Malam beranjak larut. Setelah melewati obrolan panjang bersama Tuan Guru Alamsyah Hasbi sampai jam satu malam, para jamaah mulai meringkuk kedinginan, berjejer di sepanjang pondok darurat yang mereka bangun.
Udara terasa dingin. Disudut pondok, tempat khusus yang dibuatkan untuk tempat tidur Tuan Guru Alamsyah Hasbi, Tuan Guru Alamsyah Hasbi terlihat khusyu' berzikir. Suara dengkur orang-orang yang sedang tidur, bersahut-sahutan terdengar mengiringi perjalanan malam yang sunyi. Suara lolongan anjing liar sesekali terdengar dari kedalaman hutan. Suara burung hantu dan binatang malam lainnya seperti sedang menggubah musik paling menyeramkan sebagai pengiring malam yang beranjak larut.
Semua terlelap dalam tidur panjang mereka. Tak terkecuali Adinullah yang dengkurnya paling terdengar keras di antara dengkur-dengkur yang lain. Air yang di percikkan Tuan Guru Alamsyah Hasbi ke sekitar tempat tidurnya, seperti perisai yang menghalanginya dari makhluk lain yang kini berdiri beberapa meter di luar pondok. Seorang perempuan berambut panjang yang ternyata adalah Zabarjad itu terlihat kesal ketika tubuhnya tak mampu menembus penghalang ghaib yang membentang di depannya. Ditambah lagi dengan sosok Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang masih tak bergerak dari tempatnya. Terus berzikir sepanjang malam. Zabarjad terlihat semakin kesal ketika melihat Johani tidur di samping Adinullah dengan posisi memeluknya.
Dua makhluk tinggi besar dengan rupa menyeramkan tiba muncul dari belakang Zabarjad. Mereka terlihat mundur beberapa langkah ketika melihat Tuan Guru Alamsyah Hasbi masih terdiam dalam zikir panjangnya.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi membuka matanya perlahan. Hawa di sekitarnya terasa lebih dingin. Menyadari kedatangan tamu tak diundang di luar pondok, ia perlahan bangkit. Setelah mendehem satu kali sebagai isyarat bagi makhluk di luar sana, ia melangkah keluar.
Zabarjad dan dua orang pengawalnya mundur beberapa langkah. Ia merasakan hawa panas yang tiba-tiba seperti membakar tubuhnya. Begitu juga dengan dua orang di belakangnya. Keduanya malah bereaksi berlebihan. Keduanya benar-benar terlihat kesakitan.
"Assalamualaikum,"
Zabarjad menatap tajam ke arah Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Tuan Guru Alamsyah Hasbi melangkah maju. Bersamaan dengan itu, Zabarjad dan kedua pengikutnya memundurkan langkahnya.
"Aku tidak mau lagi kalian memasuki tempat ini. Batas kita sudah jelas. Aku hanya peringatkan kalian, batas ladang milikku adalah batas larangan buat kalian. Jika kalian melanggar, tubuh kalian akan terbakar dan jadi abu. Jika ada orang-orangku yang keluar dari batas itu setelah aku peringatkan, itu sudah bukan urusanku," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi tegas. Tasbih di tangannya terus berputar.
Zabarjad menengok ke belakang. Dia masih melihat kedua pengikutnya masih meringis kepanasan. Zabarjad memberi isyarat agar pergi. Tuan Guru Alamsyah Hasbi bukan tandingan mereka. Harus raja jin yang turun tangan langsung. Jika terus berlama-lama disana, lama-lama mereka akan terbakar dengan hawa panas yang menyertai Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendesah panjang ketika tamu tak diundang yang ada di depannya tiba-tiba menghilang. Pandangannya kini diarahkannya ke puncak bukit di depannya. Gelap dan mencekam.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi memejamkan matanya. Mulutnya terlihat komat-kamit melafalkan beberapa ayat Al-qur'an. Dia memutar badannya pelan, seperti sedang membentengi ladang dengan doa yang sedang dirapalkannya. Setelah memastikan keadaan sekitarnya baik-baik saja, ia kembali masuk ke dalam pondok. Ia membaringkan tubuhnya perlahan. Tak beberapa lama kemudian, ia sudah terlelap dalam tidurnya.
* * * * *
Kokok ayam hutan mulai terdengar bersahut-sahutan dari segala arah, membangunkan alam dari tidur nyenyaknya. Tetes-tetes hujan yang mampir di dedaunan pohon masih terlihat menetes. Subuh tadi, sempat terdengar gerimis menyambangi walaupun hanya sebentar. Angin yang berhembus dingin perlahan mengusir awan hitam yang masih menaungi langit. Perlahan sinar matahari pagi terlihat di balik bukit.
Orang-orang sudah keluar dari dalam pondok dan berkerumpun di beberapa perapian yang mereka buat. Ubi panas yang baru saja di angkat Johani dari tungku sudah dihidangkannya di depan orang-orang. Hanya Adinullah yang belum terlihat keluar.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang didampingi pak Makripudin dan pak Mas'ud memberi isyarat kepada Johani untuk mendekat.
"Apa suamimu masih tidur?" tanya Tuan Guru Alamsyah Hasbi ketika Johani sudah duduk bersimpuh di depannya. Johani menoleh ke arah pondok. Wajahnya terlihat gelisah.
"Tubuhnya panas sekali, Tuan Guru. Sepertinya dia demam," kata Rohani kemudian. Tuan Guru Alamsyah Hasbi meniup-niup ubi panas di tangannya. Potongan kecil ubi dimakannya dengan lahapnya. Pak Mas'ud menuangkannya segelas air dan meletakkannya di depan Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Menurutmu bagaimana. Apa kamu akan membawanya pulang ke desa untuk berobat?" tanya Tuan Guru Alamsyah Hasbi setelah mereguk air putih di tangannya. Johani terdiam sejenak. Wajahnya ditekuk. Seperti sedang berpikir.
"Sudah, kita bawa saja berobat," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi setelah Johani tak kunjung juga menjawab pertanyaannya. Johani mengangguk ragu.
"Ayo, Pak Makripudin, ajak teman-teman mulai bekerja. Sebelum jam dua nanti, penanaman jagung sudah harus kita selesaikan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Makripudin mengangguk dan mengajak pak Mas'ud berdiri.
"Dan kamu, Johani, cepatlah memasak. Kita akan istirahat nanti setelah masakanmu sudah siap," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi kepada Rohani yang masih duduk bersimpuh di dekatnya. Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengambil dahan kering pohon mahoni yang tergeletak disampingnya dan digunakannya untuk membantu tubuhnya berdiri. Johani mengangguk. Ia baru berdiri setelah Tuan Guru Alamsyah Hasbi berlalu meninggalkannya menuju orang-orang yang sedang bekerja.
Johani menyibak pelan kain lusuh yang ia gunakan sebagai batas ruang privasinya bersama Adinullah dengan para jamaah. Ia tersenyum ketika melihat Adinullah duduk menekur dalam selubungan selimutnya. Tatapannya terlihat lemah. Sesekali ia terlihat menggigil.
Perlahan Johani mendekat. Ia lalu duduk di dekat Adinullah. Agak ragu ia menjulurkan tangan kanannya dan menempelkan telapak tangannya di kening Adinullah. Panas sekali. Panas di kening Adinullah bahkan masih terasa ketika ia telah melepaskan tangannya dari kening Adinullah.
"Kak, kakak berobat ke desa ya. Kakak akan ikut Tuan Guru pulang siang ini. Biar aku yang jaga ladang. Insya Allah, siang nanti semua bibit jagung sudah selesai ditanam semua," kata Johani lembut. Senyumnya mengembang mencoba merayu wajah Adinullah yang nampak lesu.
Adinullah menoleh. Senyum Johani semakin menyempit ketika tatapan tajam Adinullah seperti hendak menelan wajahnya. Johani menelan ludahnya dalam-dalam. Dadanya berdebar. Tatapan merah menyala mata Adinullah membuatnya takut. Tubuh Johani tiba-tiba bergetar.
"Aku tidak sakit seperti sakitnya kebanyakan orang. Inilah salah satu tugasku sebagai rajanya para wali. Saat ini aku sedang mencoba menahan bala' yang diturunkan Tuhan ke dunia ini. Tugasku setelah pengangkatanku sebagai rajanya wali adalah memastikan dunia ini tetap aman,karna akulah yang menahan bencana itu," kata Adinullah. Suara beratnya semakin membuat bulu kuduk Johani berdiri. Tapi ia mencoba tetap bertahan. Ia tahu saat ini ia sedang tidak berbicara dengan Adinullah. Adinullah yang dulu adalah Adinullah yang mencintainya dan tak pernah sama sekali menyakiti hatinya, apalagi membuatnya takut. Dan saat ia menyadari Tuan Guru Alamsyah Hasbi masih di tempat itu, tiba-tiba saja keberanian Johani muncul.
"Kak, aku buatkan kopi ya. Sudah aku sisakan beberapa ubi di dalam panci. Aku ambilkan ya," kata Johani.
"Kurang ajar! Rajanya wali kamu berikan makanan sisa? Terkutuk kamu," teriak Adinullah. Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang berdiri tak terlalu jauh dari pondok, menoleh. Apa yang dikatakan Adinullah terdengar jelas di telinganya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisikan alam ghaib masih menguasai pikiran Adinullah. Dia tidak bisa sepenuhnya melepaskannya dari jiwa Adinullah. Hati Adinullah yang sudah dikuasai kekuatan ghaib, membuatnya masih terhubung dengan kekuatan yang kini sedang mengincarnya.
Johani berusaha tak menatap langsung mata Adinullah. Ia melirik ke arah botol kemasan plastik yang sudah didoakan Tuan Guru Alamsyah Hasbi tadi malam dekat panci besardi samping Adinullah. Johani mendesah pelan. Ia lalu bangkit. Dengan tubuh setengah merunduk, ia berjalan menuju ke tempat ia meletakkan panci besar di dekat Adinullah. Mata Adinullah bergerak mengikuti gerakan Johani. Botol kemasan berisi setengah air disembunyikan pelan di balik bajunya.
"Mau kemana kamu," kata Adinullah. Johani tersenyum.
"Saya mau memasak dulu. Teman-teman tadi sarapan hanya pakai ubi saja," sembari bangkit dari tempat duduknya. Adinullah terdiam, namun tatapan matanya tetap tajam mengikuti kemana tubuh Johani bergerak.
"Sebentar lagi saya kembali. Saya akan membuatkanmu kopi," sambung Johani. Dia segera bergegas keluar.
Adinullah tiba-tiba memegang kedua telinganya. Dengingan keras nyaring di lubang telinganya. Untuk sesaat ia meringis seperti orang kesakitan sambil terus memegang kedua telinganya.
Adinullah melepas perlahan kedua tangannya. Dengingan itu perlahan mulai melemah. Kali ini ia bersila. Ada bisikan yang mulai terdengar di telinganya.
"Keluarlah, Adinullah. Temui aku di pohon asam batas ladang ini. Tempat ini terlalu kotor untuk dimasuki wadak halusku." Suara yang diawali oleh dengungan itu perlahan berubah lembut dan halus. Adinullah tersenyum. Ia mulai mengenal suara itu. Itu suara Zabarjad, perempuan cantik berambut panjang yang telah resmi menjadi istrinya.
Suara gemerincing gelas yang beradu dengan wadahnya terdengar semakin mendekat, membuat pendengaran Adinullah serasa hening. Tak ada suara lagi yang terdengar.
Mata Adinullah menyala tajam ketika melihat Johani muncul. Johani menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya tiba-tiba saja berdiri. Tengkuknya seperti ada benda berat yang menindihnya. Tangannya segera meraba botol minuman kemasan yang ia selipkan di balik bajunya.
Mata Adinullah terlihat merah menyala. Seperti hendak menelan hidup-hidup tubuh Johani. Johani segera melepas kopi yang ada di tangannya. Tutup botol minuman kemasan segera di bukanya. Setelah menumpahkan air di tangannya dengan tergesa-gesa, ia memercikkannya ke wajah Adinullah. Seketika tubuh Adinullah menggeliat seperti cacing kepanasan. Ia menggeram setelah itu disertai teriakan kesakitan.
Johani menjadi panik. Orang-orang yang sedang bekerja berhamburan menuju pondok.
Orang-orang yang berkerumun segera memberi jalan bagi Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang datang belakangan. Dia langsung mendekat dan memegang kepala Adinullah. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments