Aku tidak akan tahu siapa yang akan membeli daganganku, begitu juga dengan seberapa banyak daganganku yang laku hari ini.
Yang jelas, aku yakin bahwa kekuatan dzikir tidak akan pernah melupakan orang yang mengamalkannya.
Disela-sela aku menunggu pembeli, Bu Suryo memanggilku.
“Nduk, sudah lihat berita pagi ini?” tanya Bu Suryo padaku.
Televisi di rumah yang hanya bergantung pada antena yang sudah usang hanya bisa menampilkan tiga saluran.
Hanya ada saluran berita tengah malam dan saluran musik dan olahraga ketiga pagi, hal itulah yang membuatku tidak bisa mendapatkan informasi secepat orang lain.
Ponsel milikku dulu yang dibelikan oleh Ibu kini kuberikan pada Roni dan Jaka, mereka lebih membutuhkan untuk membantu mengerjakan PR dan berkomunikasi dengan teman-temannya di sekolah.
“Tidak bu, kemarin malam tidak jadi begadang karena mata sudah terasa berat. Daripada terlambat ke pasar.” jawabku dengan sopan.
“Itu loh nduk, menteri perdagangan bilang kalau besok harga beras naik.”
Aku yang mendengar ucapan Bu Suryo langsung menghela nafas panjang. Wajahku menampakkan gambaran sebuah tambahan beban lagi.
Tapi mau bagaimanapun, aku tidak bisa melakukan apapun. Protes dan demo bukanlah keahlianku.
Menyelesaikan perdebatan dan meredakan konflik kepentingan apalagi. Aku sama sekali tidak berani ikut campur pada hal-hal yang seperti itu.
Aku menyadari bahwa diriku ini adalah seorang penjual nasi uduk, yang setiap hari berusaha memasak dan menyediakan makanan yang enak untuk membantu mengisi perut semua pembeliku.
“Kenapa harus naik lagi ya, bu? Kemarin bawang, minyak, besok beras, pasti minggu depan harga cabai juga naik.” aku mengeluh pada Bu Suryo.
“Ya seperti itulah nduk, Ibuk juga nggak tau alasan-alasan naiknya, entah karena memang hasil panennya yang jelek atau hal lain ibuk juga nggak berani menuduh.” sahut Bu Suryo juga dengan mimik wajah yang sedih.
“Betul juga bu, kita sekedar pedagang kecil yang nurut sama pedagang besar.”
“Terus gimana kamu, nduk? Sudah tau cara ngakali biar tetep untung apa belum? tanya Bu Suryo.
“Belum sih bu, dipikir nanti aja. Daripada sekarang pusing nanti malah kacau dagangannya.”
Biasanya, jika yang naik adalah harga minyak atau harga bumbu, aku bisa mengakalinya dengan menambah penyedap rasa siap saji agar tetap bisa menggantikan rasa bahan yang harganya melonjak.
Namun, kali ini adalah beras. Pion utama dalam daganganku, tidak ada yang bisa menggantikan beras selain kualitas yang diturunkan.
Jika masih ada Ibu, beliau pasti marah apabila aku mengganti kualitas beras yang biasa dijual saat ini dengan kualitas yang lebih rendah dan murah.
Ibu pernah bilang kepadaku, menjual dagangan itu harus dari hati. Sebagai pedagang, aku juga harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pembeli.
Bahkan menurut ibu, lebih baik untuk menaikkan harga yang bisa dimaklumi daripada menurun kualitas berasnya.
Sedangkan kali ini saja, harga dalam dua bulan sudah kunaikkan dua kali. Mungkin para pembeli akan bisa mengkompensasi kenaikan kedua itu, tapi bagaimana untuk ketiga kalinya.
“Ah sudahlah. Kupikirkan pas pulang saja.” batinku dalam hati.
Aku pun melanjutkan dagangan hari ini, banyak sekali orang-orang yang tidak biasanya mampir di lapakku.
Aku menoleh ke segala arah, apakah ada ruko baru atau juragan baru yang mempekerjakan banyak orang.
Biasanya, memang seperti itu. Jika ada toko atau juragan yang baru saja bergabung di pasar ini, akan ada banyak orang yang membantunya sehingga akan banyak sekali orang yang “asing” berseliweran dimana-mana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments