Setelah melalui perjalanan panjang yang nyaris tanpa orbrolan antara Adinullah dan pak Mas'ud, akhirnya mereka sampai di depan gerbang pesantren. Di depan gerbang, sudah terparkir dua mobil pick up warna hitam. Pak Mas'ud memarkir mobilnya di belakang salah satu mobil. Tuan Guru Alamsyah Hasbi dan beberapa jamaah yang sedang duduk di gezebo depan rumah serempak menoleh ke arah gerbang.
"Hahaha..., Pak Adin, Pak Mas'ud, mari masuk," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi ketika melihat Adinulah dan pak Mas'ud keluar dari mobil. Keduanya tersenyum dan melangkah mendekat.
"Assalamualaikum," ucap pak Mas'ud. Orang-orang yang hadir serempak menjawab salam pak Mas'ud. Pak Mas'ud dan Adinullah langsung menuju tempat duduk Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Setelah menyalami Tuan Guru Alamsyah Hasbi, satu persatu orang yang ada di gazebo di salami keduanya.
"Duduk di sini, Pak Adin, Pak Mas'ud. Ayo geseran sedikit," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi ke arah orang yang ada di samping dan depannya. Ia menepuk-nepuk lantai gazebo yang terbuat dari papan. Adinullah dan pak Mas'ud yang hendak duduk di pojok, segera berbalik dan kembali ke tempat Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Mas'ud langsung mengambil posisi duduk di depan Tuan Guru Alamsyah Hasbi, sedangkan Adinullah di arahkannya agar duduk di samping Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Berangkat jam berapa, Pak Mas'ud,"kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menepuk paha pak Mas'ud. Pak Mas'ud tersenyum. Ia tersipu malu sebab pandangan orang-orang tertuju ke arahnya.
"Habis shalat isya', Tuan Guru. Hujannya lebat sekali. Jadi kami harus pelan-pelan di jalan. Jalannya banyak yang berlubang," jawab pak Mas'ud. Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengangguk. Ia menoleh ke arah laki-laki yang tampak paling muda di antara jamaah yang duduk.
"Coba kamu ke dapur dulu. Suruh santri yang masih di sana untuk buat kopi," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Laki-laki itu bangkit dan melangkah menuju dapur.
"Insya Allah, hasil pembicaraan kita dengan pak Bupati, bulan depan jalan menuju kawasan hutan akan segera diperbaiki," sambung Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Alhamdulillah," ucap pak Mas'ud dan Adinullah secara bersamaan.
"Itu gunanya antara ulama dan umaro harus terjalin sinergi. Bukan ulama yang menjilat penguasa seperti tuduhan orang-orang. Inilah bentuk silaturrahim kita. Jika ulama dan penguasa satu hati, semua program insya Allah akan sampai kepada masyarakat," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Segenap jamaah yang hadir menganggukkan kepala. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menggoyang-goyangkan gelas di tangannya dan meminumnya.
"Terus, bagaimana perkembangan di ladang," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi beralih ke arah Adinullah. Adinullah melepaskan kedua tangannya yang menggenggam satu sama lain di ujung sarungnya karna dingin. Kedua tangannya terlihat bergetar.
"Saya masih nunggu jamaah yang akan gotong royong membersihkan semak-semak, Tuan Guru. Saya juga butuh bambu dan asbes untuk atap pondok," kata Adinullah. Dia menundukkan kepalanya.
"Nah, terkait gotong royong, mumpung ketua jamaahnya ada di sini, silahkan tanya langsung ke yang bersangkutan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menunjuk ke arah laki-laki berjanggut yang ada di dekat pak Mas'ud. Laki-laki itu hanya tersenyum.
"Bagaimana, Pak Makripudin. Kapan bisa ajak jamaahnya gotong royong. Ini harus cepat. Kita ini paling lambat mempersiapkan lahan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendahului.
Laki-laki yang dipanggil Makripudin itu tersenyum. Bola matanya bergerak kesana kemari seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Itu terlihat juga dari jari-jari tangannya yang seperti sedang menghitung.
"Insya Allah, Besok bisa Tuan Guru," jawabnya beberapa saat kemudian. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menganggukkan kepalanya.
"Nah, nanti kalau pulang, jangan lupa membawa beras untuk makan jamaah besok. Insya Allah, sepulang dari Mataram, saya akan langsung menyusul ke ladang," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Adinullah mengangguk.
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan diantara derasnya hujan. Sudah jam 12 malam.
Para jamaah terlihat saling pandang satu sama lain. Seperti saling suruh untuk meminta ijin pulang kepada Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Makripudin merubah posisi duduk bersilanya jadi bersimpuh. Kepalanya dibungkukkan menghadap Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Mohon maaf, Tuan Guru. Saya mewakili teman-teman mau pamit pulang,"
"Owch, begitu. Jangan lupa untuk yang besok. Ajak jamaah sebanyak mungkin. Kalau memungkinkan, kita akan langsung menanam jagung besok," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Geh, Tuan Guru," kata pak Makripudin. Ia lebih mendekat dan menyalami Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Yang lain, satu persatu mengikuti di belakang pak Makripudin.
"Assalamualaikum," ucap pak Makripudin. Tuan Guru Alamsyah Hasbi, pak Mas'ud dan Adinullah serempak menjawab. Tak beberapa lama kemudian, mobil yang ditumpangi mereka perlahan meninggalkan lokasi pondok pesantren.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendesah panjang. Bantal yang digunakannya bersandar diambilnya dan meletakkannya di tengah-tengah gazebo. Ia lalu beringsut dan membaringkan kepalanya sembari meluruskan kakinya. Adinullah dan pak Mas'ud disuruhnya lebih mendekat.
"Tolong dipijat dulu, Pak Mas'ud," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menyodorkan salah satu tangannya kepada pak Mas'ud. Pak Mas'ud lebih mendekat dan langsung memijit tangan Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Pijit kakiku juga, Adin," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menggerak-gerakkan salah satu kakinya. Adinullah beringsut maju dan langsung memijit salah satu kaki Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Pak Mas'ud melirik ke arah Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang bibirnya bergerak seperti sedang melafalkan sesuatu. Pak Mas'ud mendesah. Ada yang ingin ia tanyakan, namun takut mengganggu Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Apa yang ingin kamu sampaikan, Pak Mas'ud," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi tiba-tiba seperti sudah mengetahui gelagat pak Mas'ud. Pak Mas'ud tersenyum.
"Saya ingin menanyakan sesuatu yang sudah lama sekali saya dengar, Tuan Guru. Saya penasaran sekali. Setiap orang yang mengaku bertarikat, selalu mengatakan itu kepada saya,"kata pak Mas'ud. Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia memperbaiki posisi berbaringnya. Kini ia memiringkan badannya menghadap pak Mas'ud.
"Apa itu, Pak Mas'ud" tanyanya. Pak Mas'ud kembali tersenyum.
Pak Mas'ud menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu malu.
"Apa benar kita boleh tamatkan shalat jika sudah masuk tarekat, Tuan Guru. Itu yang sering saya dengar dari mereka, Tuan Guru," kata pak Mas'ud. Adinullah mendengarkan dengan seksama. Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia mendesah panjang.
"Apapun boleh kita lakukan, Pak Mas'ud, tapi dengan syarat, kita berani mempertanggung jawabkannya. Termasuk shalat. Pak Mas'ud boleh gak shalat lagi kalau pak Mas'ud bisa mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia mengangkat tubuhnya dan menggesernya hingga bersandar di salah satu tiang gazebo. Dia mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada Adinullah agar mengambilkan gelas kopinya. Ia lalu menyeruputnya.
"Lihat gazebo ini," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menepuk-nepuk tiang gazebo tempatnya bersandar. Pandangan mata pak Mas'ud dan Adinullah tertuju ke arah tiang.
"Bisakah gazebo ini tegak jika tiang-tiangnya kita robohkan?" sambung Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Roboh, Tuan Guru," jawab pak Mas'ud. Adinullah memperhatikan bibir Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Dia serius menunggu kata-kata yang akan keluar dari Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Begitupun juga dengan shalat. Jika kita tinggalkan shalat yang merupaka tiang dari agama kita, maka kita sama saja dengan merobohkan tiang kita. Dalam sebuah kitab diterangkan, Shalat adalah sebenar-benarnya cara kita berhubungan dengan Tuhan. Ibaratnya HP, sebanyak-banyaknya pulsa yang ada dalam hp kita, tak akan berguna apa-apa jika tidak ada sinyal. Hp semahal apapun dia. Pulsa sebanyak apapun yang ada di dalamnya, tidak berfungsi tanpa sinyal. Begitu juga dengan ibadah-ibadah kita yang lain. Jika shalat kita tak di terima, maka ibadah-ibadah kita yang lainpun tak akan diterima. Jadi shalat memegang peranan penting dalam kehidupan seorang hamba. Karna itulah bentuk nyata penghambaan kita kepada Sang Pencipta," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia meraih plastik putih bening berisi tembakau didepannya. Setelah membuatnya menjadi sebatang rokok. Setelah itu ia menyulutnya.
"Maaf, Tuan Guru. Apakah dengan mengikuti Tariqat kita bisa melihat Allah?"
Adinullah yang sedari tadi hanya diam mendengarkan akhirnya tak tahan ikut bicara.
"Ha ha ha....Apa yang kamu bicarakan itu, Adinullah." Tuan Guru Alamsyah Hasbi tertawa.
"Lihatlah, Allah ada dimana-mana. Alam semesta ini adalah wujud keberadaan Allah. Jika kamu ingin menyingkap rahasia ketuhanan pada segala sesuatu, maka bukalah rahasia itu dengan Shalat. Semua sudah jelas, Pak Mas'ud. Shalat itu adalah pensuci bagi hati dari kotoran-kotoran dosa dan pembuka bagi pintu-pintu ghaib. Tentu jika kita telah melaksanakan shalat dengan syarat-syaratnya yang bersifat batiniyah." Tuan Guru Alamsyah Hasbi menghentikan kata-katanya. Ia kembali menghisap rokoknya dalam. Adinullah mendesah dalam. Inilah yang selalu ingin ia dengar dari Tuan Guru. Kesempatan ini akan ia gunakan sebaik mungkin.
"Syarat-syarat batin seperti yang bagaimana, Tuan Guru," tanya Adinullah.
"Seperti khusyu', mengagungkan Allah dan rasa malu kita kepada-Nya. Betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepada kita, dan kita merasa malu dengan kemampuan kita menyembahnya yang tak sesuai dengan pemberian-Nya. Syarat-syarat batiniyah itu merupakan sebab bagi sampainya cahaya-cahaya di dalam hati." Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendesah. Ia mengambil gelas kemasan di di samping tiang tempatnya bersandar. Setelah membaca basmalah, ia kemudian meminumnya. Adinullah dan pak Mas'ud nampak menunggu penasaran.
"Nah, cahaya-cahaya itulah adalah sebagai pembuka alam-alam mukasyafah. Dan dengannya akan tampak rahasia-rahasia ketuhanan. Dengan itu hati kita selalu senantiasa menghadap kepada Allah, selalu menghadirkan Allah, selalu merasa dalam pengawasan-Nya serta berzikir sepanjang siang dan malam. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan, seseorang yang mencintai sesuatu pasti akan sering menyebutnya. Dan orang yang banyak menyebut sesuatu, walaupun karna dipaksa, pada akhirnya akan mencintai sesuatu yang di sebut itu. Jadi, perbanyaklah berzikir menyebut nama Allah, " Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia menatap keduanya bergantian. Keduanya menganggukkan kepala.
"Intinya shalat, Pak Mas'ud, Adin. Jangan menuntut yang macam-macam. Apalagi melihat Allah. Akal kita tidak dirancang untuk itu. Kita hanya di suruh untuk berpikir tentang sifat dan ciptaannya Allah, bukan pada Dzat-Nya. Sudah, gak usah berpikir yang macam-macam. Tata hati kita agar lebih bersih. Itulah tujuan sebenarnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita melakukan apa yang disukai Allah, dan Allah mencintai kita. Apa lagi yang kita cari. " kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menurunkan kedua kakinya dari atas gazebo dan berdiri.
"Ayo, sudah malam. Kalian pulang dulu. Nanti keburu hujan lagi," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Keduanya segera bangkit dan mencium telapak tangan Tuan Guru Alamsyah Hasbi bolak-balik. Setelah itu, Tuan Guru Alamsyah Hasbi melangkah menuju rumah.
Tapi baru beberapa langkah Tuan Guru Alamsyah Hasbi naik ke atas teras rumahnya, ia menoleh.
"Ingat, Pak Adin, jangan terlalu memikirkan sesuatu di luar kemampuan otak kita. Ingat juga, jangan sering-sering melamun dan menyendiri," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Adinullah tersenyum dan mengangguk pelan.
Setelah Tuan Guru Alamsyah Hasbi tak terlihat lagi di depan mereka, Pak Mas'ud mengajak Adinullah untuk pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
semoga juga jalanan di daerah ku tinggal
2024-01-23
0
🧭 Wong Deso
sama, di daerah ku tinggal juga banyak jalanan berlubang. Apalagi di musim hujan, beh angel-angel
2024-01-23
0