Chapter 008

“Assalamu’alaikum, Putri.” teriak Dena dari depan rumah.

“Wa’alaikumsalam. Roni tolong bukain pintu ya, Mbak mau ganti baju dulu.”

“Iya mbak.”

Roni pun segera membuka pintu depan dan mempersilahkan Dena untuk masuk ke ruang tamu.

“Ya Allah, Roni sudah segede ini ya. Jaka mana?” tanya Dena.

“Sebentar ya, mbak. Jaka tadi masih keluar. Mbak Putri juga masih ganti baju.” jawab Roni dengan santai.

“Ayah, Ibu kemana?”

Mendengar pertanyaan itu, aku tahu adikku tidak akan bisa menjawabnya. Aku pun segera bergegas keluar dari kamar dan mencoba untuk mencairkan ulang suasana di antara Dena dan Roni.

“Dena, nggak tersesat kan tadi?” tanyaku sambil memeluknya.

“Alhamdulillah aku masih inget banget sama jalannya. Meskipun sudah ada beberapa jalan yang berubah.” jawabnya melegakanku.

“Roni, bisa bantu bikin teh hitam buat mbak Dena?” tanyaku pada Roni.

“Bisa kok mbak.”

“Jangan lupa, gulanya sedikit ya.” ujarku.

Aku menyuruh adikku untuk membuat teh, karena jika aku yang pergi ke dapur bisa saja Dena menanyakan hal yang sama pada adikku lagi.

Kami berbincang banyak dan bernostalgia semasa kami duduk di bangku SMA. Jika kuingat lagi, ternyata Dena lah yang lebih dulu untuk mengajakku berkenalan.

Ketika itu, aku yang sedang memakan sarapanku di kelas karena sudah siap membawa bekal dari rumah. Sedangkan yang lain lebih memilih untuk membeli makanan di kantin.

Dena menghampiriku juga dengan bekal miliknya. Kebetulan kala itu kami berdua menggunakan pembungkus nasi yang sama, yaitu berupa daun pisang dan kertas minyak.

Kesamaan pertama yang membuat kami berdua bersahabat dan menjadi teman dekat hingga saat ini.

Dena berasal dari keluarga yang mampu, ia juga memiliki nilai akademik yang sangat bagus. Terbukti, ia masuk di SMA itu hanya dengan bermodalkan nilai rapor tanpa mengikuti tes lanjutan.

Keluarganya juga merupakan keluarga yang baik dan menjunjung tinggi nilai agama. Ayahnya seorang ustadz kondang yang sudah berceramah di berbagai kota.

Sedangkan ibunya, pekerjaan utamanya sebagai guru di salah satu SMA swasta dan juga sekaligus menjadi pimpinan organisasi agama di desanya.

Di sela-sela perbincangan hangatku dengan Dena, Jaka dan Roni datang bersamaan.

Roni membawakan teh hitam dan Jaka membawa roti yang sudah aku suruh untuk membelinya.

“Jaka, Ya Allah. Wajahnya masih mirip kayak dulu ya.” ujar Dena.

Jaka hanya tersenyum dan mereka berdua pun kembali ke dalam kamar mereka.

Kukira cerita nostalgia yang aku mulai akan mengalihkan perhatiannya, namun ternyata tidak.

“Ayah sama Ibu mana, Put?” pertanyaannya sudah terulang sebanyak tiga kali terhitung sejak pertemuanku dengannya di pasar sore tadi.

Akhirnya aku pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah dan Ibuku.

Tiga tahun yang lalu, adalah tahun 2000. Sekaligus menjadi tahun yang paling aku benci saat ini dan selamanya.

Kehidupanku berubah drastis di tahun itu. Bulan Maret menjadi bulan yang paling kelam bagiku dan kedua adikku.

Jalan raya penghubung antara Kota Malang dan Kabupaten Malang menjadi saksi bisu musibah yang menimpa kedua orang tuaku.

Mobil van berwarna silver dengan penumpang lima orang seluruhnya meninggal dunia dalam satu waktu.

Kejadian itu bermula ketika Pak Broto, sang sopir memaksa untuk melanjutkan perjalanan dengan indikator bensin yang sudah menunjukkan warna merah.

Pak Broto mengatakan bahwa bensin mobil itu masih sangat cukup untuk melakukan perjalanan ke Masjid Raya Malang, dan akan mengisi bensin ketika pulang.

Keempat penumpang lain sudah merelakan bahwa lebih baik terlambat karena mengantri di SPBU daripada harus kehabisan bensin di tengah jalan.

Namun, Pak Broto yang memang dikenal memiliki watak yang keras tetap bersikukuh untuk melanjutkan perjalanannya.

Ia juga mengatakan, bahwa mobil van silver ini sudah menemaninya sejak muda, maka dari itu ia mengetahui kapan mobil ini harus mengisi bensin atau tidak.

Ayah, yang juga sering mampir di bengkel temannya sepulang kerja sedikit tahu tentang seluk-beluk dunia otomotif.

Ayah juga sudah memberikan saran yang terbaik pada Pak Broto namun diabaikan begitu saja.

Jalan raya yang lebar dengan kondisi aspal yang mulus tidak menjamin keselamatan para penggunanya.

Pak Broto yang sudah agak jengkel pada penumpang yang ada di dalamnya menginjak pedal gas itu dan mengebut di jalan raya.

Yang Pak Broto lupakan adalah, semakin tinggi putaran mesin atas maka akan semakin boros pula bensin yang digunakan.

Di tengah jalan, mobil tiba-tiba kehabisan bensin dan mengalami penurunan kecepatan secara drastis.

Tepat di belakang mobil yang ditumpangi oleh Ayah dan Ibu itu sudah ada sebuah bus yang juga memacu dengan kecepatan tinggi.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pak Broto, beliau mengerem atau mengegas pun tetap akan terjadi kecelakaan yang tidak bisa dielakkan.

Seketika saja bus yang menyadari ada mobil van silver tiba-tiba berjalan perlahan membanting setir untuk menghindari tabrakan serius.

Namun nahas memang sudah digariskan. Bus itu menabrak sisi belakang sebelah kiri yang membuat mobil van terpelanting ke tengah dan menabrak pembatas jalan.

Bus mengalami ringsek hanya di bagian sopir, sopir bus mengalami luka berat di bagian kakinya yang terjepit oleh dasbor.

Sedangkan mobil yang ditumpangi Ayah, Ibu, Pak Broto dan istrinya beserta satu anaknya ringsek menghantam pembatas jalan.

Berita itu kudapatkan ketika menjelang maghrib ada dua orang polisi laki-laki dan satu orang polisi perempuan yang menanyakan tentang hubunganku dengan korban yang tidak lain adalah Ayah dan Ibuku.

Tidak kuasa menahan berita yang membuatku terkejut, aku pingsan tepat di depan mereka para polisi.

Hal yang tidak pernah kusangkakan sama sekali harus terjadi pada bulan itu, Maret tahun 2000.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!