Adinullah melangkah gagah membusungkan dadanya dan melangkah lebih dekat ke arah pak Satri. Bahkan saking dekatnya, wajahnya hampir bersentuhan dengan wajah pak Satri. Ia awalnya sempat ketakutan saat pak Satri mengayunkan parangnya sebelum Johani menghalanginya, kini merasa sudah di atas angin. Suara bisikan yang ia kenal sebagai suara Zabarjad telah menyingkirkan rasa takutnya. Dan ia telah membuktikannya. Ia melihat tubuh pak Satri tiba-tiba kaku. Parang yang ada di tangannya juga tiba-tiba terlepas.
"Ambil air dan bacakan tidak ada tuhan pada air itu. Kemudian percikkan ke wajah dan seluruh tubuh orang itu." Suara bisikan kembali terdengar di telinga Adinullah. Adinullah tersenyum. Ia menoleh ke arah Johani yang masih ternganga melihat apa yang terjadi di depannya.
"Johani, ambilkan aku segelas air," perintah Adinullah. Johani tak merespon. Ia seperti masih belum percaya dengan keanehan di depannya. Hingga ketika Adinullah kesal dan berdiri tepat di depannya, ia masih terbengong.
"Hei!" teriaknya keras.
Adinullah menarik ujung jilbab Johani dengan kerasnya sampai jilbab itu terlepas dari kepalanya. Johani tergagap dengan sedikit meringis karna beberapa helai rambutnya ikut tertarik. Ia mendongak menatap Adinullah. Mata Adinullah kembali dilihatnya tajam seperti hendak menelan tubuhnya.
"Ambilkan air!" teriak Adinullah kedua kalinya. Johani segera bangkit. Tanpa menoleh lagi, ia berbalik dan segera bergegas menuju pondok. Tak beberapa lama kemudian, ia kembali lagi dengan membawa segelas air. Gelas yang tadinya penuh dengan air, sudah tinggal setengahnya karna Johani tak bisa menahan tangannya yang bergetar ketakutan. Pandangan tajam Adinullah tak berpaling sampai Johani sudah berada di depannya.
"Ini, ni, contoh pengikut Tuan Guru sesat itu. Bagaimana kalian bisa sampai ke Tuhan jika lambat seperti ini," kata Adinullah. Ia lalu berbalik dan kembali berhadapan dengan pak Satri yang masih tak bergerak. Hanya matanya yang melirik kesana kemari mengikuti kemana Adinullah bergerak.
Adinullah tersenyum. Ia kemudian mengangkat gelas di tangannya. Mulutnya terlihat mulai komat-kamit membaca mantra.
"Ini, aku akan obati kamu. Kamu mulai hari ini harus tahu bahwa aku ini adalah rajanya para wali," kata Adinullah. Ia kemudian memasukkan air ke dalam mulutnya dan mulai berkumur-kumur.
Pak Satri melonjak kaget ketika Adinullah menyemburkan air di dalam mulutnya ke wajah pak Satri. Pak Satri menggerakkan kedua tangannya perlahan sambil memperhatikan tubuhnya yang tak lagi kaku. Ia menatap takjub ke arah Adinullah. Ia kemudian melangkah maju dan bersimpuh di depan Adinullah. Kedua tangan Adinullah diciumnya bergantian. Adinullah tampak tersenyum puas. Ia mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Johani. Seakan-akan ingin mengatakan kepada Johani bahwa dia bukanlah Adinullah yang dulu. Adinullah yang sekarang adalah hamba terdekat Tuhan yang bergelar Sulthonul Auliya'. Rajanya para wali.
"Jadikan aku muridmu, Pak Adin?" kata pak Satri sambil terus bersimpuh memegang kedua tangan Adinullah. Adinullah tersenyum. Ia memegang kepala pak Satri. Rambut pak Satri diacak-acaknya.
"Jika kamu ingin menjadi muridku, mulai hari ini jangan panggil aku Tuan Guru Mawalli Maolana Ibrahim," kata Adinullah. Pak Satri mengernyitkan dahinya.
"Bukankah itu nama gurunya Tuan Guru Alamsyah Hasbi?" tanya pak Satri. Kembali Adinullah tersenyum.
"Benar, saat ini sosok Tuan Guru Mawalli Maolana Ibrahim telah menitis di tubuhku untuk menyempurnakan ilmu tarekatnya. Apa yang belum di ajarkan beliau, kini akulah yang akan melanjutkannya," kata Adinullah.
"Lalu, bagaimana Tuan Guru Alamsyah Hasbi? Bukankah dia sebagai muridnya yang pantas menggantikan Tuan Guru Mawalli Maolana Ibrahim sebagai mursyid tarekat?" tanya pak Satri.
Adinullah menghela nafas panjang. Dia merasa pertanyaan pak Satri adalah awal akan menyebarnya ajaran baru yang dibawanya. Ia akan menggaet pengikut yang banyak. Pengikut yang akan ikut menyebarkan ajarannya. Nama dan pengaruhnya akan melebihi pengaruh Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Aku ini adalah penyempurna ajaran itu. Sebagamana hal Al-qur'an sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Dengan menitisnya Tuan Guru Mawalli Maolana Ibrahim, itu artinya, Tuan Guru Alamsyah Hasbi sudah tidak berlaku lagi," kata Adinullah. Ia memegang kepala pak Satri dan menariknya berdiri. Dia menepuk kedua lengan tangan pak Satri dengan kerasnya.
"Kamu beruntung karna menjadi orang pertama yang melihat mukjizatku. Jika benar kamu ingin menjadi muridku, aku akan mengajakmu menyaksikan keindahan alam malakut?"
"Alam Malakut?" desah pak Satri. Hal itu sering ia dengar sekilas saat mencuri dengar pengajian Tuan Guru Alamsyah Hasbi di rumah salah satu peladang di tempat itu. Dia tidak begitu faham, tapi ia merasa itu menarik perhatiannya. Pak Satri tersenyum. Wajahnya menebar keceriaan.
"Kapan aku bisa di ajak kesana , Pak Adin?" tanya pak Satri penuh harap. Adinullah tersenyum. Ia kemudian menoleh ke arah Johani yang masih terpaku berdiri.
"Hei, kamu! jangan berdiri saja di sana. Buatkan kopi untuk kami. Cepat!" kata Adinullah. Johani segera berbalik. Ia tak mau terus berdiri menatap heran Adinullah. Kali ini ia merasa Adinullah tak akan segan-segan menyakitinya. Mengingat bagaimana tadi jilbabnya ditarik begitu keras. Saat ini, sekeliling pondoknya seperti sedang dinaungi kekuatan besar. Suasananya benar-benar terasa berbeda. Jika digambarkan, suasananya akan seperti awan gelap yang menaungi langit. Setelah memastikan Johani melaksanakan perintahnya, Adinullah mengajak pak Satri duduk di sebuah bangku panjang dengan alas bambu, di bawah pohon bidara.
"Bagaimana aku bisa melihat alam malakut itu, Pak Adin?" tanya pak Satri. Adinullah tersenyum. ia meletakkan jari tangannya di bibirnya.
" ssst..., ini sifatnya rahasia. Ada beberapa persyaratan yang harus dijalani seseorang untuk bisa menyaksikan alam itu. Itu juga adalah bentuk bai'ah kepadaku,"
"Apa itu, Pak Adin?"
Adinullah tersenyum.
"Adab kepada guru adalah syarat pertama. Memanggil nama guru dengan namanya, itu bukanlah adab yang baik. Mulai hari ini, panggil aku dengan sebutan Syeikh Addinullah Maolana Ibrahim?"
"Syeikh Addinullah Mawlana Ibrahim?" kata pak Satri. Adinullah mengangguk mantap.
"Syarat yang kedua, Pak Satri. Menjaga rahasia tarekat. Apa yang aku sampaikan dan wejangkan tak boleh didengar oleh siapapun kecuali pengikutku." Pak Satri mengangguk.
"Yang ketiga, Lazimkanlah berzikir dengan "La ila ha."
Pak Satri mengerutkan dahinya.
Melihat Pak Satri seperti heran dengan apa yang baru disampaikannya, Adinullah menepuk paha pak Satri sehingga membuat pak Satri kaget.
"Pak Satri itu sepertinya masih ragu. Lebih baik pak Satri pulang saja,"
"Tidak Pak Adin...,eh, maksud saya Syeikh Addinullah Mawlana Ibrahim," kata pak Satri. Kedua tangan Adinullah dipegangnya lalu diciumnya. Adinullah tersenyum puas.
Sementara itu, di dalam pondok tampak Johani mengintip dari celah pagar sambil menunggu air yang dimasaknya mendidih. Jantung dan dadanya masih berdebar. Hari ini ia benar-benar merasa ketakutan, apalagi setelah melihat keanehan yang terjadi di depan matanya. Tapi dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak bisa menelpon Tuan Guru Alamsyah Hasbi karna daya baterai ponselnya telah habis sejak tadi malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments