Setelah dibujuk oleh Handoko, akhirnya Faisal mengijinkan Ajeng tinggal di rumahnya dan tidur sekamar dengan Bik Sum. Feli tentu saja sangat senang karena ia tak akan lagi merasa kesepian setelah Ajeng kini tinggal serumah dengannya. Setiap hari Feli mengajari Ajeng hal-hal baru yang belum pernah ia pelajari di bangku sekolah. Ajeng seusia dengan Feli, namun karena Ibunya meninggal sejak ia kecil sementara Ayahnya tak bekerja, Ajeng pun terpaksa putus sekolah saat kelas 5 SD.
Feli tak lagi merepotkan dan mengganggu Faisal kecuali di saat ngidamnya kambuh. Selain pisang goreng yang harus selalu ada setiap sore, sesekali Feli ngidam makanan yang tak lumrah. Pernah suatu malam Feli sangat ingin makan bakso dengan perasan jeruk nipis. Karena sulit mendapatkan jeruk di tengah malam sementara pasar sudah tutup, Faisal mengakalinya dengan mencampurkan cuka ke kuah bakso. Beruntung Feli tak menyadarinya dan menyantap bakso itu sampai bersih tak tersisa.
"Mbak Feli, ini pisang gorengnya." Ajeng meletakkan sepiring pisang goreng di meja.
"Makasih, Jeng. Duduklah di sini, aku ingin ngobrol denganmu!" Felinova menepuk bangku kayu kosong di sebelahnya agar Ajeng duduk.
Gadis polos nan lugu itu mengangguk dan beringsut duduk di sebelah Feli. Selama tinggal di rumah Faisal, Ajeng merasa menemukan keluarga baru. Meskipun Faisal dan Feli kerapkali bersitegang, namun Ajeng selalu terhibur dengan tingkah keduanya.
"Kamu udah pernah pacaran belum?" tanya Feli kepo.
Ajeng tersipu dan menggeleng cepat. "Mana mungkin saya pacaran, Mbak. Lelaki yang saya kenal cuma Bapak!"
Feli terkekeh. "Mau aku kenalin sama cowok keren, nggak?"
Ajeng menolehi Feli penasaran. Bersamaan dengan itu perhatian mereka terpecah ketika sebuah mobil double cabin masuk ke halaman. Feli mengawasi mobil itu dengan penasaran, masih jam 2 sore, tumben Faisal sudah pulang?
Saat seseorang membuka pintu kemudi, Feli menghembuskan napasnya lega. Bukan Faisal yang datang, melainkan Zul.
"Hai, Kakak. Lagi santai?" sapa Zul sembari melambaikan tangan pada Feli dan Ajeng.
Bukannya menjawab, Feli malah merasa kepalanya berputar-putar. Semakin Zul mendekat ke tempat mereka, seisi perut Feli mulai bergejolak.
"Mbak Feli nggak apa-apa?" tanya Ajeng panik saat menyadari Feli berkeringat dingin dan menutup mulutnya dengan tangan.
Feli menggeleng cepat. Ia masih mengawasi Zul yang kini sudah berada di dekat mereka. Selangkah lagi dan ...
"Whoeeeek!"
.
.
Masih dengan rasa mual yang semakin menyiksa tiap kali melihat Zul, Feli akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sore dengan mengajak Ajeng. Ia memilih untuk menyegarkan pikiran agar tak suntuk berada di rumah terus.
"Eh, Jeng. Itu di rumahmu kok ada mobil polisi?"
Ajeng mengikuti arah telunjuk Feli yang mengarah ke rumahnya dan benar saja, mobil polisi nampak terparkir di halaman. Menyadari hal buruk pasti terjadi pada Bapaknya, Ajeng sontak berlari namun dengan sigap Feli menangkap lengannya dan menahannya.
"Kamu mau ke mana?"
"Pasti terjadi sesuatu sama Bapak, Mbak!" tangis Ajeng khawatir.
"Jangan ke sana dulu. Kita lihat dari jauh aja!" perintah Feli.
Ajeng menggeleng namun ketika segerombolan polisi nampak membawa Pak Poniman yang telah diborgol, Feli reflek melepas tangan Ajeng.
"Bapakkk!" teriak Ajeng dengan air mata berderai, ia berlari dan menghalau polisi itu agar tak membawa Bapaknya pergi.
"Ajeng, pergilah Jeng. Jangan ke sini," teriak Pak Poniman dengan sedih. "Maafkan Bapak, Jeng."
"Bapak, jangan tinggalin Ajeng! Huhuhu ..." tangis Ajeng semakin menjadi-jadi kala seorang polisi menahannya agar tak mendekat.
"Kami akan menahan Pak Poniman atas tuduhan pelaku perjudian. Untuk selanjutnya silahkan anda datang ke Kantor Polisi untuk kami mintai keterangan." Polisi yang menahan tubuh Ajeng menjelaskan prosedur yang sedang mereka kerjakan.
Feli yang sejak tadi tertegun karena syok, perlahan mendekat dan menarik Ajeng untuk mundur.
"Mbak Feli, tolongin Bapakku, Mbak!" rengek Ajeng memohon.
Polisi-polisi itu kembali bergerak dan membawa Poniman masuk ke dalam mobil.
"Saya titip Ajeng, tolong jaga dia dengan baik," teriak Pak Poniman saat tatapannya bertemu dengan Feli.
Feli mengangguk, ia memeluk Ajeng untuk menenangkan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
Setelah semua anggota polisi itu naik ke belakang mobil yang terbuka, mobil itupun melaju pergi.
"Tenanglah, Jeng. Jangan nangis," bujuk Feli sembari menepuk-nepuk punggung Ajeng dengan lembut.
"Huhuhu ... Bapakk ... Bapak ..."
"Bapakmu harus menjalani hukuman ini agar dia bisa berubah. Bersabarlah."
"Tapi kasihan Bapakku, Mbak."
Feli mengurai pelukannya dan menggenggam kedua tangan Ajeng dengan erat.
"Bapakmu pasti akan baik-baik saja, Jeng. Dia harus menanggung resiko dari perbuatannya sendiri."
Ajeng mengusap air matanya perlahan, apa yang dikatakan Feli benar. Tapi tetap saja ia merasa sedih melihat Bapaknya diseret seperti tadi.
Beberapa tetangga yang melihat kejadian itu kembali masuk ke dalam rumah masing-masing sambil berkasak-kusuk. Feli mendengus kesal melihat betapa acuhnya mereka pada tetangganya sendiri, padahal jelas-jelas Ajeng butuh dihibur, bukan malah dipergunjingkan!
"Yuk, kita jalan-jalan lagi!" Feli menggamit lengan Ajeng dan menariknya untuk segera pergi.
Sepanjang jalan, Ajeng yang biasanya ceria mendadak bungkam. Suasana hatinya memburuk setelah melihat Bapaknya ditahan.
"Jangan sedih, Jeng. Masih ada aku, Kak Ical dan Bik Sum yang akan jagain kamu," hibur Feli.
Ajeng menarik ujung bibirnya dengan berat. Ia menolehi Feli sesekali.
"Kamu tahu, ujianku jauuuh lebih berat. Tapi pelan-pelan aku belajar bersyukur, aku belajar untuk sabar menerima takdirku," curhat Feli.
"Mbak Feli malah enak, orang tuanya kaya raya, cantik dari lahir, pinter, nikah sama Mas Faisal yang ganteng, cepet hamil pula!"
"Tapi sayangnya bayi ini bukan anak Kak Ical."
Ajeng terhenyak, ia menghentikan langkahnya dan menolehi Feli dengan syok. "Mbak, serius?"
Feli mengangguk dan tersenyum sumbang. "Ceritanya panjang. Tapi kapan-kapan aku pasti akan cerita sama kamu," janjinya.
Melihat ekspresi Feli yang berusaha tersenyum meskipun tatapan matanya redup membuat Ajeng ikut merasa terluka.
"Aku kagum sama Mbak Feli."
"Aku juga kagum sama kamu!"
Feli dan Ajeng tertawa bersamaan. Mereka kembali melanjutkan jalan-jalan sore sembari menghirup udara segar. Hawa dingin membuat Feli merapatkan jaketnya dan menggamit lengan Ajeng lebih erat.
Sesekali Feli menceritakan hal lucu pada Ajeng dan mereka tertawa bersama. Namun tawa Feli sontak pudar saat ia melewati Polindes. Sosok lelaki yang selalu berwajah dingin dan kaku itu baru saja keluar dari sana, dan herannya setiap kali melihatnya keluar dari Polindes wajah itu selalu saja sumringah.
Feli mendengus kesal. Ia berjalan mendahului Ajeng dengan sedikit berlari sebelum Faisal naik ke atas motornya.
Menyadari seseorang mendekat, Faisal menoleh sebelum ia sempat memasang helmnya.
"Feli?"
"Ngapain sih Kak Ical sering ke tempat ini?! Kak Ical selingkuh, ya!?"
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Karyi
kagak selingkuh dong non,kan nona yg tak mau disentuh.
2023-03-06
0
Alfiyati Al-Ikhlas
lhaaa...bang ical terciduk
2023-02-03
1
Ami batam
Faisal lg PDKT sm mb sarah! felli, tapi sayangnya mba sarah lebih memilih si doel ketimbang Faisal😊
2023-01-15
0