Di sebuah warung kecil di tepi jalan, Adinullah masih duduk menunggu. Kedua kaki hitamnya digerakkan kesana kemari menghindari nyamuk-nyamuk yang berkerumun di kakinya. Suasana di sekitarnya nampak gelap. Obor-obor yang biasa menyala di depan beberapa gubuk di pinggir jalan sudah lama padam akibat hempasan angin. Hujan masih turun dengan derasnya. Sebenarnya ia sudah berencana untuk tidak pergi ke Yayasan hari ini. Memperhatikan cuaca yang gelap dan hujan yang turun dengan derasnya, sudah bisa dipastikan tidak akan ada tukang ojek yang mau mengantarkannya ke yayasan. Apalagi dengan kondisi jalan yang berlubang dan dipenuhi kerikil-kerikil yang berserakan. Jika sudah maghrib, tak ada yang berani melintas di tempat itu. Suasana yang sepi dan berdekatan dengan kawasan hutan, membuat orang-orang desa yang punya ladang di kawasan itu, takut pulang malam. Dia sendiri sudah mempersiapkan diri untuk tidur sehabis makan malam tadi. Tapi Johani memberitahukannya, bahwa pak Mas'ud, seorang pengusaha dekat rumahnya, akan pergi mengantar uang sumbangannya malam ini ke Yayasan, sekaligus untuk Bai'ah ilmu tariqat. Johani sudah memintakan ijin buatnya menumpang di mobil pick up miliknya pak Mas'ud. Pak Mas'ud menyuruhnya menunggu di pinggir jalan semasa ia memanaskan mesin mobilnya.
Dia dan Johani sebenarnya punya rumah kecil di desa Jerowaru. Jaraknya dari tempat itu sekitar dua puluh kilo. Tapi sejak ikut bai'ah salah satu tariqat pimpinan seorang Tuan Guru di salah satu yayasan di desanya, Tuan Guru tersebut memerintahkannya untuk pindah, sekaligus menjadi tenaga pengajar bersama Johani di salah satu Madrasah Ibtidaiyah yang baru dirintis di tempat itu. Johani sebenarnya begitu keras menolak untuk pindah, tapi Adinullah selalu meyakinkannya. Dia tak pernah lelah menasehati Johani agar taat terhadap apa yang diperintahkan Tuan Guru. Perintah orang Alim tak boleh ditolak. Apalagi kini ia sudah menjadi murid tareqat yang dipimpin langsung oleh Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia tak mau sedikitpun istrinya membicarakan sesuatu yang tidak baik tentang Tuan Guru. Apa yang diterimanya dari Tuan Guru tentang adab-adab para Salik menuju jalan Tuhan, amat membekas dalam hatinya. Sudah seharusnya ia menjadi seperti mayit, yang tak berdaya di hadapan orang yang sedang memandikannya. Sesuai adab seorang murid kepada gurunya, jangankan menolak, menanyakan alasan sebuah perintahpun termasuk adab yang tidak baik kepada guru.
Dan kini ia sudah membuktikannya sendiri. Maksud Tuan Guru memerintahkannya ke tempat itu, memberinya kesejahteraan untuk istri dan anaknya. Dia punya penghasilan sendiri dari lahan yang diberikan Tuan Guru. Tidak terlalu banyak. Tapi minimal melebihi dari apa yang ia dapatkan ketika masih tinggal di desa. Dia dan Rohani tidak lagi memikirkan beras dan lauk pauk seperti ketika mereka masih tinggal di desa. Beras pemberian wali murid selalu bersisa setengah karung di akhir bulan. Di samping itu, para orang tua yang anaknya sekolah di tempat itu, selalu menyisihkan sebagian penjualan hasil ladang mereka untuknya. Walaupun tempatnya terpencil dan terkesan lucu membangun sekolah di kawasan sepi seperti itu, tapi kata-kata Tuan Guru akhirnya terbukti. Para peladang yang rumahnya berjauhan, bahkan masuk sampai ke dekat hutan, sangat antusias memasukkan anak-anak mereka ke madrasah itu. Mereka rela mengantar anak-anak mereka sekolah sebelum mereka berangkat ke ladang mereka. Hingga saat ini sejak di bangunnya madrasah itu lima bulan yang lalu, dan baru satu ruang dari pagar bambu, sudah ada 19 anak yang tercatat sebagai murid tetap. Johani sendiri sudah merasa betah di tempat itu. Tak sekalipun ia meminta pulang untuk sekedar menengok rumah yang ada di desa. Bahkan ia memintanya untuk menjual rumah tersebut dan menetap di tempatnya kini.
Adinullah mengarahkan pandangannya ke arah kegelapan. Samar-samar ia bisa melihat puncak bebukitan tempat ia berladang dari tempat duduknya kini. Tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya seperti ditarik ketika pandangannya tak berpaling dari memandang ke arah puncak bukit. Ia jadi ingin pergi ke ladang. Sore tadi, ia tiba-tiba seperti melihat pemandangan yang sangat menakjubkan di puncak bukit. Rumah-rumah yang megah, juga kendaraan yang lalu lalang dengan cepat di sekitarnya. Pemandangan yang hijau dengan taman-taman yang indah dan menyejukkan mata. Dan yang paling menakjubkannya dan membuatnya tak henti-henti menebarkan senyum adalah ketika seorang gadis cantik berambut panjang berhenti di sebuah pohon asam. Gadis itu tersenyum dan menatapnya dengan tatapan yang membuat dadanya berdebar kencang. Jantungnya berdetak melebihi biasanya. Ia jadi bertanya-tanya dalam hatinya. Inikah yang dinamakan mukasyafah seperti yang dijelaskan Tuan Guru Tarekatnya? Apakah ia sudah sampai kepada tingkatan menyibak hal-hal ghaib dan mempunyai karomah sendiri menembus dinding alam ghaib? Ia yakin, Johani dan orang-orang tak akan bisa melihat apa yang dilihatnya tadi.
Adinulah tersenyum lebar. Ingin sekali ia melihat pagi secepatnya tiba. Ia tak sabar ingin ke ladang. Duduk di tempatnya biasa menekur dan melihat lagi gadis cantik berambut panjang tadi sore. Tapi yang membuatnya merasa terganggu saat ini adalah keberadaan Johani, istrinya. Seperti kejadian sore tadi saat keasikannya menikmati pesona perempuan berambut panjang. Perempuan berambut panjang itu tiba-tiba saja memperlihatkan ketidak senangannya dan tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Perempuan itu sepertinya tidak senang dengan keberadaan Johani di dekatnya.
Adinullah mendesah panjang. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa bosan hidup di dunia. Ia yang pendiam dan jarang bertegur sapa dengan orang-orang sekitarnya merasa sudah tak nyaman lagi. Ia merindukan suasana yang ia lihat di puncak bukit tadi sore. Benar-benar indah. Ia tak sabar menunggu pagi menjelang. Subuh-subuh nanti ia akan pergi lebih dulu ke ladang. Waktu sebelum Johani tiba di ladang, akan ia pergunakan untuk mencari gadis berambut panjang itu.
Suara klakson mobil nyaring terdengar dari arah belakang. Mengagetkan Adinulah dan membuyarkannya dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ketika mobil itu berhenti di sampingnya. Seorang laki-laki dengan kepala tanpa rambut di bagian depannya, membuka kaca mobil.
"Ayo, Pak Adin. Jangan sampai kita pulang terlalu larut. Mumpung Tuan Guru sedang ada di pesantren," teriak laki-laki yang ternyata adalah pak Mas'ud itu. Adinullah segera bangkit. Peci hitam lusuhnya di lepas dan memasukkannya ke dalam jas lusuh warna hijau yang dipakainya. Ia kemudian berjingkrak-jingkrak menghindari genangan air menuju ke mobil.
Hujan masih deras turun membasahi bumi. Mobil itu melaju pelan menghindari jalanan yang berlubang. Sesekali terlihat berhenti ketika bertemu jalanan yang rusak parah. Adinullah membuka sedikit kaca mobil ketika pak Mas'ud menyodorkannya sebungkus rokok. Sebatang rokok yang diambilnya kemudian disulutnya. Asap rokok yang mengepul dari mulutnya beradu dengan asap rokok yang dihempaskan pak Mas'ud. Jalanan terlihat sepi dan lengang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
nicil baca, udah subscribe. Semangat yah👍🏽
2024-01-22
2