang-orang yang duduk.
"loh, pak Mas'ud juga ikut?" tanya Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Mas'ud tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Kalau hujan gak juga reda, nanti bisa tidur di kamar pak sopir," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Kembali pak Mas'ud tersenyum.
Salah satu jamaah merengsek pelan ke arah Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Dia tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya.
"Ada apa, Pak Anas," tanya Tuan Guru Alamsyah Hasbi ketika laki-laki yang dipanggilnya pak Anas itu tak juga berbicara. Pak Anas tersenyum.
"Saya mohon pamit pulang, Tuan Guru,"
"Mau pulang sendiri,Pak Anas. Apa gak nginap sekalian sama pak Mas'ud," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Lain kali saja, Tuan Guru. Ada pekerjaan di sawah yang harus saya selesaikan," kata pak Anas.
Ia kemudian menoleh ke arah orang-orang yang ada di belakangnya.
"Teman-teman juga mau ikut pulang, Tuan Guru," kata pak Anas. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menoleh ke arah orang-orang yang ada di belakang pak Anas. Mereka menundukkan kepala saat Tuan Guru Alamsyah Hasbi melihat ke arah mereka. Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengangguk.
"Terimakasih teman-teman semua. Mudah-mudahan jagung yang kita tanam tadi pagi bisa tumbuh subur dan mendapatkan hasil yang berlimpah. Insya Allah, hasil dari jagung itu akan kita gunakan untuk membangun panti asuhan. Semoga itu jadi amal jariyah kita semua," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Serempak orang-orang yang ada di gazebo mengaminkan kata-kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Billy, ayo antar mereka sebentar," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi memerintahkan sopir pribadinya mengantar pak Anas dan jamaah lain yang akan pulang ke rumah masing-masing.
"Pak Makripudin gak pulang?" bisik pak Anas setelah selesai bersalaman.
"Saya menginap di sini saja malam ini, Pak Anas. Ada urusan sedikit sama Tuan Guru," kata pak Makripudin. Pak Anas mengangguk dan turun dari gazebo. Setelah mengucap salam, pak Anas bersama teman-temannya segera menaiki truk.
Suara truk perlahan semakin menjauh dan tertelan suara hujan yang semakin lebat. Di gazebo hanya tersisa pak Makripudin dan pak Mas'ud yang menemani Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Pak Makripudin mengerdipkan matanya ke arah pak Mas'ud agar lebih mendekat. Pak Mas'ud mendekat dan duduk di samping pak Makripudin.
"Ayo, diseduh kopinya pak Mas'ud!" kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Mas'ud tersenyum. Dia mengambil gelas dn mulai membuat kopi.
"Begini, Tuan Guru, tadi pak Mas'udnya bisik-bisik. Mudah-mudahan malam ini beliau bisa mendengar pengajian dari Tuan Guru." pak Mas'ud tersipu malu saat pak Makripudin mengeluarkan apa yang tadi perjalanan ia ceritakan kepada pak Makripudin. Tuan Guru Alamsyah Hasbi hanya tersenyum. Ia meletakkan sapu tangan dan memasang kopiahnya. Ia menunjuk ke arah gelas. Pak Makripudin yang mengerti isyarat Tuan Guru Alamsyah Hasbi segera mengambil gelas kosong di atas nampan dan membuatkan kopi untuk Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Maaf, Tuan Guru. Terkait pak Adin, kira-kira malam ini apa dia gak kumat lagi. Kasihan si Johani. Saat ini dia pasti sedang ketakutan melihat suaminya seperti itu," kata pak Makrifudin sambil mengaduk kopi yang telah ia seduh air panas.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Angin yang berhembus sesekali membuatnya menyedekapkan kedua tangan di dadanya. Ia mendesah panjang.
"Seperti yang sudah aku katakan. Jabatan, ingin dipuji orang, ingin punya pengikut banyak, adalah ujian besar yang cendrung memaksa kita untuk menempuh segala cara untuk mendapatkannya. Apa yang terjadi saat ini pada pak Adin adalah buah ketidak sabarannya memulai sesuatu dengan pelan sebagaimana yang seharusnya. Dia terobsesi dengan keinginannya untuk melampaui sesuatu yang belum sesuai dengan kemampuannya." Tuan Guru Alamsyah Hasbi memperbaiki posisi duduknya. Ia menyeruput kembali kopinya. "Bertasawuf yang benar harus melewati beberapa langkah agar langkah kita benar-benar terarah, di antaranya adalah Tazkiyah al-Nafs, yaitu membersihkan jiwa, memperbaikinya dan menumbuhkannya agar menjadi semakin baik.. selanjutnya mujahadah dan Riyadhah, taubat, wara', zuhud, sabar dan terakhir tawakkal. Menyerahkan semua yang terjadi kepada Allah," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengakhiri kata-katanya.
Pak Mas'ud dan pak Makripudin menganggukkan kepalanya. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menselonjorkan kakinya ke arah pak Mas'ud. Ia menyingkap sarungnya hingga sebatas lutut. Pak Mas'ud yang sudah mengerti langsung mendekat. Kaki Tuan Guru Alamsyah Hasbi mulai di pijatnya.
* * * * *
Adinullah membuka matanya perlahan. Ia meringis dan memegang kepalanya yang terasa pusing. Perlahan Adinullah bisa melihat sebuah ruangan berwarna putih dengan lampu-lampu hias aneka rupa bergelantung di langit-langit ruang. Ruangan itu sangat luas. Dan anehnya, semakin ia memandangnya lama, ruangan itu seperti tak berbatas. Beberapa tiang penyangga besar yang berjejer sejauh mata memandang, seperti lorong masuk menuju dunia lain. Di lantai lorong itu terhampar permadani sepanjang tiang itu berjejer, sejauh mata memandang. Di sana sini berkilauan dengan indahnya berbagai bentuk permata dan berlian. Hampir memenuhi setiap ruang matanya memandang. Dinding-dinding ruangan itu keseluruhannya seperti terbuat dari perak. Dia seperti sedang berada di dunia imaji. Dunia yang hanya ada dalam angan-angan panjang.
Adinullah memperhatikan ranjang tempatnya kini berbaring. Adinullah mengangkat tubuhnya pelan. Ia menggelengkan kepalanya. Benar-benar menakjubkan. Semuanya berkilauan dengan permata-permata. Bahkan butir-butir berlian yang tak terhitung jumlahnya, berserakan di tempat tidurnya. Benar-benar pemandangan yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya.
Adinullah memincingkan matanya. Kedua telinganya kini seperti menangkap suara gemericik air. Dia menoleh kesana kemari. Tak ada apapun yang menandakan bahwa di sekitarnya ada air. Adinullah mendesah dan perlahan turun dari atas ranjang. Gemericik air itu semakin jelas terdengar. Suaranya seperti terdengar dari bawah ranjang.
Adinullah menundukkan tubuhnya. Spray berwarna emas yang menutupi permukaan ranjang di sibaknya, dan..., lagi-lagi Adinullah terbelalak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
luar biasa imajinasi mu Thor, seperti sungguhan
2024-02-17
1