Adinullah masih duduk menekur sambil tatapannya jauh diarahkan ke puncak pohon asam yang tumbuh di atas bukit. Perbukitan yang berjejer di depannya, yang lahan-lahan di bawahnya masih penuh ditumbuhi semak-semak, adalah milik yayasan tempat Adinullah mengabdi sebagai tenaga pengajar. Di antara bebukitan itu, ada satu bukit yang terlihat paling menonjol dan terlihat paling angker. Bukit itu satu-satunya yang punya nama. Bako tinggi. Konon, bukit itu bisa dilihat dimanapun seseorang berdiri. Bahkan di tengah laut sekalipun, bukit itu bisa terlihat dan seringkali dijadikan patokan nelayan jika tersesat di tengah laut. Menurut cerita orang tua, bukit Bako Tinggi itu sendiri diberi nama oleh seorang ulama keturunan timur tengah. Ulama yang sedang melakukan perjalanan melewati laut untuk berdakwah dan tersesat di tengah laut. Saat ulama tersebut kebingungan. Ia berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah. Setelah selesai berdoa, Allah mengabulkan doa Sang Ulama dengan memperlihatkannya sebuah pohon Bakau yang menjulang tinggi di atas sebuah bukit. Sang ulama lalu mengikuti arah bakau yang diihatnya dan ia akhirnya sampai di sebuah pesisir pantai. Bukit Bako tinggi itu masih ada hingga kini. Terletak di dusun Tanak pait desa Pemongkong lombok Timur.
Adinullah tersenyum. Hari ini ia ditugaskan oleh Tuan Guru Alamsyah Hasbi, pimpinan Yayasan tempatnya mengabdi, untuk mengawasi jamaah yang akan gotong royong membersihkan lahan di bawah lereng bukit itu. Musim penghujan telah tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mayarakat yang mendapatkan hak garap dari pemerintah, akan memenuhi ladang mereka dengan tanaman jagung dan tanaman palawija lainnya. Dan Seperti biasa, Adinullah yang sudah lama mendampingi Tuan Guru Alamsyah Hasbi, ditugaskan kembali untuk menjaga tanaman di ladang itu. Sebagai imbalannya, Yayasan memberikannya lahan seluas satu hektar untuk ditanami sendiri oleh Adinullah dan istrinya.
Hari ini seperti biasa, Adinullah di temani istrinya, Johani, sehabis shalat dhuhur tadi sudah berada di ladang. Johani masih sibuk membersihkan semak-semak untuk tempat membangun pondok di saat Adinullah masih asik duduk santai dengan tatapan tak berpaling dari bukit di depannya. Johani menoleh kesekian kalinya ke arah Adinullah. Ia masih melihatnya duduk dengan posisi yang sama setelah istirahatnya sekitar sejam yang lalu. Ada yang berbeda dari Adinullah hari ini. Sejak mereka datang ke tempat itu sehabis dhuhur tadi, Adinullah hanya bekerja sebentar memotong tanaman liar di pembatas ladang dengan hutan lindung. Selebihnya, ia hanya melihatnya mondar-mandir di bawah bukit. Dan kini dia belum juga beranjak dan mempersiapkan diri memulai membangun pondok. Mendung sudah terlihat berarak menuju langit di atas mereka. Mereka harus segera membangun pondok. Minimal, atapnya sudah harus bisa melindungi mereka dari hujan yang sebentar lagi mungkin akan turun.
Johani menghela nafas panjang setelah beberapa lamanya ia menatap Adinullah yang sama sekali tak terlihat menggerakkan tubuhnya. Dia terheran-heran melihat sesekali Adinullah nampak tersenyum ke arah bukit itu. Seperti ada seseorang yang sedang menggodanya. Dan senyuman itu mirip sekali dengan senyuman yang ia dapatkan saat bertemu pertama kali dengan Adinullah. Johani menoleh ke arah bukit. Semak-semak dan tanaman liar masih menghampar hijau memenuhi lereng bukit.
Johani bangkit. Lama-lama ia merasa kesal dengan Adinullah. Dia sama sekali tak memperhatikan mendung yang berarak tebal ke arah mereka. Sabit di tangannya di tancapkannya di batang pohon bidara di dekatnya. Ia lalu melangkah pelan menuju tempat Adinullah duduk menekur.
Johani menghempaskan tubuhnya di samping Adinullah. Ia mengernyitkan dahinya. Adinullah sama sekali tak menghiraukan kedatangannya. Bahkan terlihat seperti tak menyadari ia kini duduk di dekatnya. Bahkan kali ini ia kembali melihat dengan jelas Adinullah tersenyum lebar ke arah bukit. Lama-lama ia merasa takut melihat Adinullah tersenyum sendiri seperti itu. Bulu kuduk Johani tiba-tiba saja berdiri. Ia merasa tengkuknya seperti di remas-remas tangan gaib. Segera saja ia memegang tubuh Adinullah dan mengguncang-guncangkannya keras. Adinullah kaget. Hampir saja tangannya menyambar wajah Johani jika saja tak segera sadar. Ia mendesah dan mengusap dadanya.
"Kamu itu, datang tiba-tiba dan mengagetkanku. Hampir saja aku menampar wajahmu," kata Adinullah terlihat kesal. Wajah Ekspresi wajah Johani tak kalah kesal ketika mendengar kata-kata Adinullah.
"Kamu itu kayak orang gila, senyum-senyum sendiri. Apa? memangnya di sana ada cewek sehingga kamu senyum-senyum sendiri. Lihat, sebentar lagi hujan. Kita belum juga menyelesaikan pondok kita," kata Johani. Adinullah mendesah dan meluruskan kedua kakinya. Sabit di sampingnya duduk diambilnya. Pandangannya kembali di arahkannya ke arah depan. Ke arah semak-semak yang menghampar.
"Kalau Tuan Guru tidak cepat-cepat mengundang jamaah membersihkan lahan ini, batang-batang semak yang telah kita bersihkan sebelumnya pasti akan tumbuh lagi. Padahal hujan sudah mulai turun," kata Adinullah. Johani melirik. Kerut di keningnya hampir tak terlihat oleh warna keningnya yang kusam. Dia mengangkat tubuhnya pelan. Kedua tangannya memegang erat batang pohon turi di dekatnya untuk membantu mengangkat tubuh gemuknya.
"Seharusnya kamu pulang dulu ke yayasan. Laporkan masalah ini sama Tuan Guru. Bagaimana Tuan Guru tahu masalah ini kalau kamu di sini saja," kata Johani. Ia melangkah menuju tempat di mana lokasi pondok akan dibuat. Sebuah parang yang tergeletak di atas potongan batang semak-semak diambilnya dan kembali melangkah ke arah Adinullah. Ketika telah sampai di dekat Adinullah, ia langsung saja mengangkat parang di tangannya dan menebaskannya ke arah batang pohon turi di depannya. Dua kali tebasan, pohon turi itu terpotong dan ambruk dan hampir mengenai kaki Adinullah.
Adinullah menoleh dan menatap Johani.
"Marahnya kok seperti itu. Hampir saja pohon itu mengenai kakiku. Sabar," kata Adinullah. Ia bangkit. Johani tak menjawab. Ia sibuk membersihkan beberapa ranting pohon turi kemudian memotong batangnya menjadi dua potongan. Setelah itu ia membawanya ke lokasi pondok.
Adinullah melangkah malas mendekati Johani.
"Tunggu Tuan Guru membawakan kita bambu agar pondok yang kita buat lebih kuat. Di sini anginnya keras. Kita tidak punya tali untuk mengikat atap pondok. Tunggulah sebentar," kata Adinullah.
"Aku mau menunggu jika kamu tidak duduk dan melamun terus di sana. Lihat! Hujan sebentar lagi akan turun. Tak ada satupun tempat kita berteduh di tempat ini," kata Johani tanpa menoleh. Ia terus menancapkan batang-batang pohon turi di dalam retakan tanah dan mengganjalnya dengan batu. Adinullah berkacak pinggang seraya mendesah panjang. Peci hitam lusuhnya di bukanya dan memasangnya kembali. Ia mengarahkan pandangannya ke arah langit. Dalam sekejap, langit di atasnya beruabah gelap. Angin yang bertiup dingin seperti membawa tetes-tetes hujan ke lokasi itu.
"Baik, aku mau cari tukang ojek dulu. Aku mungkin pulangnya agak malam jika hari ini hujan turun. Kamu pulang saja dulu," kata Adinullah. Johani tak menjawab. Empat tiang pondok sudah menancap membentuk persegi empat. Ia menoleh ke arah langit. Seperti kata suaminya, ia harus segera pulang jika tidak ingin basah kuyup di tempat itu. Ditambah lagi jika hujan di sertai petir. Faiz, putra satu-satunya, yang ia titipkan di tetangga sebelah juga mungkin sudah mulai mencarinya. Walaupun Faiz lebih suka menginap di rumah salah satu tetangganya karna punya teman bermain seumurannya.
Johani meletakkan sabit dan parang di atas tumpukan semak-semak, kemudin menutupnya dengan semak-semak yang telah dipotongnya.
"Jangan lupa mintakan bubuk kopi dan gula sama Tuan Guru. Kalau bisa, jangan menunggu terlalu malam. Jika urusan sudah selesai, cepat pulang," kata Johani sembari mengumpulkan beberapa ranting kering dan meletakkannya di salah satu pundaknya. Adinullah menganggukkan kepalanya kecil.
"Ayo, kita pulang dulu. Nanti aku carikan Mustamin untuk mengantarmu ke Yayasan," kata Rohani sambil mulai melangkahkan kakinya. Amdnullah menoleh ke arah bukit. Bola matanya bergerak kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Tatapannya kini terhenti di pucuk pohon asam yang tumbuh di puncak bukit. Ia tersenyum.
Menyadari suaminya tidak mengikutinya, Johani menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Adinullah ternyata masih belum beranjak dari tempatnya. Johani menundukkan tubuhnya. Di balik tanaman kedilem yang tumbuh lebat di sepanjang jalan setapak yang ia lewati, Dia mengintip. Dia mengerutkan keningnya. Lagi-lagi ia melihat Adiullah tersenyum sendiri ke arah bukit. Sikap dan gelagat suaminya akhir-akhir ini benar-benar aneh. Itu terjadi setelah Tuan Guru memindahkan tempat bertanamnya di kaki bukit Bako Tinggi. Setiap datang ke tempat itu, suaminya selalu duduk di samping pohon turi yang ditebangnya tadi. Dia sengaja melakukannya agar sumainya tidak duduk bersandar lagi di tempat itu sembari termenung menatap ke arah bukit.
Johani menoleh ke arah bukit. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menelingkupi jiwanya. Johani membalikkan tubuhnya. Gerimis sudah terdengar menggeretas ramai dari arah perkebunan jati di belakangnya.
"Kak, Ayo! kenapa masih diam saja di sana," teriak Johani. Adinullah kaget dan segera beranjak dari tempatnya. Tak beberapa lama kemudian, hujan mulai turun dengan derasnya.
Di sebuah warung kecil di tepi jalan, Adinullah masih duduk menunggu. Kedua kaki hitamnya digerakkan kesana kemari menghindari nyamuk-nyamuk yang berkerumun di kakinya. Suasana di sekitarnya nampak gelap. Obor-obor yang biasa menyala di depan beberapa gubuk di pinggir jalan sudah lama padam akibat hempasan angin. Hujan masih turun dengan derasnya. Sebenarnya ia sudah berencana untuk tidak pergi ke Yayasan hari ini. Memperhatikan cuaca yang gelap dan hujan yang turun dengan derasnya, sudah bisa dipastikan tidak akan ada tukang ojek yang mau mengantarkannya ke yayasan. Apalagi dengan kondisi jalan yang berlubang dan dipenuhi kerikil-kerikil yang berserakan. Jika sudah maghrib, tak ada yang berani melintas di tempat itu. Suasana yang sepi dan berdekatan dengan kawasan hutan, membuat orang-orang desa yang punya ladang di kawasan itu, takut pulang malam. Dia sendiri sudah mempersiapkan diri untuk tidur sehabis makan malam tadi. Tapi Johani memberitahukannya, bahwa pak Mas'ud, seorang pengusaha dekat rumahnya, akan pergi mengantar uang sumbangannya malam ini ke Yayasan, sekaligus untuk Bai'ah ilmu tariqat. Johani sudah memintakan ijin buatnya menumpang di mobil pick up miliknya pak Mas'ud. Pak Mas'ud menyuruhnya menunggu di pinggir jalan semasa ia memanaskan mesin mobilnya.
Dia dan Johani sebenarnya punya rumah kecil di desa Jerowaru. Jaraknya dari tempat itu sekitar dua puluh kilo. Tapi sejak ikut bai'ah salah satu tariqat pimpinan seorang Tuan Guru di salah satu yayasan di desanya, Tuan Guru tersebut memerintahkannya untuk pindah, sekaligus menjadi tenaga pengajar bersama Johani di salah satu Madrasah Ibtidaiyah yang baru dirintis di tempat itu. Johani sebenarnya begitu keras menolak untuk pindah, tapi Adinullah selalu meyakinkannya. Dia tak pernah lelah menasehati Johani agar taat terhadap apa yang diperintahkan Tuan Guru. Perintah orang Alim tak boleh ditolak. Apalagi kini ia sudah menjadi murid tareqat yang dipimpin langsung oleh Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia tak mau sedikitpun istrinya membicarakan sesuatu yang tidak baik tentang Tuan Guru. Apa yang diterimanya dari Tuan Guru tentang adab-adab para Salik menuju jalan Tuhan, amat membekas dalam hatinya. Sudah seharusnya ia menjadi seperti mayit, yang tak berdaya di hadapan orang yang sedang memandikannya. Sesuai adab seorang murid kepada gurunya, jangankan menolak, menanyakan alasan sebuah perintahpun termasuk adab yang tidak baik kepada guru.
Dan kini ia sudah membuktikannya sendiri. Maksud Tuan Guru memerintahkannya ke tempat itu, memberinya kesejahteraan untuk istri dan anaknya. Dia punya penghasilan sendiri dari lahan yang diberikan Tuan Guru. Tidak terlalu banyak. Tapi minimal melebihi dari apa yang ia dapatkan ketika masih tinggal di desa. Dia dan Rohani tidak lagi memikirkan beras dan lauk pauk seperti ketika mereka masih tinggal di desa. Beras pemberian wali murid selalu bersisa setengah karung di akhir bulan. Di samping itu, para orang tua yang anaknya sekolah di tempat itu, selalu menyisihkan sebagian penjualan hasil ladang mereka untuknya. Walaupun tempatnya terpencil dan terkesan lucu membangun sekolah di kawasan sepi seperti itu, tapi kata-kata Tuan Guru akhirnya terbukti. Para peladang yang rumahnya berjauhan, bahkan masuk sampai ke dekat hutan, sangat antusias memasukkan anak-anak mereka ke madrasah itu. Mereka rela mengantar anak-anak mereka sekolah sebelum mereka berangkat ke ladang mereka. Hingga saat ini sejak di bangunnya madrasah itu lima bulan yang lalu, dan baru satu ruang dari pagar bambu, sudah ada 19 anak yang tercatat sebagai murid tetap. Johani sendiri sudah merasa betah di tempat itu. Tak sekalipun ia meminta pulang untuk sekedar menengok rumah yang ada di desa. Bahkan ia memintanya untuk menjual rumah tersebut dan menetap di tempatnya kini.
Adinullah mengarahkan pandangannya ke arah kegelapan. Samar-samar ia bisa melihat puncak bebukitan tempat ia berladang dari tempat duduknya kini. Tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya seperti ditarik ketika pandangannya tak berpaling dari memandang ke arah puncak bukit. Ia jadi ingin pergi ke ladang. Sore tadi, ia tiba-tiba seperti melihat pemandangan yang sangat menakjubkan di puncak bukit. Rumah-rumah yang megah, juga kendaraan yang lalu lalang dengan cepat di sekitarnya. Pemandangan yang hijau dengan taman-taman yang indah dan menyejukkan mata. Dan yang paling menakjubkannya dan membuatnya tak henti-henti menebarkan senyum adalah ketika seorang gadis cantik berambut panjang berhenti di sebuah pohon asam. Gadis itu tersenyum dan menatapnya dengan tatapan yang membuat dadanya berdebar kencang. Jantungnya berdetak melebihi biasanya. Ia jadi bertanya-tanya dalam hatinya. Inikah yang dinamakan mukasyafah seperti yang dijelaskan Tuan Guru Tarekatnya? Apakah ia sudah sampai kepada tingkatan menyibak hal-hal ghaib dan mempunyai karomah sendiri menembus dinding alam ghaib? Ia yakin, Johani dan orang-orang tak akan bisa melihat apa yang dilihatnya tadi.
Adinulah tersenyum lebar. Ingin sekali ia melihat pagi secepatnya tiba. Ia tak sabar ingin ke ladang. Duduk di tempatnya biasa menekur dan melihat lagi gadis cantik berambut panjang tadi sore. Tapi yang membuatnya merasa terganggu saat ini adalah keberadaan Johani, istrinya. Seperti kejadian sore tadi saat keasikannya menikmati pesona perempuan berambut panjang. Perempuan berambut panjang itu tiba-tiba saja memperlihatkan ketidak senangannya dan tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Perempuan itu sepertinya tidak senang dengan keberadaan Johani di dekatnya.
Adinullah mendesah panjang. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa bosan hidup di dunia. Ia yang pendiam dan jarang bertegur sapa dengan orang-orang sekitarnya merasa sudah tak nyaman lagi. Ia merindukan suasana yang ia lihat di puncak bukit tadi sore. Benar-benar indah. Ia tak sabar menunggu pagi menjelang. Subuh-subuh nanti ia akan pergi lebih dulu ke ladang. Waktu sebelum Johani tiba di ladang, akan ia pergunakan untuk mencari gadis berambut panjang itu.
Suara klakson mobil nyaring terdengar dari arah belakang. Mengagetkan Adinulah dan membuyarkannya dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ketika mobil itu berhenti di sampingnya. Seorang laki-laki dengan kepala tanpa rambut di bagian depannya, membuka kaca mobil.
"Ayo, Pak Adin. Jangan sampai kita pulang terlalu larut. Mumpung Tuan Guru sedang ada di pesantren," teriak laki-laki yang ternyata adalah pak Mas'ud itu. Adinullah segera bangkit. Peci hitam lusuhnya di lepas dan memasukkannya ke dalam jas lusuh warna hijau yang dipakainya. Ia kemudian berjingkrak-jingkrak menghindari genangan air menuju ke mobil.
Hujan masih deras turun membasahi bumi. Mobil itu melaju pelan menghindari jalanan yang berlubang. Sesekali terlihat berhenti ketika bertemu jalanan yang rusak parah. Adinullah membuka sedikit kaca mobil ketika pak Mas'ud menyodorkannya sebungkus rokok. Sebatang rokok yang diambilnya kemudian disulutnya. Asap rokok yang mengepul dari mulutnya beradu dengan asap rokok yang dihempaskan pak Mas'ud. Jalanan terlihat sepi dan lengang.
Setelah melalui perjalanan panjang yang nyaris tanpa orbrolan antara Adinullah dan pak Mas'ud, akhirnya mereka sampai di depan gerbang pesantren. Di depan gerbang, sudah terparkir dua mobil pick up warna hitam. Pak Mas'ud memarkir mobilnya di belakang salah satu mobil. Tuan Guru Alamsyah Hasbi dan beberapa jamaah yang sedang duduk di gezebo depan rumah serempak menoleh ke arah gerbang.
"Hahaha..., Pak Adin, Pak Mas'ud, mari masuk," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi ketika melihat Adinulah dan pak Mas'ud keluar dari mobil. Keduanya tersenyum dan melangkah mendekat.
"Assalamualaikum," ucap pak Mas'ud. Orang-orang yang hadir serempak menjawab salam pak Mas'ud. Pak Mas'ud dan Adinullah langsung menuju tempat duduk Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Setelah menyalami Tuan Guru Alamsyah Hasbi, satu persatu orang yang ada di gazebo di salami keduanya.
"Duduk di sini, Pak Adin, Pak Mas'ud. Ayo geseran sedikit," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi ke arah orang yang ada di samping dan depannya. Ia menepuk-nepuk lantai gazebo yang terbuat dari papan. Adinullah dan pak Mas'ud yang hendak duduk di pojok, segera berbalik dan kembali ke tempat Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Mas'ud langsung mengambil posisi duduk di depan Tuan Guru Alamsyah Hasbi, sedangkan Adinullah di arahkannya agar duduk di samping Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Berangkat jam berapa, Pak Mas'ud,"kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menepuk paha pak Mas'ud. Pak Mas'ud tersenyum. Ia tersipu malu sebab pandangan orang-orang tertuju ke arahnya.
"Habis shalat isya', Tuan Guru. Hujannya lebat sekali. Jadi kami harus pelan-pelan di jalan. Jalannya banyak yang berlubang," jawab pak Mas'ud. Tuan Guru Alamsyah Hasbi mengangguk. Ia menoleh ke arah laki-laki yang tampak paling muda di antara jamaah yang duduk.
"Coba kamu ke dapur dulu. Suruh santri yang masih di sana untuk buat kopi," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Laki-laki itu bangkit dan melangkah menuju dapur.
"Insya Allah, hasil pembicaraan kita dengan pak Bupati, bulan depan jalan menuju kawasan hutan akan segera diperbaiki," sambung Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Alhamdulillah," ucap pak Mas'ud dan Adinullah secara bersamaan.
"Itu gunanya antara ulama dan umaro harus terjalin sinergi. Bukan ulama yang menjilat penguasa seperti tuduhan orang-orang. Inilah bentuk silaturrahim kita. Jika ulama dan penguasa satu hati, semua program insya Allah akan sampai kepada masyarakat," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Segenap jamaah yang hadir menganggukkan kepala. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menggoyang-goyangkan gelas di tangannya dan meminumnya.
"Terus, bagaimana perkembangan di ladang," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi beralih ke arah Adinullah. Adinullah melepaskan kedua tangannya yang menggenggam satu sama lain di ujung sarungnya karna dingin. Kedua tangannya terlihat bergetar.
"Saya masih nunggu jamaah yang akan gotong royong membersihkan semak-semak, Tuan Guru. Saya juga butuh bambu dan asbes untuk atap pondok," kata Adinullah. Dia menundukkan kepalanya.
"Nah, terkait gotong royong, mumpung ketua jamaahnya ada di sini, silahkan tanya langsung ke yang bersangkutan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menunjuk ke arah laki-laki berjanggut yang ada di dekat pak Mas'ud. Laki-laki itu hanya tersenyum.
"Bagaimana, Pak Makripudin. Kapan bisa ajak jamaahnya gotong royong. Ini harus cepat. Kita ini paling lambat mempersiapkan lahan," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendahului.
Laki-laki yang dipanggil Makripudin itu tersenyum. Bola matanya bergerak kesana kemari seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Itu terlihat juga dari jari-jari tangannya yang seperti sedang menghitung.
"Insya Allah, Besok bisa Tuan Guru," jawabnya beberapa saat kemudian. Tuan Guru Alamsyah Hasbi menganggukkan kepalanya.
"Nah, nanti kalau pulang, jangan lupa membawa beras untuk makan jamaah besok. Insya Allah, sepulang dari Mataram, saya akan langsung menyusul ke ladang," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Adinullah mengangguk.
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan diantara derasnya hujan. Sudah jam 12 malam.
Para jamaah terlihat saling pandang satu sama lain. Seperti saling suruh untuk meminta ijin pulang kepada Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Pak Makripudin merubah posisi duduk bersilanya jadi bersimpuh. Kepalanya dibungkukkan menghadap Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Mohon maaf, Tuan Guru. Saya mewakili teman-teman mau pamit pulang,"
"Owch, begitu. Jangan lupa untuk yang besok. Ajak jamaah sebanyak mungkin. Kalau memungkinkan, kita akan langsung menanam jagung besok," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Geh, Tuan Guru," kata pak Makripudin. Ia lebih mendekat dan menyalami Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Yang lain, satu persatu mengikuti di belakang pak Makripudin.
"Assalamualaikum," ucap pak Makripudin. Tuan Guru Alamsyah Hasbi, pak Mas'ud dan Adinullah serempak menjawab. Tak beberapa lama kemudian, mobil yang ditumpangi mereka perlahan meninggalkan lokasi pondok pesantren.
Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendesah panjang. Bantal yang digunakannya bersandar diambilnya dan meletakkannya di tengah-tengah gazebo. Ia lalu beringsut dan membaringkan kepalanya sembari meluruskan kakinya. Adinullah dan pak Mas'ud disuruhnya lebih mendekat.
"Tolong dipijat dulu, Pak Mas'ud," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menyodorkan salah satu tangannya kepada pak Mas'ud. Pak Mas'ud lebih mendekat dan langsung memijit tangan Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Pijit kakiku juga, Adin," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menggerak-gerakkan salah satu kakinya. Adinullah beringsut maju dan langsung memijit salah satu kaki Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
Pak Mas'ud melirik ke arah Tuan Guru Alamsyah Hasbi yang bibirnya bergerak seperti sedang melafalkan sesuatu. Pak Mas'ud mendesah. Ada yang ingin ia tanyakan, namun takut mengganggu Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Apa yang ingin kamu sampaikan, Pak Mas'ud," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi tiba-tiba seperti sudah mengetahui gelagat pak Mas'ud. Pak Mas'ud tersenyum.
"Saya ingin menanyakan sesuatu yang sudah lama sekali saya dengar, Tuan Guru. Saya penasaran sekali. Setiap orang yang mengaku bertarikat, selalu mengatakan itu kepada saya,"kata pak Mas'ud. Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia memperbaiki posisi berbaringnya. Kini ia memiringkan badannya menghadap pak Mas'ud.
"Apa itu, Pak Mas'ud" tanyanya. Pak Mas'ud kembali tersenyum.
Pak Mas'ud menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu malu.
"Apa benar kita boleh tamatkan shalat jika sudah masuk tarekat, Tuan Guru. Itu yang sering saya dengar dari mereka, Tuan Guru," kata pak Mas'ud. Adinullah mendengarkan dengan seksama. Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia mendesah panjang.
"Apapun boleh kita lakukan, Pak Mas'ud, tapi dengan syarat, kita berani mempertanggung jawabkannya. Termasuk shalat. Pak Mas'ud boleh gak shalat lagi kalau pak Mas'ud bisa mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia mengangkat tubuhnya dan menggesernya hingga bersandar di salah satu tiang gazebo. Dia mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada Adinullah agar mengambilkan gelas kopinya. Ia lalu menyeruputnya.
"Lihat gazebo ini," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi sambil menepuk-nepuk tiang gazebo tempatnya bersandar. Pandangan mata pak Mas'ud dan Adinullah tertuju ke arah tiang.
"Bisakah gazebo ini tegak jika tiang-tiangnya kita robohkan?" sambung Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Roboh, Tuan Guru," jawab pak Mas'ud. Adinullah memperhatikan bibir Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Dia serius menunggu kata-kata yang akan keluar dari Tuan Guru Alamsyah Hasbi.
"Begitupun juga dengan shalat. Jika kita tinggalkan shalat yang merupaka tiang dari agama kita, maka kita sama saja dengan merobohkan tiang kita. Dalam sebuah kitab diterangkan, Shalat adalah sebenar-benarnya cara kita berhubungan dengan Tuhan. Ibaratnya HP, sebanyak-banyaknya pulsa yang ada dalam hp kita, tak akan berguna apa-apa jika tidak ada sinyal. Hp semahal apapun dia. Pulsa sebanyak apapun yang ada di dalamnya, tidak berfungsi tanpa sinyal. Begitu juga dengan ibadah-ibadah kita yang lain. Jika shalat kita tak di terima, maka ibadah-ibadah kita yang lainpun tak akan diterima. Jadi shalat memegang peranan penting dalam kehidupan seorang hamba. Karna itulah bentuk nyata penghambaan kita kepada Sang Pencipta," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia meraih plastik putih bening berisi tembakau didepannya. Setelah membuatnya menjadi sebatang rokok. Setelah itu ia menyulutnya.
"Maaf, Tuan Guru. Apakah dengan mengikuti Tariqat kita bisa melihat Allah?"
Adinullah yang sedari tadi hanya diam mendengarkan akhirnya tak tahan ikut bicara.
"Ha ha ha....Apa yang kamu bicarakan itu, Adinullah." Tuan Guru Alamsyah Hasbi tertawa.
"Lihatlah, Allah ada dimana-mana. Alam semesta ini adalah wujud keberadaan Allah. Jika kamu ingin menyingkap rahasia ketuhanan pada segala sesuatu, maka bukalah rahasia itu dengan Shalat. Semua sudah jelas, Pak Mas'ud. Shalat itu adalah pensuci bagi hati dari kotoran-kotoran dosa dan pembuka bagi pintu-pintu ghaib. Tentu jika kita telah melaksanakan shalat dengan syarat-syaratnya yang bersifat batiniyah." Tuan Guru Alamsyah Hasbi menghentikan kata-katanya. Ia kembali menghisap rokoknya dalam. Adinullah mendesah dalam. Inilah yang selalu ingin ia dengar dari Tuan Guru. Kesempatan ini akan ia gunakan sebaik mungkin.
"Syarat-syarat batin seperti yang bagaimana, Tuan Guru," tanya Adinullah.
"Seperti khusyu', mengagungkan Allah dan rasa malu kita kepada-Nya. Betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepada kita, dan kita merasa malu dengan kemampuan kita menyembahnya yang tak sesuai dengan pemberian-Nya. Syarat-syarat batiniyah itu merupakan sebab bagi sampainya cahaya-cahaya di dalam hati." Tuan Guru Alamsyah Hasbi mendesah. Ia mengambil gelas kemasan di di samping tiang tempatnya bersandar. Setelah membaca basmalah, ia kemudian meminumnya. Adinullah dan pak Mas'ud nampak menunggu penasaran.
"Nah, cahaya-cahaya itulah adalah sebagai pembuka alam-alam mukasyafah. Dan dengannya akan tampak rahasia-rahasia ketuhanan. Dengan itu hati kita selalu senantiasa menghadap kepada Allah, selalu menghadirkan Allah, selalu merasa dalam pengawasan-Nya serta berzikir sepanjang siang dan malam. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan, seseorang yang mencintai sesuatu pasti akan sering menyebutnya. Dan orang yang banyak menyebut sesuatu, walaupun karna dipaksa, pada akhirnya akan mencintai sesuatu yang di sebut itu. Jadi, perbanyaklah berzikir menyebut nama Allah, " Tuan Guru Alamsyah Hasbi tersenyum. Ia menatap keduanya bergantian. Keduanya menganggukkan kepala.
"Intinya shalat, Pak Mas'ud, Adin. Jangan menuntut yang macam-macam. Apalagi melihat Allah. Akal kita tidak dirancang untuk itu. Kita hanya di suruh untuk berpikir tentang sifat dan ciptaannya Allah, bukan pada Dzat-Nya. Sudah, gak usah berpikir yang macam-macam. Tata hati kita agar lebih bersih. Itulah tujuan sebenarnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita melakukan apa yang disukai Allah, dan Allah mencintai kita. Apa lagi yang kita cari. " kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Ia menurunkan kedua kakinya dari atas gazebo dan berdiri.
"Ayo, sudah malam. Kalian pulang dulu. Nanti keburu hujan lagi," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Keduanya segera bangkit dan mencium telapak tangan Tuan Guru Alamsyah Hasbi bolak-balik. Setelah itu, Tuan Guru Alamsyah Hasbi melangkah menuju rumah.
Tapi baru beberapa langkah Tuan Guru Alamsyah Hasbi naik ke atas teras rumahnya, ia menoleh.
"Ingat, Pak Adin, jangan terlalu memikirkan sesuatu di luar kemampuan otak kita. Ingat juga, jangan sering-sering melamun dan menyendiri," kata Tuan Guru Alamsyah Hasbi. Adinullah tersenyum dan mengangguk pelan.
Setelah Tuan Guru Alamsyah Hasbi tak terlihat lagi di depan mereka, Pak Mas'ud mengajak Adinullah untuk pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!