Johani terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sekelilingnya yang gelap. Suara dengkur Adinullah terdengar keras mengiringi suara melata di luar rumah. Johani bangkit perlahan sembari meraba-raba ke arah tempat tidur di sampingnya. Ia mendesah lega ketika tangannya menyentuh tangan Adinullah.
Setelah itu, Johani melangkah dengan tetap meraba di pagar pondok sebagai panduannya menemukan lampu teplok yang tadi ia letakkan tak jauh dari ranjang tempat Adinullah tidur.
Tangan Johani tepat memegang lampu teplok di depannya. Ia menggoyang-goyangkannya. Tak ada suara minyak tanah yang terdengar dalam wadah lampu. Johani kembali mengarahkan tangannya meraba-raba di atas meja. Sebuah pematik api ditemukannya lalu menyalakannya. Setelah menemukan jerigen berisi minyak tanah di bawah meja, ia mematikan pematik api. Dalam kegelapan, Johani menuangkan minyak tanah ke dalam wadah lampu teplok. Bau minyak tanah seketika menyeruak di dalam ruangan.
Suasana di dalam pondok perlahan benderang dengan cahaya lampu teplok yang baru saja dinyalakan oleh Johani. Perlahan ia bisa melihat tubuh Adinullah terlentang di atas tempat tidur. Johani mengernyitkan keningnya ketika setelah untuk beberapa saat menatap tubuh Adinullah, ia merasa ada yang lain, yang berubah dari keadaan Adinullah. Saat tidur tadi, Adinullah masih memakai Jaz lusuh warna merahnya, tapi sekarang, jaz itu terlihat tergantung di atas kepalanya. Apakah tadi Adinullah bangun dan membuka jaznya? tanya Johani dalam hati.
Suasana malam benar-benar sunyi dan mencekam. Hal yang sebenarnya sudah biasa bagi Johani, tapi tidak dengan malam ini. Suasana menakutkan dan mencekam mulai terasa sejak hal aneh yang terjadi pada Adinullah. Memandang Adinullah saja, bulu kuduknya spontan berdiri. Seperti ada kekuatan aneh yang menaungi Adinullah.
Mulut Johani mulai komat-kamit membaca doa apa saja yang ia hafal dan ingat. Ketika rasa takut mulai mengganggu perasaannya, dia semakin mempercepat bacaannya, dengan harapan ia tidak memperhatikan lagi ketakutan itu. Dia yakin, Tuan Guru Alamsyah Hasbi tak akan membiarkannya sendirian menghadapi sesuatu yang merasuki diri Adinullah.
Johani melangkah pelan menuju tempat tidurnya. Tanpa menoleh ke arah Adinullah, ia membaringkan tubuhnya pelan. Dia berharap kantuk segera menggerayangi matanya agar ia lekas bertemu pagi.
* * * * *
Pagi merekah cerah. Johani tergagap dari tidurnya ketika mendengar teriakan keras dari luar pondok. Itu suara Adinullah. Kumatkah ia sepagi ini sehingga berteriak seperti itu? pikir Johani. Ia segera bangkit. Setelah memperbaiki sarung yang dipakainya, ia segera bergegas keluar pondok. Di lihatnya Adinullah berdiri tanpa baju menghadap ke arah pintu. Matanya tajam menatap ke arahnya ketika ia sudah berada di depan pintu.
"Ada apa, Kak. Kenapa sepagi ini Kakak marah-marah seperti itu. Apa yang terjadi," tanya Johani. Mata Adinullah semakin tajam. Suara geramannya seperti auman harimau.
"Bangsat! Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan kamu," kata Adinullah sambil menunjuk ke arah jaz lusuh yang tergeletak di atas tanah. Johani mengernyitkan keningnya. Ia melangkah pelan mendekat.
"Ada apa dengam jas ini. Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan," kata Johani. Ia menatap Adinullah lekat.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Tadi malam aku menyimpan roti di saku jas itu, tapi lihat !" Adinullah menunduk dan mengambil jas itu. Ia kemudian menjatuhkan isi di dalam saku jas itu. Johani kembali mengernyitkan keningnya. Ia nampak heran. Bagaimana mungkin kotoran anjing kering berhamburan keluar dari dalam saku jas Adinullah.
"Astaghfirullah," desah Johani. Dia lebih mendekat, ingin memastikan apa yang dilihatnya memang benar kotoran anjing.
"Itu Nakjis Kak Adin. Bagaimana mungkin aku meletakkan barang nakjis itu ke dalam saki jasmu. Aku masih waras," kata Johani memberikan pembelaan.
"Alah! Jangan bohong. Jangan bilang kalau seseorang masuk ke dalam rumah dan meletakkan kotoran itu di dalam bajuku. Tuan Guru sesat itu pasti telah menyuruhmu meletakkannya karna menganggap aku kerasukan jin," kata Adinullah sengit. Johani menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Adinullah. Ia mengusap dadanya. Tatapan tak percayanya tak berpaling dari wajah Adinullah yang merah membara.
"Astaghfirullah, apa yang kamu katakan ini Kak Adin. Gak boleh. Jangan sampai Kak Adin kena kualat gara-gara mengatai Tuan Guru seperti itu." Johani menoleh ke sekelilingnya. Setelah itu kembali menatap Adinullah.
"Kak Adin juga bisa diamuk orang kalau sampai ada yang mendengar Kak Adin mengatai Tuan Guru seperti itu," sambung Johani. Adinullah tersenyum ketus.
"Ayo, suruh saja mereka datang. Bila perlu, suruh Tuan Gurumu datang. Aku tidak takut," kata Adinullah. Johani tak henti-henti menggelengkan kepalanya. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Adinullah.
"Sekarang, aku beri kamu pilihan. Jika tetap ingin menjadi istriku, maka ikutlah perintahku.Tapi jika kamu tetap lebih mematuhi Tuan Guru keparat itu, aku tidak mau menjadi suamimu lagi," kata Aminullah. Lutut Johani terasa lemas ketika mendengar kata-kata Adinullah. Tubuhnya bergetar hebat. Isi otaknya seperti menguap meninggalkan kepalanya. Dia melongo dan tak bisa berkata apa-apa.
"Pak Adin! Apa yang baru saja kamu katakan itu." tiba-tiba seorang lelaki paruh baya pengembala kambing yang kebetulan lewat di samping pondok Adinullah masuk menerobos masuk ke halaman pondok Adinullah.
Johani terbuyar dari ketertegunannya. Ia menoleh dan begitu terkejut ketika laki-laki itu mengeluarkan parang dari balik bajunya. Johani segera berhamburan mendekati laki-laki itu.
"Pak Satri, tahan, Pak Satri. Suami saya lagi khilaf. Dia tak tahu apa yang sedang dibicarakannya," kata Johani memohon. Laki-laki yang dipanggil pak Satri itu menghela nafas panjang. Ia terlihat berusaha menenangkan diri. Adinullah tersenyum seperti mencemooh.
"Biarkan dia mendekat, Johani. Aku ingin tahu kemampuan para pengikut Tuan Guru keparat, sesat dan menyesatkan itu."
Demi mendengar kata-kata Adinullah itu, emosi pak Satri yang tadinya mulai tenang spontan melonjak. Darahnya mendidih. Walaupun ia bukan murid aktif Tuan Guru Alamsyah Hasbi, tapi Tuan Guru Alamsyah Hasbi adalah sosok alim yang tak boleh dihina seperti itu.
Pak Satri kembali mengangkat parangnya dan maju dengan cepat. Johani yang berusaha lagi menahan langkahnya bahkan harus terjatuh di dorong pak Satri. Tangan pak Satri begitu ringan hendak menebas tubuh Adinullah. Johani menutup matanya dan pasrah.
Suara besi yang jatuh dan seperti membentur batu terdengar nyaring, membuat suasana tiba-tiba menjadi hening. Johani mengangkat kepalanya dan perlahan menoleh ke arah suara. Ia terdiam heran menatap Adinullah yang berdiri tegap sambil berkacak pinggang. Kepalanya diangguk-anggukkannya seraya tersenyum menatap pak Satri yang berdiri kaku seperti patung di hadapannya. Johani belum mengerti apa yang telah terjadi. Kenapa tiba-tiba parang di tangan pak Satri terlepas. Dan apa yang terjadi padanya sehingga selama itu ia melihatnya, tubuhnya nyaris tak bergerak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments