Aku melihat dari ruang tamu, Roni sudah kembali tertidur. Ruang tamu, yang biasanya tempat Ayah dan Ibu saling memberi semangat ketika salah satu dari ketiga anaknya ada yang jatuh sakit, kini terasa begitu sepi.
Uang yang baru saja kuhitung dan kubagi untuk apa saja keperluan mendatang, ternyata Allah ingin memberikanku rezeki lebih. Ujiannya memang tidak bisa ditebak kapan dan pada siapa datangnya.
Aku hanya bisa berikhtiar dan selalu berdoa kepada-Nya, tidak ada lagi tempat yang bisa kujadikan sandaran selain-Nya.
“Ya Allah, berikanlah keselamatan pada Jaka, dan berikanlah kesembuhan pada Roni. Aamiin.” doaku dalam hati.
Jaka menyusuri jalan desa yang minim penerangan itu, ia beberapa kali bertemu dengan bapak-bapak yang bertugas ronda malam.
Di tengah perjalanan, Jaka berhenti sejenak. Dalam benaknya, ia mengingat lagi apa nama obat yang baru saja aku katakan untuk penyembuhan Roni.
Nama yang sangat tidak asing bagi dirinya dan lingkungan keluarganya, karena setiap ada salah satu dari anggota keluarganya yang sedang sakit, maka obat itulah yang menjadi pertolongan pertama.
Ia juga pernah meminum obat itu. Dulu, ketika di apotek, Jaka seringkali ditanya oleh apoteker yang bekerja di sana mengapa memilih obat itu.
Menurut apoteker itu, obat yang dibelinya adalah obat dengan dosis paling ringan, dan merupakan yang paling buruk di antara obat-obat sejenis yang lain.
Jaka tidak bisa menjawab, dalam hatinya hanya sebatas inilah kemampuan keluarganya untuk membeli obat sebagai pertolongan pertama.
Mengingat kejadian itu, ia rela untuk kembali ke rumah secara diam-diam. Jaka melewati semua jalan yang baru saja dilaluinya.
Bapak-bapak di pos kamling pun terheran melihat Jaka yang baru saja melewati mereka beberapa menit yang lalu sudah kembali lagi.
Tak heran, di sepanjang jalan yang dilalui Jaka tidak ada perkampungan, hanya sebuah jalan yang disampingnya hamparan sawah gelap tak terlihat apapun.
Hingga setibanya di rumah, ia membuka pintu perlahan. Mengendap-endap menuju ruang tengah dimana ia menyimpan uangnya di bawah televisi.
Ia merasa langkahnya sudah cukup senyap untuk memasuki rumah, begitu juga dengan langkah keluarnya harus sama seperti tadi.
Pintu ditutup Jaka dengan pelan, dan ia segera pergi meninggalkan rumah.
Jaka mengayuh sepeda lebih cepat dan lebih kuat daripada sebelumnya. Ia tidak ingin terlambat untuk mengobati saudaranya itu.
Dirinya tahu, bahwa apotek tempatnya biasa membeli obat tidak begitu lengkap. Maka dari itu, Jaka memutuskan untuk melewati begitu saja dan menuju apotek yang ada di kota.
Nafasnya tersengal, ketika sampai di depan apotek yang menjadi pusat rujukan kota ini. Jaka segera masuk dan bertanya tentang obat apa yang paling baik untuk Roni.
"Berapa ya, Mbak kalau untuk obat yang itu?" tanya Jaka.
"Kalau yang ini, satu kapletnya 42.000 dik." ucap apoteker dengan pelan.
Jaka segera mengeluarkan semua uang lembar yang ia bawa dengan berbagai macam nominal dan membayar obat itu.
Nota yang Jaka dapatkan, akan ia simpan terlebih dahulu. Dalam hatinya, Jaka berharap semoga aku tidak mengetahui dan menyadari obat yang Jaka bawa pulang nantinya.
Satu kresek berisi obat saat ini sedang dalam genggaman Jaka dan akan segera dibawa ditemani sepeda ontel sebagai kurirnya.
Gelap malam dan sunyinya perjalanan ia tembus begitu saja tanpa menghiraukan suara-suara yang terkadang mengganggunya.
Sesampainya di rumah, Jaka segera masuk ke dalam kamar dan memberikan obat yang baru saja ia beli kepadaku.
"Assalamu'alaikum, Mbak." ucapnya sambil memasuki kamar.
"Wa'alaikumsalam. Gimana? Ada obatnya?" balasku.
“Ada kok, Mbak.”
Aku segera menuju ke dapur dan membuat teh hangat sebagai perantara Roni untuk meminum obatnya kali ini.
Lantunan sholawat kuucapkan ketika aku mengaduk teh untuk adikku. Aku berharap, semoga melalui fadhilah sholawat, bisa lebih membantu adikku agar pulih dan sehat lebih cepat.
Kuambil satu sendok dengan teh hangat di atasnya, kucicipi apakah rasa panas dan manisnya sudah pas.
“Sudah, bismillah.” batinku dalam hati.
Aku meninggalkan dapur dan kembali ke kamar Roni. Di ruang tamu, aku melihat Jaka sedang duduk termenung, dalam hati aku meminta maaf pada Jaka karena untuk sementara ini aku akan fokus pada kesembuhan Roni terlebih dahulu.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat Roni, adikku sudah dalam posisi duduk di atas kasurnya.
“Ya Allah, Roni. Kenapa? Tiduran aja. Ini Mbak sudah bikin teh sama tadi Jaka sudah beli obat.”
Roni tidak menjawab sepatah kata pun, ia tiba-tiba menarik tanganku dan menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.
“Mbak..” ucapnya lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments