Kesibukanku di dalam ruangan kecil yang penuh dengan berbagai perabotan untuk memasak tidak berakhir begitu saja.
Kali ini, tungku yang padam dari tadi kupaksa untuk menyala dan mendukung apa yang tengah aku lakukan.
Terlihat asap mulai mengepul ke atas rumah melalui celah-celah genteng dan beberapa ada yang memilih jalur lain menyelinap melalui dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Aku menunggu cukup lama kali ini, dzikir kuucapkan dalam hati dengan mengharap makanan yang sedang dibuat kali ini dipenuhi dengan berkah dan bermanfaat bagi orang yang akan memakannya.
Bara api sudah menyala, aku kemudian meletakkan wajan yang berisi minyak goreng di atas tungku yang siap bekerja sama untuk memanaskan apa yang ada di atasnya.
Sembari menunggu minyak goreng memanas, aku mencoba untuk meregangkan seluruh ototku, karena aku tidak ingin lagi mengalami kram otot hanya karena terlalu sering mengangkat beban.
Tak lama kemudian, Jaka datang ke dapur untuk menghampiriku.
“Mbak, Jaka saja yang goreng tahu sama tempenya, karena Jaka nggak bisa masak nasi.”
Melihat kedua adikku yang tengah bersemangat, aku membalas ucapannya dengan tersenyum mengisyaratkan bahwa tugasku kali ini boleh digantikan oleh dirinya.
Tidak ingin membuang waktu, sembari Jaka menggoreng, aku memutuskan untuk menanak nasi saja.
Aku mencari Roni untuk meminta beras yang sudah ia cuci dan segera memasukkannya ke dalam panci dengan didampingi santan yang baru saja mendidih.
Beberapa saat setelah memasukkan nasi itu, aku merasa ada yang janggal karena tidak seperti biasanya aku menanak nasi.
Baru kusadari ternyata aku lupa untuk menambahkan beberapa bumbu penyedap tambahan. Sedikit merica dan potongan daun salam serta beberapa siung bawang putih akhirnya aku ikut sertakan dalam rombongan santan mendidih itu.
Panci yang mengerak, akan sangat susah untuk dibersihkan. Aku tidak mau lagi menghabiskan sisa energiku dalam satu hari hanya untuk membersihkan panci.
Maka dari itu, setiap aku menanak nasi, akan kujaga dan terus kuaduk adonan nasi tersebut.
Keringat bercucuran membasahi dahiku, sang surya juga sudah mulai menampakkan kegagahannya.
Tidak bisa aku menyuruh waktu untuk berputar kembali agar bisa mendapatkan lebih banyak ruang untuk bersantai meskipun hanya sebatas duduk diam di dalam dapur.
Aku baru sadar, bahwa hanya memasak seperti ini ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama.
Santan juga ternyata memerlukan waktu untuk bisa memahami dan meresap.
Kuputuskan untuk menyiapkan dandang untuk menanak nasi. Hingga sekiranya santan sudah meresap ke dalam beras, lalu kupindahkan ke dalam dandang yang sudah siap. Selain itu, aku juga tidak lupa untuk menyiapkan sambal.
Sesekali, aku memejamkan mataku karena menahan rasa pedih dari sambal yang kubuat sendiri.
Ketika aku masih sibuk mengulek sambal, sepintas terlihat Jaka yang sedang fokus menggoreng tempe dan tahu yang sebelumnya sudah aku siapkan.
Begitu hati-hati anak itu ketika membalikkan tahu dan tempe satu-persatu di atas penggorengan.
“Jaka, jangan lupa ya..” teriakku.
“Jangan lupa apa, mbak?” tanya Jaka juga dengan berteriak.
“Dada ayamnya juga digoreng.”
“Disini nggak ada dada ayam.” sahut Jaka.
Aku lupa jika masih belum mengeluarkan dada ayam dari lemari pendingin. Sontak aku menghentikan sejenak keasikan ku dalam mengulek sambal, juga sekalian mengistirahatkan mataku untuk beberapa saat.
Kulkas yang berada di ruang tengah, tidak bisa berfungsi dengan normal. Sejak kepergian Ayah, tidak ada lagi orang di rumah ini yang bisa memperbaiki kulkas tua itu.
Pintu kulkas yang dipenuhi dengan magnet berbentuk buah-buahan dan beberapa stiker yang didapatkan oleh kedua adiknya ketika membeli snack menjadi penanda sudah berapa lama kulkas itu setia pada keluargaku.
Semua barang yang harus didinginkan, harus masuk ke dalam bagian freezer. Karena bagian utama kulkas sudah tidak lagi menghasilkan hawa dingin lagi.
Kulihat disana ada sebuah kresek berwarna biru yang membungkus dada ayam itu, untung saja dada ayamnya sudah selesai kupotong sehingga tidak lagi menghabiskan waktu menguleknya.
“Jaka, sini.”
Adikku yang mendengar aku memanggilnya segera berlari menuju ruang tengah dengan membawa spatula di tangan kirinya.
Aku menyerahkan bungkusan dada ayam itu kepada dirinya dan menyerahkan semua urusan penggorengan pada Jaka dan Roni.
“Jangan sampai terlalu gosong ya.” ucapku memperingatkan Jaka yang pernah sekali ia tertidur ketika sedang menggoreng ikan bandeng sebagai lauk favoritnya.
“Aman, bos!” sahut Jaka sembari mengambil bungkusan itu dan kembali menuju pos tugasnya.
Urusanku dengan sambal pun aku lanjutkan hingga selesai. Sekarang, tinggal mengecek apakah nasinya belum matang.
Aku buka tutup dandang yang sudah penyok dan tidak mengkilap lagi itu. Seketika uap menyambutku dengan begitu pekat mengepul ke atas, tetesan air karena penguapan juga menetes dari sisi dalam tutup dandang.
Centong kayu yang biasa digunakan Ibu untuk bercanda dengan anak-anaknya kini sudah hilang ketika banjir menerpa desaku.
Saat ini, aku sudah memiliki penggantinya berupa centong plastik berwarna ungu yang pernah diperdebatkan oleh kedua adikku denganku hanya karena permasalahan warna yang tidak mereka sukai.
Debat kala itu kumenangkan dengan perkataanku, karena jika tidak segera ada centong ini, mereka tidak akan bisa menanak nasi dan makan setiap hari.
Meskipun akhirnya kedua adikku menerima, namun wajah yang cemberut membuatku tertawa ketika itu.
Kuambil centong plastik di atas rak yang ada di meja, untuk segera kugunakan mengambil sejumput nasi. Dan ternyata, rasanya masih sedikit keras menandakan dirinya memerlukan waktu tambahan untuk matang.
“Jaka, gimana? Sudah selesai atau belum?”
“Sudah, mbak. Kenapa?” seru Roni.
Aku tidak mengetahui jika mereka sudah selesai cukup lama dan kali ini sedang memakan tempe yang baru diangkat dari penggorengan.
“Kalau sudah, jangan lupa diangkat lalu diletakkan ke wadah yang biasanya. Nasinya sebentar lagi mau matang juga. Mbak, mau mandi dulu.”
“Siap 86, komandan!” jawab Jaka yang mendengar apa yang baru saja aku perintahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments