Chapter 010

“Alhamdulillah Ya Allah, semua rezekimu datang tanpa ada satupun yang mengetahuinya.” batinku dalam hati.

Aku berjalan menuju kamar kesayanganku dan merebahkan diri di atas kasur, salah satu benda yang paling kupercaya untuk melepaskan rasa lelahku.

Berdiam diri sejenak sambil mendengarkan suara hembusan angin yang cukup kencang malam ini membuatku semakin bersyukur pada apa yang aku miliki saat ini.

Kedua adikku yang begitu pengertian, dan selalu mencoba untuk bersikap dewasa setiap saat, jualanku yang hari ini habis terjual merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah.

Terlebih lagi, Allah mengirimkan sahabatku, Dena. Datang menemuiku dan berbagi keluh kesah yang aku rasakan cukup membuat diriku merasa lega.

Kuhembuskan nafas panjang bersamaan dengan angin sepoi yang menyentuh kulitku melalui celah-celah dinding.

Sesaat aku tersadar bahwa belum sempat untuk menghitung pendapatanku dari hasilku berdagang hari ini.

Dompet yang ada di atas meja rias sederhanaku itu tergeletak begitu saja. Aku keluarkan semua yang ada di dalamnya.

Maklum, dompetku hanya satu. Dompet itu hanya aku gunakan ketika belanja di pasar atau ketika sedang berdagang.

Sedangkan, uang untuk kebutuhan sehari-hari aku biasanya meletakkannya di dalam lemariku bersama dengan tumpukan pakaianku yang sudah rapi dan siap pakai.

Setiap lembar uang aku hitung secara perlahan dan teliti. Membutuhkan waktu cukup lama memang, karena di dalam kamarku masih menggunakan lampu bohlam kuning yang cahayanya pun tidak terlalu terang.

“450.000 rupiah, alhamdulillah.” aku memeluk uang itu dan bersyukur pada Allah.

Hari ini, aku mendapatkan omzet empat ratus lima puluh ribu rupiah. Setelah selesai menghitungnya, bolpoin dan buku catatanku yang ada di laci meja riasku itu pun aku ambil.

Semua rincian untuk diputar kembali untukku berdagang esok hari sudah aku tuliskan dengan rapi. 

Memang jika dibandingkan dengan ibu yang dulu sudah memiliki banyak sekali teman di pasar, keuntungan bersihku tidak seberapa.

Suatu ketika, Ibu pernah berdagang di pasar. Ibu berangkat hampir sama dengan aku berjualan sehari-hari. Namun bedanya, Ibu sering pulang saat tengah hari.

Sifat Ibu yang sangat ramah kepada semua orang membuat Ibu dikenal oleh orang seantero pasar. 

Disisi lain, memang Ibu sudah memiliki bakat untuk memasak sejak kecil. Banyak pelanggan Ibu yang memuji kelezatan makanannya.

Dalam satu hari saja, ibu pernah meraup keuntungan bersih hingga 200.000 lebih. Itu karena banyak sekali pelanggan yang dengan sengaja tidak mengambil kembalian ketika membeli makanan di lapak Ibu.

Sedangkan, semenjak kepergian Ibu cukup banyak orang yang memutuskan untuk berpindah ke warung lain. 

Aku tidak tahu apa alasan sebenarnya dibalik mereka bersikap seperti itu, namun Bu Suryo pernah mengatakan kepadaku jika memang hal seperti ini sangat wajar.

Banyak orang yang terlalu takut untuk mencoba masakan “koki” baru. Mereka terlalu takut akan rasa yang diluar ekspektasi mereka ketika mereka sudah membayar makanan yang mereka beli.

Bu Suryo juga pernah memberiku nasihat, jika sebagai berdagang tidak boleh untuk menggantungkan namanya pada pemilik sebelumnya.

Seperti aku, tidak boleh menggantungkan nama dan daganganku pada nama Ibuku. Karena saat ini, semuanya berada di bawah kendaliku.

Seketika aku teringat Ibu. Ibu cukup sering untuk memanggilku, Jaka dan Roni ketika malam hari.

Dengan pelukan hangat dan senyuman manisnya, Ibu memberi kami bertiga uang saku dari hasil dagangannya kala itu.

Saat ini, aku masih belum bisa untuk menyamai Ibu. Pembagian keuntungan untuk kebutuhan sehari-hari saja terkadang masih ada yang tidak bisa aku bagi secara adil. Bagaimana mungkin aku harus memikirkan hal yang lain lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!