Memang sebuah garis kehidupan tidak akan ada yang bisa mengubahnya, salah satunya adalah kematian.
Allah sudah menetapkan itu, dalam firmannya telah berkata: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadanyalah kami kembali.”
Keikhlasan untuk melepas seseorang yang kita sayang adalah sebuah musibah dan ujian yang datang secara bersamaan.
Meskipun aku sudah mengetahui hal itu, namun tetap saja sebuah perasaan dan ikatan batin tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Adikku yang memiliki nama lengkap Fazroni Setiawan memiliki berbagai macam panggilan yang disematkan padanya. Mulai dari Fazrin, Fajrin, Roni, Tio, hingga Wawan.
Sedari kecil, Roni memiliki cita-cita untuk menjadi seorang arsitek. Bahkan ketika ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki bakat menggambar, ia tetap berusaha untuk meningkatkan kemampuannya yang lain.
Roni pernah suatu kali bercerita kepadaku, merasa iri kepada saudaranya sendiri, Jaka. Karena Jaka memiliki tangan yang luwes dan terampil dalam menggambar.
Padahal Jaka sendiri tidak memiliki keinginan sama sekali untuk menjadi seorang arsitek. Sedangkan Roni, Memiliki kecakapan dalam berbicara, dan pengetahuan saintifik yang bagus.
Yang secara garis besar, hal itu dibutuhkan jika seseorang ingin menjadi akademisi, dan akademisi adalah cita-cita Jaka yaitu menjadi seorang dosen.
Roni mengeluh karena merasa ada yang tertukar dalam dirinya dan dalam diri Jaka. Aku hanya bisa tertawa dan memaklumi karena kala itu, mereka berdua masih duduk di bangku sekolah dasar.
Aku menganggap bahwa keluhan-keluhan yang diutarakan oleh kedua adikku kepadaku adalah keluhan yang wajar dan belum waktunya kujawab dengan serius.
Roni dikenal sebagai siswa yang aktif karena berani bertanya dan menyangkal jika apa yang dijelaskan oleh gurunya tidak sesuai dengan apa yang ada di buku.
Selain itu, banyak guru yang mengenal Roni di sekolah karena kepiawaiannya dalam berpidato. Roni seringkali ditunjuk menjadi perwakilan jika ada lomba pidato antar kelas yang diadakan setiap enam bulan sekali.
Bukannya selalu menjadi juara, namun konsistensinya untuk selalu masuk 3 besar lah yang menjadikan Roni dikagumi oleh para guru.
Pembawaan pidatonya terkesan sangat mengalir, dan Roni sangat memahami apa yang akan ia sampaikan. Poin itu lah yang selalu didapat oleh Roni yang akhirnya mengantarkan dirinya menjadi 3 besar.
Nilai akademik Roni juga terlihat sangat bagus, terutama di mata pelajaran yang didalamnya membutuhkan kalkulasi dan perhitungan.
Di lingkungan keluarga, Roni menjadi salah satu orang yang bisa mencairkan suasana dengan lawakan-lawakannya.
Cara ia bercanda pun juga berbeda dari Ayah dan Ibu, tapi entah mengapa semua orang disini, termasuk bisa dibuat tertawa terbahak-bahak karena tingkah konyolnya.
Bagi Ayah, Roni adalah putranya yang paling bisa mengerti dirinya. Bukan bermaksud untuk mengunggulkan salah satu, tetapi memang Roni dan Jaka adalah dua orang yang berbeda.
Roni sedari kecil lebih senang untuk bermain dengan Ayah. Meskipun di hari Minggu biasanya Ayah masih bekerja di ladang, Roni akan tetap untuk ikut.
Di ladang, Roni bisa melakukan banyak hal sendirian, bermain di sungai kecil dan bahkan terkadang membantu Ayah untuk mengumpulkan hasil panen yang sudah diambil oleh Ayah.
Seolah tidak menjadi masalah ketika matahari begitu terik menyengat seluruh kulit yang tidak tertutup, Roni tidak pernah merengek dan mengajak Ayah pulang lebih awal.
Ketika baru masuk dan duduk di bangku sekolah dasar, antusias Roni semakin meningkat. Ia tidak pernah tidak ikut kemanapun Ayah pergi.
Ayah sendiri juga selalu membiarkan putranya itu, selama tidak mengganggu belajarnya dan tidak terlalu menyita waktunya.
Bagi Ayah, pengalaman adalah hal yang paling penting bagi seorang anak. Tak ayal, di usia sekarang ini apalagi semenjak kepergian Ayah, Roni lebih banyak berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan layaknya orang dewasa.
Namun berbeda dengan Ibu. Ibu lebih dekat dengan Jaka daripada dengan Roni. Menurutku, karena Jaka ketika kecil tidak terlalu senang untuk bepergian. Waktu Ibu lebih banyak dihabiskan bersama Jaka.
Bagi Ibu, Jaka adalah putranya yang memiliki kepekaan rasa yang sangat tinggi. Jaka lebih mudah terbawa emosi, entah itu terkagum, bahagia, amarah, ataupun kesedihan. Mirip sekali dengan Ibu.
Sedangkan, aku bersyukur bisa memiliki dua adik yang bisa sangat mengerti aku. Mereka berdua adalah tempatku untuk bercerita, mereka berdualah yang selama ini selalu bisa membuatku tertawa di tengah kesedihanku.
“Roni, aku berterima kasih dan bangga memiliki adik sepertimu. Aku akan tetap menyayangimu sampai kapanpun.” batinku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments