Banyak orang yang pernah mengatakan jika jumlah tetesan keringat yang dikeluarkan untuk bertahan hidup, akan dibalas berkah dan rezeki dengan jumlah yang sama.
Aku hanya bisa mempercayai sesuatu yang baik, dan tidak terlalu pusing untuk memikirkannya.
Permasalahan dapur kini sudah kuserahkan kepada kedua adikku, aku yakin bahwa mereka semua akan bisa melakukannya dengan baik pekerjaan semudah itu.
Kuputuskan untuk meninggalkan mereka, dan segera menuju ke kamarku. Kamar yang saat ini menjadi istanaku hanya berukuran seluas dua kali dua setengah meter sudah penuh diselimuti oleh debu.
Lemari pakaian peninggalan kakekku yang dibuat dengan hasil ukirannya sendiri pun kini sudah sedikit demi sedikit digerogoti rayap.
Aku menatap ke arah genteng-genteng juga ternyata sudah ada yang menjadikannya tempat tinggal. Tampak sarang laba-laba melintas horizontal dan vertikal secara acak.
Pakaianku juga kupikir masih layak untuk dikenakan meskipun jika dilihat, modelnya sudah ketinggalan zaman.
Aku mengambil baju berwarna krem dan kupasangkan dengan rok berwarna abu-abu, lalu menuju ke kamar mandi.
Seluruh badanku terguyur. Air yang berasal dari sumur tua itu terasa dingin. Membasahi seluruh tubuhku tanpa terkecuali.
Rasa dingin aku rasakan merambat perlahan dari tulang kakiku hingga tengkorak kepalaku.
Rangkaian tulang yang masih tergolong muda ternyata juga membutuhkan treatment semacam ini.
Memori saraf-saraf yang terasa tegang karena banyak aktivitas yang baru kulakukan juga dengan pelan mulai terasa rileks.
Perpaduan antara tulang, otot dan sarafku yang setiap hari kupaksakan untuk banting tulang agar bisa memenuhi semua kebutuhan hidupku dan kedua adik laki-lakiku kini sedang merasakan kenyamanan.
Setiap guyuran air yang ditumpahkan dari sebuah gayung yang terbuat dari kayu itu aku nikmati sebelum beranjak untuk bertarung dengan dunia luar.
Selesai sudah semua kenikmatan yang bisa kurasakan kali ini. Aku segera berganti pakaian dan keluar kamar mandi.
Terlihat tepat di sebelahku saat baru saja melangkahkan salah satu kakiku, ada ember besar berwarna hitam yang terisi dengan baju kotor milikku, dan tentu saja milik Roni dan Jaka.
Kulemparkan baju kotor yang dari kemarin kugunakan ke dalam ember itu, berpikiran semoga selalu diberi kekuatan untuk menjalani hari yang berbeda.
Aku terkejut, ketika sedang berjalan menuju kamar. Bagaimana tidak, tampak kondisi dapur rumah ini sudah begitu bersih dan rapi.
Perabotan yang tadi ia gunakan untuk memasak juga sekarang sudah menggantung di rak dengan bersih dan tertata.
Sisa minyak yang usai digunakan biasanya dibiarkan begitu saja tetap di atas penggorengan, kini sudah tidak ada.
Wajan penggorengan juga sudah tampak tengkurap tenang menghadap wastafel rumahku.
Di atas meja makan pun juga sudah ada rombongan nasi, potongan dada ayam, sambal bawang, tahu dan tempe yang ditata dengan begitu mewahnya menggunakan alat makan seadanya.
Dalam langkahku menuju kamar aku berucap dalam hati dan memuji Roni dan Jaka. “Terima kasih, hanya kalian berdua yang bisa memahami Mbak dan hanya kalian berdua yang bisa Mbak andalkan.”
“Roni.. Jaka.. kalian dimana?” aku berteriak memanggil mereka berdua khawatir mereka tertidur karena capek.
“Iya mbak, ada apa? sahut Roni sambil melangkah keluar kamar dengan membawa pakaian dan alat mandi miliknya.
“Semuanya sudah siap kenapa kok nggak langsung sarapan aja?” tanyaku.
“Aku mau mandi dulu, Mbak. Sarapan masih bisa ditunda kok, lagian juga sekarang masih belum terlalu lapar.” jawab Roni sambil menggaruk kepalanya.
Mendengar jawaban dari Roni, aku pun membiarkannya. Mungkin saja Roni juga merasakan apa yang aku rasakan.
Di dalam kamar, aku menyisir dan merapikan rambutku. Aku teringat ketika dulu masih ada Ibu, aku seringkali memintanya untuk merapikan rambutku.
Entah mengapa, meskipun aku saat itu sudah duduk di bangku SMP, tetapi rasanya aku masih ingin memanjakan diriku pada Ibu dalam beberapa hal.
Nasihat-nasihat yang Ibu dengan nada bicara yang menenangkan yang ibu berikan ketika menyisir rambutku dengan lembut, menambah rasa manjaku kala itu.
Kini, aku harus melakukan semuanya sendiri dan cukup berterima kasih dalam hati pada apa yang pernah Ibu lakukan selama ini.
Setelah kulihat rambutku sudah tersisir dengan rapi, waktunya aku untuk menyapu lantai kamar agar terlihat bersih.
Lantai yang awalnya berdebu, kini sudah terasa lebih bersih.
Aku kemudian keluar dan menuju ke dapur untuk menunggu kedua adikku selesai mandi.
Terlihat Jaka juga segera masuk ke kamar mandi setelah melihat Roni keluar dan menjemur handuk di samping rumah.
Kutatapi segala penjuru ruang makan rumah ini, aku berjalan menghampiri lemari kaca.
Di dalamnya terdapat termos tua milik ibu yang sudah tidak digunakan lagi karena gagangnya sudah patah.
Berdampingan dengan termos itu, ada satu set piring cantik yang hanya digunakan sekali ketika di hari pernikahan antara Ayah dan Ibu.
Kuambil satu set piring, dan mencucinya. Aku ingin sarapan pagi ini menggunakan piring itu, yang nantinya bisa menjadi bahan pembicaraanku dan kedua adikku.
Sekedar ingin membangunkan kembali memori dan kenangan tentang keluarga ini, agar selalu bersyukur dan mendoakan ayah dan ibu.
Tak lama, Roni dan Jaka pun datang ke ruang makan dengan menggunakan seragam sekolah mereka lengkap dengan tas dan sepatu.
“Loh, maaf ya sudah bikin Mbak nunggu lama.” ujar Jaka.
“Nggak kok, lagian tadi Mbak habis nyuci piringnya Ibu juga.”
Kini, semuanya sudah siap untuk sarapan, aku menyuruh salah satu adikku untuk memimpin doa.
“Siapa yang mau mimpin doa sekarang?” tanyaku pada mereka.
“Jaka saja, Mbak.”
“Roni saja.” sahut Jaka.
Mereka berdua saling melempar, daripada membuang waktu lebih banyak, akupun melerai dan memutuskan siapa yang akan memimpin doa kali ini.
“Roni, ayo. Biar nggak telat, ya?”
Roni mengangguk mendengar perintahku barusan, ia memimpin doa seperti biasanya.
Semua sajian yang masih dalam kondisi hangat, dan aku ingin lebih menghangatkan lagi suasana kali ini.
“Yang kalian pakai sekarang, itu piring milik Ibu.” ucapku.
“Aku nggak pernah lihat sih, Mbak.” ujar Jaka.
“Memang, Ibu nggak pernah mau untuk memakai piring ini lagi. Karena piring ini hanya digunakan ketika pernikahan Ayah dan Ibu.”
“Terus kenapa nggak pernah dipakai, Mbak?” tanya Roni.
Aku menjelaskan kepada Roni dan Jaka alasan ibu tidak pernah memakai kembali piring itu adalah untuk menjaga memori kesakralannya. Kesakralan yang tidak bisa diulang kembali.
Ibu, pernah suatu hari mengatakan kepadaku jika nanti ibu sudah tiada, semua yang awalnya Ibu tidak pernah pakai, boleh dipakai baik itu untukku maupun kedua adikku.
Roni mengangguk tanda ia paham apa yang baru saja kukatakan, begitupun dengan Jaka yang mengiyakan ketika mulutnya masih penuh dengan makanan.
Sarapan pagi telah mereka tuntaskan, dan berpamitan kepadaku. Roni, mengeluarkan sepeda ontel peninggalan Ayah yang biasanya ayah gunakan untuk berjalan-jalan keliling desa ketika sore.
Dulu, Ayah mengajakku berkeliling. Aku dibonceng di belakang dengan diikat terlebih dahulu menggunakan kain jarik pada tubuh Ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Indah Gunot
ceritanya terlalu mendetil kayak kehidupan kita sehari hari jadinya tapi bagus seh cuma agak bosan bacanya
2023-04-15
0