Chapter 020

“Assalamualaikum.” ucap Jaka dari luar terdengar sedang memarkirkan sepeda ontelnya di ruang samping.

“Waalaikumsalam.” balasku.

Jaka menghampiriku dengan wajah yang bahagia. Terukir senyumannya begitu lebar pada wajahnya hingga membuatku penasaran apa yang sebenarnya baru saja terjadi.

“Ada apa kok senyum-senyum sendiri?” tanyaku singkat.

“Nanti dulu ya, Mbak. Aku mau mandi sama beresin kamar.” balasnya.

Dalam benakku, aku menduga jika adikku satu ini baru saja mendapatkan sebuah hadiah entah karena berhasil menjawab pertanyaan dari gurunya atau mungkin baru saja melakukan suatu kebaikan.

Ya, Jaka adalah orang yang sangat mudah sekali terlihat ekspresinya. Ia tidak mudah untuk menyembunyikan sesuatu dan berpura-pura seolah sedang tidak terjadi apa-apa.

Dulu saja ketika Jaka masih duduk di bangku sekolah dasar, ia berusaha untuk tetap tersenyum ketika ia baru saja terjatuh dari sepeda.

Tetapi senyumannya begitu mudah pudar ketika Ibu memeluk Jaka. Dengan polosnya, Jaka langsung mengeluarkan air mata dan bercerita bahwa ia terjatuh dari sepeda karena kelalaiannya sendiri.

Otomatis Ibu yang mendengar cara Jaka bercerita tertawa terbahak-bahak. Melihat Ibu tertawa, Jaka merasa jengkel dan menggigit tangan Ibu.

Kepolosan dan cara Jaka untuk mengungkapkan sesuatu yang baru ia alami lah yang membuat aku dan semua orang di rumah ini merasa bahwa Jaka adalah salah satu penghibur di tengah suntuknya hari-hari yang telah dilalui.

Aku saat ini sedang menunggu Jaka di ruang tengah, tidak sabar menantikan apa cerita yang akan digaungkan oleh Jaka, adikku.

Punggungku bersandar pada kursi sofa tua yang entah sudah berapa kali kubawa ke tukang jahit untuk sekedar menutupi sobekan yang tidak terhitung jumlahnya.

Jika dipikir-pikir, Allah itu Maha Adil. Kepergian Ayah, Ibu dan Jaka yang memberikan duka yang mendalam bagiku dan Jaka pasti akan ada sesuatu yang membuat kami berdua bersyukur bahagia.

Aku tidak ingin munafik dan sok kuat, beberapa kali aku memohon untuk dicukupkan dan dilebihkan dalam hal harta agar kehidupanku dan adikku bisa berubah lebih cepat.

Meskipun aku tahu, Allah akan memberikan apa yang hambanya butuhkan dan bukan apa yang hambanya inginkan.

Terkadang, aku sudah merasa siap untuk menerima khayalan uang yang sangat banyak. Namun kenyataannya, Allah masih belum berkenan untuk memberikan hal itu kepadaku.

Itu berarti, aku yang memaksakan diri dan menganggap kesiapanku sudah ada pada puncaknya. Tetapi Allah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri saja tidak sependapat denganku.

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain terus bergerak dan berusaha, berdoa tanpa henti saja jika tidak ada yang aku lakukan akan sia-sia.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar berdecit. Jaka yang sudah terlihat segar menghampiriku dengan membawa sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado berwarna biru muda.

“Apa ini?” tanyaku pada Jaka yang masih mempertahankan senyuman di wajahnya.

“Buka dulu deh, Mbak. Tapi janji nggak boleh nangis, bisa?”

Aku menatap Jaka dengan wajah curiga. Bagaimana tidak, baru kali ini seorang Jaka mengatakan jika aku tidak boleh menangis.

“Nggak boleh nangis, kenapa?” balasku.

Jaka tidak menjawab, dan hanya melemparkan wajah cuek kepadaku. Aku pun segera mengambil kotak itu dan membukanya di depan Jaka.

Entah mengapa karena perkataan Jaka barusan, aku merasa deg-degan ketika membuka kotak yang ada di genggamanku kali ini.

Perlahan kubuka kotak itu agar tidak mengacaukan apa yang ada di dalamnya. Terlihat disana ada sebuah kotak lagi berwarna merah yang terbuat dari bludru.

Kutarik kotak itu, dan kubuka. Isinya adalah sebuah medali berwarna emas. Disana terdapat ukiran “Juara 1” dan nama adikku.

Betapa terkejutnya aku. Aku tidak bisa berkata apa-apa sampai tidak sadar bahwa air mataku menetes secara perlahan.

Jaka memelukku dan berbisik.

“Mbak, aku menang lomba desain gedung.” bisiknya.

Aku menangis, terharu, dan melupakan perjanjian yang diberikan oleh Jaka tadi.

“Perjanjiannya nggak boleh nangis, Mbak.” ucapnya sambil menggodaku.

Aku abaikan semua perkataan Jaka dan tetap melanjutkan tangisan haruku. Dalam hati, aku baru kali ini merasakan hal yang paling membanggakan didapatkan oleh adikku.

Mungkin seperti inilah gambaran ketika seorang ibu menangis terharu melihat anaknya bisa mendapatkan prestasi yang diharapkan.

“Alhamdulillah Ya Allah.”

Ucapanku bergetar, masih tetap tidak bisa membendung rasa tangisku.

“Jaka..” ujarku.

Jaka melepaskan pelukannya dan menatap ke arahku dengan teduh.

“Ya, Mbak. Kenapa?” balasnya.

“Jaka mau makan apa malam ini biar Mbak buatkan ya?” tanyaku.

Aku ingin memberikan apresiasi sebaik mungkin pada adikku yang baru saja memenangkan lomba yang diikutinya.

“Nggak usah, Mbak. Nggak perlu repot-repot.” sahutnya.

Akhirnya aku memiliki ide untuk membuat tengkleng kambing, dan mencoba untuk menawarkannya kepada adikku.

Jaka sebenarnya tidak memiliki makanan favorit, namun ia akan selalu antusias jika ada masakan yang baru pertama kali ia coba.

Dan sebelumnya, di keluargaku tidak ada yang pernah membuat tengkleng kambing sebelumnya.

Setelah penawaran yang cukup alot, akhirnya Jaka menyetujui untuk makan tengkleng kambing.

“Ya sudah, Jaka tunggu ya. Mbak mau beli bahan-bahannya lebih dulu.”

Aku segera pergi ke warung yang menjual sembako yang menjadi rujukan orang di kampungku ketika hari sudah sore. Warung itu cukup besar, hingga orang-orang menyebutnya “pasar sore”.

Sebutan itu karena warung disana menyediakan banyak sekali bahan masakan yang lengkap. Hampir semuanya ada disana, dan warung itu baru buka ketika sore dimana aktivitas pasar sudah mulai berhenti.

Dalam perjalananku menuju warung itu, aku memikirkan banyak sekali bahan apa saja yang harus kubeli.

Mulai dari iga kambing, babat kambing, lengkuas, kayu manis dan masih banyak sekali.

Rencananya aku akan membeli semua bahan mentah yang berhubungan dengan kambing yang sudah bersih dan siap masak agar lebih memotong waktu untuk memasak.

Toh, untuk kali ini aku juga sudah mengambil sebagian uang tabunganku untuk memasak tengkleng.

“Tidak apa-apa.” batinku dalam hati. Karena hal dan momen seperti ini jarang terjadi, aku tidak akan menyesal untuk merogoh saku lebih dalam agar bisa memasak masakan yang enak.

Benar saja, sesampainya di pasar sore, sudah begitu banyak warga yang sibuk memilih belanjaannya sendiri-sendiri.

Aku pun juga segera ikut bergabung di dalam sana. Kuambil keranjang yang disediakan di depan sebagai wadah penampungan bahan yang akan dibeli.

Lorong demi lorong aku susuri perlahan dan mengambil setiap bahan masakan yang ada di dalam otakku.

Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa keranjang belanjaanku sudah penuh.

Antrian kasir cukup panjang, memang pasar sore ini secara manajemen sangatlah bagus dimana pemiliknya mengadaptasi seperti di minimarket namun tetap dengan harga yang lebih terjangkau.

“Mau memasak apa, Mbak? Kok beli banyak sekali.” tanya kasir itu ketika tiba giliranku untuk membayar.

“Ini mbak, mau masak tengkleng. Kebetulan tadi adikku baru saja menang lomba, jadi ingin buat masakan yang belum pernah dicoba sebelumnya.” Sebangga itulah diriku pada Jaka hingga aku selalu mengatakannya bahwa adikku usai menjuarai kompetisi.

“Ya Allah, alhamdulillah. Semoga bisa konsisten ya, Mbak.” sahut kasir itu.

Aku membalasnya dengan senyuman dan mengaminkannya di dalam lubuk hatiku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!