Suasana kekeluargaan terlihat mengisi pagi saat rombongan jamaah yang dipimpin pak Makrifudin menyantap sarapan yang telah disediakan Johani. Udara pagi yang berhembus terasa sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang menyapa lembut wajah-wajah hitam yang bersila menikmati sarapan pagi mereka. Demikian juga dengan suara aneka jenis burung yang terdengar seperti sedang berlomba memperdengarkan suara mereka. Langit terlihat cerah.
Johani dan pak Mas'ud adalah dua orang yang tak terlalu menikmati sarapan paginya hari ini. Lirikan mata keduanya mengarah kepada Adinullah yang tak berpaling menatap ke arah bukit di sela-sela angkatan suapan tangannya ke mulutnya. Sesekali pak Mas'ud tersenyum ketika melihat sesekali tangan Adinullah tak tepat mengarah ke mulutnya. Sampai sarapan saat ini, dia belum juga bertegur sapa dengan Adinullah. Diapun masih ragu untuk memulainya. Ia masih ingat kejadian tadi malam. Dia sempat berpikir Adinullah akan membahas masalah tadi malam, tapi setelah lama menunggunya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Adinullah. Padahal tadi ia sempat berhadap-hadapan dengannya. Jangankan berkata-kata, tersenyum pun tidak.
Johani yang awalnya duduk agak berjauhan dengan Adinullah menggeser tubuhnya lebih dekat. Ia berpura-pura mengambil panci besar berisi sayuran dan meletakkannya di tengah-tengah jamaah yang sedang makan.
"Ayo, Bapak-bapak. Ditambah lagi nasinya," tawarnya. Salah satu kakinya di masukkannya paksa di bawah kaki Adinullah yang duduk bersila. Adinullah kaget. Piring yang dipegangnya hampir saja jatuh. Pak Mas'ud yang melihatnya hanya tersenyum. Johani menatapnya tajam sembari merengsek mundur.
"Yang mau ngopi, silahkan, bisa langsung diseduh. Sesuai selera," kata Johani berusaha mengalihkan perhatian orang-orang yang mulai mengarahkan pandangannya ke arah Adinullah, setelah kembali duduk di posisinya semula. Ia melirik ke arah Adinullah. Adinullah sudah tidak lagi terlihat menatap ke arah bukit. Seperti yang lainnya, ia menunduk menyantap makanannya.
Johani memalingkan pandangannya ke arah bukit. Ia masih bertanya-tanya apa gerangan yang dilihat suaminya di bukit itu. Johani mendesah. Ia menatap Adinulah. Dua hari ini ia menemukan hal aneh pada diri suaminya. Titik tatapan anehnya tetap ke arah pohon asam yang tumbuh di puncak bukit itu.
"Ayo semua, jika sudah selesai ngopinya, kita langsung mulai bekerja. Sudah jam delapan. Jangan sampai keburu di dahului siang. Jangan sampai Tuan Guru datang dan pekerjaan kita belum selesai," kata pak Makripudin. Merekapun segera mengambil peralatan mereka. Mereka berbaris menghadap ke depan dan mulai membersihkan semak-semak. Beberapa orang juga terlihat sibuk membantu Adinullah dan Johani membangun pondok. Nun jauh disana, sudah terlihat bibit-bibit mendung. Merasakan angin yang bergerak ke arah bukit, awan-awan itu sebentar lagi akan berarak ke arah ladang.
Di batas ladang sebelah selatan yang banyak ditumbuhi pohon bidara, pak Makrifudin yang sedang istirahat sendiri nampak asik memperhatikan teman-temannya yang sedang bekerja. Asap rokoknya yang mengepul menyeruak dibalik semak-semak.
Melihat pak Makrifudin duduk sendiri, pak Mas'ud yang rehat di tempat terakhirnya membersihkan semak segera bangkit dan mendekat ke tempat pak Makrifudin.
"Eh, Pak Mas'ud. Mari sini, Pak," kata pak Makripudin ketika melihat pak Mas'ud mendekat ke arahnya. Pak Mas'ud tersenyum. Tangannya langsung mengarah ke tempat tembakau milik pak Makrifudin. Setelah rokok pilitan yang dibuatnya selesai, ia langsung menyulutnya.
"Jam berapa tadi malam sampai di rumah, Pak," kata Makripudin memulai perbincangan.
"Hampir subuh, Pak," kata pak Mas'ud.
"Berarti tadi malam pak Mas'ud dan pak Adin menemani Tuan Guru begadang dong. Pasti banyak ilmu yang sudah didengar," kata pak Makripudin.
"Gak, Pak. Jarak kita kurang lebih tiga menit saja. Tuan Guru menyuruh kami pulang karna beliau mau istirahat," kata pak Mas'ud. Pak Makripudin mengernyitkan dahinya. Ia menoleh ke arah pak Mas'ud yang berada di sampingnya.
"Kok sampai subuh bagaimana ceritanya, Pak. Kalau gak salah perjalanan dari yayasan ke sini kurang lebih 3 jam. Memangnya pak Mas'ud mampir dimana?" tanya pak Makripudin. Pak Mas'ud terdiam. Dia masih ragu memberitahu kejadian aneh tadi malam kepada Makripudin. Tapi dia berpikir, berhubung pak Makripudin menanyakannya, ia lebih baik menceritakannya. Mumpung jaraknya dengan Adinullah sangat jauh dan tak mungkin mendengar pembicaraannya. Dia juga tak ingin kejadian itu mengganggu pikirannya terus. Ia tak mau tersesat dengan meyakini kekeramatan Adinullah tanpa dasar. Pun juga tak ingin menuduh yang tidak-tidak kepada Adinullah. Lagi pula, pak Makripudin termasuk orang yang sangat dekat dengan Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Bahkan ia telah ikut Tuan Guru Alamsyah Hasbi jauh sebelum Adinullah. Dia merasa, pak Makripudin adalah orang yang tepat untuk ia tanyakan.
Pak Makripudin menepuk paha pak Mas'ud karna terlalu lama diam. Pak Mas'ud tersenyum.
"Begini, Pak. Tapi jangan cerita siapa-siapa ya, Pak," kata pak Mas'ud. Pak Makripudin tersenyum.
"Kayaknya Pak Mas'ud dan pak Adin tadi malam mampir ke rumah janda ya," canda pak Makripudin. Pak Mas'ud tersenyum.
"Ah, Bapak ini. Saya gak berani, Pak. Nanti gak dapat jatah malam jumat dari ibunya di rumah," kelakar pak Mas'ud. Pak Makripudin tertawa.
"Sebenarnya ada sesuatu yang aneh yang terjadi di perjalanan, Pak," kata pak Mas'ud setelah keduanya tenang dari tawanya. Pak Makripudin mendengarkan mulai dengan seksama. Pak Mas'ud menghela nafas panjang.
"Waktu kami dalam perjalanan, tiba-tiba saja pak Adin menyuruh saya menghentikan mobil. Dia kemudian tiba-tiba berlari ke arah semak-semak menuju hutan yang di sana," kata pak Mas'ud. Ia menunjuk ke arah hutan lebat di depannya. Pak Makripudin mengerutkan keningnya. Pak Mas'ud mengusap-usap kedua tangannya. Bulu kuduknya berdiri. Ia tiba-tiba saja merasa merinding.
"Lanjutkan, Pak," tegur pak Makripudin setelah menunggu pak Mas'ud lama terdiam.
"Saya kok ngeri sendiri, Pak," kata pak Mas'ud. Pak Makripudin tersenyum.
"Saya sempat menyusulnya. Saya juga sempat mendengar pak Adin berbicara sendiri di dalam hutan. Dia seperti orang gila di bawah pohon beringin. Ketika saya menariknya dari dalam hutan, dia mengamuk. Tenaganya sangat kuat, Pak. Saya sampai jatuh terpelanting dibuatnya. Tidak hanya itu, dia juga mengejar saya dan melempari saya dengan batu. Kaca spion mobil saya sampai pecah, Pak," kata pak Mas'ud panjang lebar. Ia kembali mengusap lengan tangannya. Kengerian yang menelingkupinya membuatnya menghentikan ceritanya.
"Tapi anehnya, Pak. Subuh-subuh saya sudah didatangi bu Johani. Kebetulan songkoknya pak Adin ketinggalan di mobil. Ternyata pak Adin sudah sampai di rumah, Pak. Karna penasaran, saya langsung cek ke rumahnya diam-diam. Dan memang benar, pak Adin sudah berada di rumahnya," kata pak Mas'ud. Pak Makripudin terdiam menatap pak Mas'ud. Melihat ekspresi pak Mas'ud yang nampak tegang, pak Makripudin menarik kesimpulan bahwa yang diceritakan pak Mas'ud memang benar.
Pak Mas'ud menyulut kembali rokoknya karna terlalu lama tak dihisapnya. Asap menyembul cepat dari mulutnya bersamaan dengan desah nafasnya. Pak Mas'ud menoleh ke arah pak Makripudin.
"Kira-kira apa yang sebenarnya terjadi menurut pandangan Bapak," tanya pak Mas'ud. Pak Makripudin mendesah. Ia lama terdiam menatap ke depan. Tepat pada sosok Adinullah yang masih sibuk membuat atap pondok.
"Satu lagi, Pak. Dia bilang sama saya sebelum kejadian, bahwa dia itu salah satu Badal Tuan Guru. Benar begitu, Pak?" tanya pak Mas'ud. Pak Makripudin mengernyitkan dahinya.
"Benar pak Adin bilang begitu?" tanya pak Makripudin. Pak Mas'ud mengangguk. Kembali pak Makripudin mendesah. Ia menggeleng kecil.
"Tidak begitu, Pak Mas'ud. Tuan Guru tidak punya badal. Dari anak-anak beliau pun tidak. Biasanya hal sepenting apapun, Tuan Guru selalu cerita kepada saya," kata pak Makripudin.
"Sebentar, Pak Mas'ud. Kalau gak salah, Tuan Guru pernah mengatakan sesuatu tentang pak Adin," sambung pak Makripudin setengah kaget ketika mengingat sesuatu tentang Adinullah.
"Apa itu, Pak," kata pak Mas'ud penasaran.
"Tuan Guru bilang, diamnya pak Adin berbahaya. Dia mengaji dan dekat Tuan Guru karna dia terobesi untuk menjadi seorang wali."
"Dia juga memberikan saya beberapa pengajian terkait ilmu tarekat, Pak. Kayaknya dia sangat menguasai ilmu itu," kata pak Mas'ud.
"Bahkan dia bilang, saya gak perlu pergi jauh-jauh menemui Tuan Guru. Cukup sama dia saja. Katanya, Tuan Guru hanya memberikan dasar-dasarnya saja. Dia menjanjikan untuk melihat Allah," kata pak Mas'ud. Pak Makripudin kaget dan mengelus dada.
"Astaghfirullah," desahnya. Pandangannya kembali di arahkan ke arah Adinullah. Lagi-lagi pak Makripudin menggelengkan kepala.
"Jangan terperdaya syetan, Pak Adin. Kita tetap meyakini Tuan Guru Alamsyah Hasbi adalah mursyid tarekat kita. Dia yang punya silsilah yang bersambung kepada Rasulullah saw. Pak Adin sedang diuji."
Pak Mas'ud menganggukkan kepalanya. Sejenak keduanya kembali terdiam.
"Mencari guru mursyid itu tak mudah, Pak Mas'ud. Banyak sekali kreteria yang harus dimiliki. Salah satunya, ia harus mengerti ilmu alat, seperti Nahwu, sharf dan sebagainya. Dengan ilmu-ilmu itu, ia bisa menafsirkan kata-kata yang terkadang memiliki makna ganda. Jika kita mencoba menafsirkan sendiri tanpa ilmu, maka takut kita diarahkan oleh setan. Jika sudah dikuasai setan, maka otomatis kita akan tersesat," kata pak Makripudin sembari mengangkat tubuhnya berat.
"Ayo, Pak. Sudah siang. Teman-teman kayaknya sudah istirahat," kata pak Makrifudin. Ia mengajak pak Mas'ud ke tempat orang-orang berkumpul istirahat sembari menunggu Johani membawakan makan siang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
LANANG MBELING
sampe sini belum ngeh
antara pak adin
itu ada kelebihan atau terpedaya
2023-03-06
1