Seperti orang yang sedang di tusuk dengan besi panas, tubuh Adinullah menggeliat semakin keras ketika Tuan Guru Alamsyah Hasbi menyentuh kepalanya. Tubuhnya bergerak kesana kemari. Tuan Guru Alamsyah Hasbi terlihat kewalahan menetapkan tangannya di kepala Adinullah. Ia memberi isyarat kepada orang-orang yang berkerumun untuk membantunya memegang tubuh Adinullah yang menendang kesana kemari.
Empat orang bertubuh besar maju. Masing-masing memegang kedua tangan dan kaki Adinullah. Setelah memastikan tubuh Adinullah sudah bisa dikuasai keempat orang itu, Tuan Guru Alamsyah Hasbi menoleh ke arah orang-orang yang sedang berkerumun.
"Yang lain silahkan lanjutkan pekerjaannya. kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Makripudin memberi komando agar keluar.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi lalu meminta botol air kemasan yang dipegang oleh Johani dan memercikkannya ke sekujur tubuh Adinullah. Perlahan tubuh Adinullah yang mengamuk mulai melemah. Begitu juga dengan tatapan tajam matanya. Dan kini Adinullah seperti orang yang tak punya tenaga. Ia lemas dengan nafas cepat.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi lalu duduk di depan kedua kaki Adinullah. Ia lalu memegang jari kelingking kaki kiri Adinullah dan memencetnya. Dari pelan dan tekanan dua jari tangan Tuan Guru Alamsyah Hasbi di jari kelingking Adinullah semakin keras. Tapi tak ada reaksi dari tubuh Adinullah. Dia tidak melakukan perlawanan sama sekali. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menatap mata Adinullah yang terpejam. Johani yang hanya berdiri terlihat semakin cemas. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menyuruh orang-orang yang memegang tubuh Adinullah agar melepaskan pegangan mereka.
"Kalian boleh keluar. Biarkan pak Adin istirahat dulu," ujar Tuan Guru Alamsyah Hasbi kepada keempat orang yang memegang Adinullah.
"Dan kamu Johani, jaga suamimu baik-baik. Biarkan saja penutup ini terbuka biar udara bisa masuk," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Dia membalikkan tubuhnya hendak keluar.
"Maaf, Tuan Guru, sebenarnya apa yang terjadi pada suami saya," kata Johani. Tuan Guru Alamsyah Hasbi membalikkan badannya dan urung melangkah. Ia menatap johani beberapa saat. Ia ingin memastikan jawaban yang pas yang akan ia berikan untuk Johani. Dia melihat tatapan Johani yang cemas dan gelisah, namun ia tahu Johani sudah siap mendengarkannya.
"Pikiran suamimu sudah lama kosong karna obsesinya meraih sesuatu yang sangat tinggi namun di luar kemampuannya. Pikirannya sudah terlalu jauh masuk ke alam yang seharusnya tak boleh ia pikirkan. Seorang perempuan dari bangsa jin sedang mengincarnya," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Johani terdiam. Ia menoleh sebentar ke arah Adinullah yang masih tertidur pulas. Johani kembali menoleh ke arah Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Kedua telapak tangannya yang ia silang-silangi satu sama lain menandakan kecemasannya.
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Tuan Guru?" kata Johani.
"Jangan biarkan suamimu menyendiri, apalagi sambil menatap ke arah puncak bukit itu. Jangan melewati batas ladang di bagian mana saja dari ladang ini." Tuan Guru Alamsyah Hasbi menghela nafas panjang.
"Jika perempuan itu menginginkan suamimu, itu berarti ia menganggapmu sebagai halangannya. Dia akan terus mengganggumu sampai kamu menyerah dan meninggalkan suamimu. Perbanyaklah membaca ; Bismillahilladzi la yadurru ma'asmihi syay'un fil ardi wala fissama'i wahuwas sami'ul alim." Tuan Guru Alamsyah Hasbi kembali membalikkan badannya namun tetap di tempatnya berdiri.
"Dan jangan takut, karna jin akan dengan mudahnya menguasai manusia yang takut kepada selain Allah," sambung Tuan Guru Alamsyah Hasbi dengan posisi membelakangi Johani. Ia lalu melangkahkan kakinya pelan menuju orang-orang yang sedang bekerja. Johani mendesah pendek. Setelah menatap Adinullah yang masih memejamkan matanya, Johani mendekat. Tubuh Adinullah yang terbuka kemudian ditutupnya dengan sarung.
Matahari tak terasa sudah berada di tengah-tengah langit. Cuaca hari ini cerah di atas langit Bako Tinggi. Awan hitam masih terlihat sangat jauh di langit sebelah. Dua atau tiga jam lagi mungkin angin akan segera menerbangkannya merata memenuhi langit. Syukurlah pekerjaan menanam bibit jagung hari ini selesai sesuai perkiraan Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Setelah selesai makan siang dan shalat dhuhur berjamaah, Tuan Guru Alamsyah Hasbi menyuruh jamaah untuk menaikkan peralatan yang dibawa ke atas truk. Tak terkecuali Johani yang disuruh Tuan Guru Alamsyah Hasbi untuk membawa Adinullah pulang. Tak beberapa lama kemudian, truk yang mengangkut Tuan Guru Alamsyah Hasbi dan para jamaahnya, mulai bergerak meninggalkan ladang.
Suasana di sekitar ladang kembali sepi. Tak ada lagi terdengar suara canda orang-orang yang tadinya bekerja, pun juga bisik-bisik tentang apa yang terjadi pada Adinullah. Mendung yang tadinya terlihat di kejauhan perlahan mengendap pelan namun pasti dan berkumpul di atas langit Bako Tinggi. Angin mulai bertiup kencang. Hawa dingin mulai terasa. Burung-burung beterbangan kesana kemari mencari tempat berteduh.
Bukit Bako Tinggi terlihat gelap. Seperti raksasa hitam yang sedang terlelap dalam tidur panjangnya. Di bawah pohon asam, Zabarjad berdiri menatap ke arah bawah, mengikuti pergerakan truk yang perlahan menghilang di balik lebatnya semak dan pepohonan.
Suasana mencekam semakin terasa ketika rintik-rintik hujan mulai terdengar menghantam dedaunan.
Johani yang duduk di bagian depan mobil bersama Adinullah dan sopir segera memapah tubuh Adinullah turun dari mobil.
"Langsung saja bawa masuk suamimu ke dalam. Ini sudah mulai hujan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang duduk bersama para jamaah di belakang, ketika melihat Johani seperti sedang mencarinya. Mendengar itu, Johani langsung memapah Adinullah memasuki halaman gubuknya.
Hujan turun dengan derasnya. Suasana siang benar-benar sudah berubah gelap. Suara angin yang menghempas dan rintik-rintik hujan yang jatuh di dedaunan pohon, terdengar riuh menambah ngeri suasana.
Rohani mendudukkan Adinullah yang masih lemah di atas ranjang. Suara bambu alas ranjang berderat keras ketika tubuh Adinullah dibaringkannya perlahan. Tatapan Aminullah terlihat kosong namun fokus ke arah depan. Johani yang mondar-mandir memasang kelambu penghalang nyamuk sama sekali tak dihiraukannya. Johani mencoba menabahkan hatinya ketika rasa takut mulai muncul sejak memasuki halaman gubuknya. Amalan doa yang diajarkan Tuan Guru Alamsyah Hasbi tak henti-henti dibacanya dalam hati. Sedikit tidak, hawa dingin mencekam yang ia rasakan beberapa menit lalu sudah tidak terasa. Ia yakin hawa dingin itu bukan berasal dari hujan yang disertai angin hari ini. Ada kekuatan ghaib yang sedang membuntutinya.
Perlahan cahaya lampu teplok yang dinyalakan Johani menyebar memenuhi ruangan. Jam digital di ponsel nokia 115 milik Johani sudah menunjukkan pukul 16.00. Hampir malam. Dia berharap malam ini Adinullah tidak berulah lagi. Jika tidak terlalu mengantuk, ia ingin malam ini mengamalkan wirid itu sepanjang malam.
Wajah Johani tiba-tiba berubah ketika menyadari saat ini dia sedang datang bulan. Ia melangkah dan duduk di samping Adinullah. Air yang sudah didoakan Tuan Guru Alamsyah Hasbi, yang masih tersisa setengah diambilnya dan diletakkannya di pangkuannya. Di tatapnya Adinullah dalam. Ingin sekali ia memeluk tubuh Adinullah, tapi ia takut Adinullah yang masih seperti sedang berada di alam lain merasa terganggu dan marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
kayaknya sama persis yg sedang dialami Ibuku, semoga saja beliau segera sadar
2024-02-17
0