Kayuhan dan semangatku ternyata tidak bisa menyusul bagaimana semangat muda kedua adikku untuk belajar di sekolah.
Sekitar lima puluh meter lagi aku sampai tepat di depan sekolah mereka dan masih belum melihat Roni dan Jaka berboncengan dengan sepeda ontel bapak.
Kuputuskan nantinya uang saku akan kutitipkan kepada satpam sekolah agar diberikan kepada Roni dan Jaka.
Lebih baik jika mereka berdua memang masih berada di sana sehingga aku bisa memberikan kepada mereka langsung secara langsung.
Kini aku tepat di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup. Aku melihat ada beberapa siswa yang baru saja datang dan memasuki kelas mereka, tapi aku tidak melihat Roni dan Jaka.
“Pak, saya titip uang saku untuk Roni dan Jaka bisa?” ucapku kepada satpam.
“Wali kelasnya siapa kalau boleh tahu?” tanya satpam balik.
“Bu Murti, pak.”
“Kalau begitu nanti akan saya sampaikan ke Bu Murti.”
Aku pun tersenyum dan berterima kasih kepada satpam itu, telah kutitipkan uang saku sepuluh ribu rupiah untuk mereka berdua.
Air mataku mengalir menetes di atas kulit pipiku ketika aku masih berada di depan sekolah itu.
Terkadang aku merasa sedih karena tidak bisa memberikan uang saku kedua adikku sebanyak teman-temannya yang lain.
Tidak bisa aku bayangkan bagaimana perasaan mereka melihat teman-temannya bisa dengan sesuka hati untuk membeli makanan yang mereka sukai di kantin.
Dulu saja, Ayah dan Ibu sesekali membelikan apa yang aku mau jika sudah selesai membantu ataupun mendapat nilai seratus di sekolah.
Kali ini aku, dalam hati aku meminta maaf kepada Jaka dan Roni karena tidak bisa melakukan seperti apa yang Ayah dan Ibu dulu lakukan kepadaku.
Aku pun menyudahi rasa sedih itu dan segera berbalik arah kembali menyusuri untuk menuju pasar.
Hiruk pikuk pasar kali ini lebih sepi daripada hari-hari biasanya. Entah mengapa, jika di pasar ini tiga hari pertama lebih sepi daripada empat hari terakhir dalam satu minggu.
Aku memarkirkan sepeda ontelku di dekat dengan tempat jualanku bersanding dengan motor-motor milik pedagang dan juragan besar.
Terlihat mungil dan lucu ketika ada satu sepeda ontel yang terselip di sana dengan setir yang menoleh ke kiri seakan merasakan malu pada yang lainnya.
Semua barang dagangan kuambil dan kutitipkan terlebih dahulu pada Bu Suryo, penjual gorengan yang tepat berada di sebelah tempatku berjualan.
Bu Suryo sendiri sudah berjualan disini sejak ia masih kecil ikut membantunya ibunya berjualan berbagai aneka kue dan jajanan tradisional.
Beliau beralih menjadi penjual gorengan karena tidak bisa memasak seenak ibunya dulu, dan gorengannya pun disukai oleh para pekerja yang ada di pasar ini.
“Buk, saya nitip dagangan dulu ya?” ucapku pada Bu Suryo.
“Iya, nduk.. Mau ke mushola dulu?” tanya Bu Suryo yang sudah mengetahui kebiasaanku.
Aku mengangguk dan tersenyum pada beliau. Mushola yang berada di sisi barat pasar ini cukup dekat jika ditempuh melalui tengah pasar.
Namun, konsekuensinya adalah harus lihai untuk melompat kesana kemari menghindari genangan air kotor yang entah nanti akan memercik pada bajuku atau tidak.
Mau tidak mau aku harus memaksa otot betisku untuk melompat dan segera menuju mushola.
Mushola kecil berwarna biru muda itu tampak sepi, hanya ada beberapa ibu-ibu dan satu orang laki-laki yang sedang berdzikir.
Aku segera menuju ke tempat wudhu, dan mengambil air wudhu yang sangat menyegarkan dan membuat pikiranku lebih jernih lagi.
Shalat dhuha kutunaikan dengan khusyuk, aku berdoa pada Allah untuk mengharap rezekiku di pagi ini.
“Ya Allah, segala puji semesta alam hanya untuk-Mu. Tanpa air, tidak akan ada samudra, tanpa kayu tidak akan ada pohon. Sama halnya denganku, tidak akan ada apa-apanya tanpa ridha-Mu. Ridhailah ibadahku untuk berdagang, dan ridhailah ibadah kedua adikku untuk belajar. Hanya Engkaulah tempatku memohon. Aamiin.”
Selesai aku memanjatkan doaku, aku pun segera kembali dan bersiap untuk berdagang. Senyuman kupasang tepat di wajahku, mengharap pembeli akan merasakan ketulusan dari lubuk hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments