Chapter 018

Semakin lama, semakin aku menyadari bahwa Jaka cukup kesepian karena sudah tidak ada lagi Roni yang biasanya selalu menemaninya ketika berangkat sekolah.

Tidak terdengar lagi suara canda dan tawa ketika mereka sedang membantuku untuk menyiapkan sarapan dan daganganku.

Aku juga tidak bisa melakukan banyak hal kali ini. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh dua orang, harus diemban seluruhnya oleh Jaka.

Mau bagaimana lagi, aku juga harus melakukan kewajibanku sehari-hari. Dalam benakku, semua akan lebih mudah jika kita bisa ikhlas menerima keadaan dan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

“Mbak, mau pamit berangkat dulu.” ucap Jaka sambil mencium tanganku.

“Iya, hati-hati ya. Di sekolah belajar yang fokus, buat Mbak bangga.” balasku.

Jaka mengangguk.

“Assalamu’alaikum.” ujarnya.

“Waalaikumsalam.”

Seorang laki-laki di usia Jaka, pasti merasakan tekanan yang begitu berat ditinggalkan oleh ketiga orang anggota keluarga terdekatnya.

Belum lagi aktivitas yang biasanya dilakukan oleh Jaka dan Roni bersama-sama kini harus ia lakoni sendiri.

Serpihan kenangan-kenangan dengan saudaranya pasti masih akan sangat membekas dan sangat susah untuk dilupakan.

Namun, aku tetap berharap dan berdoa kepada Allah semoga Jaka, adikku, diberikan ketabahan dan kelancaran dalam menjalani semua aktivitasnya.

Hari ini, bertepatan dengan hari Sabtu. Aktivitas pembelajaran di sekolah Jaka tidak sepadat hari-hari sebelumnya. Akan ada kegiatan ekstrakurikuler yang dimulai pukul 11.00 dan berakhir pukul 13.00

Di sekolah, Jaka mengikuti ekstrakurikuler lukis. Ia tahu bahwa ia memiliki tangan yang luwes dalam menggambar dan ia ingin meningkatkan kemampuannya dalam menggambar.

Sepulang sekolah hari Sabtu, Jaka biasanya akan mampir terlebih dahulu untuk membeli jajanan ringan di pasar dan akan ia makan ketika bermain di hari minggu pagi bersama teman-temannya.

Jaka adalah anak yang sangat suka sekali untuk berbagi. Meskipun ia tahu bahwa apa yang bisa ia bagi tidaklah banyak, namun keinginan kuatnya untuk berbagi harus aku akui dan aku apresiasi.

Terkadang, jika akan memasuki minggu-minggu ujian akhir semester, Jaka akan mengumpulkan uang sakunya dan membeli snack untuk dibagi kepada teman-temannya.

Ia mengajak teman-temannya agar bersama-sama berdoa untuk kelancaran ujian akhir semester yang akan dilalui.

Aku pernah memergoki Jaka ketika sepulang sekolah membawa satu kresek besar berisi dengan snack dan minuman. Kala itu, awalnya Jaka masih tidak mau bercerita terkait apa yang akan dilakukannya dengan semua snack itu.

Namun, karena aku yakin bahwa Jaka adalah seorang anak yang baik dan tidak akan melakukan hal-hal yang buruk, aku membiarkannya begitu saja.

Hingga pada akhirnya, Jaka menceritakan sendiri kepadaku pada malam hari seusai ia membagikan snack dan minuman yang ia beli.

Bagiku hal yang sangat membanggakan bisa melihat seorang adikku yang sudah memiliki keinginan berbagi pada satu sama lain sejak usia ini. Aku pun terkadang merasa iri, karena sifat-sifat mereka.

Kali ini, Jaka tidak membeli snack seperti biasanya. Ia lebih memilih untuk pergi ke toko yang menjual sembako dan membeli bahan-bahan pokok.

Mungkin karena seringnya ia membantu pekerjaan di dapur, ia hampir hafal semua nama bahan yang aku butuhkan untuk memasak setiap harinya.

Dalam perjalanan pulangnya menuju rumah seusai berbelanja bahan-bahan itu, Jaka melihat ada sebuah pamflet yang menempel di tiang listrik. Ia membaca pamflet itu dengan seksama.

— LOMBA DESAIN BANGUNAN —

Jaka melihat, bahwa tidak ada ketentuan siapa yang boleh mengikuti lomba itu. Yang menjadi fokus dalam peraturannya adalah orisinalitas karya. Itu berarti, bahkan untuk anak seusia Jaka bisa saja ikut andil berpartisipasi.

Lalu, ia memutuskan untuk mengambil pamflet itu dan membawanya pulang. Sepanjang jalan, Jaka bertanya-tanya apakah ia harus meminta ijin kepadaku terlebih dahulu atau tidak.

Hingga pada akhirnya ia membulatkan tekad, bahwa ingin berpartisipasi dalam lomba itu tanpa sepengetahuanku.

Sesampainya di rumah, aku yang melihat Jaka membawa bahan-bahan pokok langsung membantunya untuk menurunkan itu semua dan meletakkannya di dapur.

Melihat wajahnya yang sedang serius, aku curiga dengan apa yang baru saja ia alami dan aku pun mencoba untuk bertanya.

“Jaka, ada apa?” tanyaku.

“Kenapa memangnya, Mbak?”

“Kok seperti sedang memikirkan sesuatu, wajahmu serius.” ujarku lagi.

Jaka hanya menggeleng dan tersenyum mendengar apa yang baru saja kukatakan.

Melihat responnya hanya seperti itu, dalam hati aku semakin penasaran sebenarnya ada rencana apa yang sedang dilakukan oleh Jaka.

Tapi aku juga tidak ingin mengambil pusing, yang kulakukan hanya berharap semoga semua yang dilakukan Jaka adalah hal-hal baik dan diberikan kelancaran oleh Allah.

Keesokan harinya, Jaka bangun lebih awal. Biasanya di hari minggu, setelah pagi hari membantuku di dapur maka dia akan kembali untuk berbaring di atas kasurnya.

Berbeda dengan kali ini, Jaka memutuskan untuk mandi dan berkemas.

“Mbak, Jaka habis ini mau pergi ya.” teriaknya dari dalam kamar mandi.

“Mau pergi kemana Jak?” tanyaku.

“Ngerjain tugas.” balasnya.

Alasan yang sebenarnya cukup masuk akal jika harus bersiap sepagi ini, mungkin karena tidak ingin pulang terlalu sore dan melewatkan hari Minggunya begitu saja.

Tetapi, yang membuatku bertanya-tanya adalah mengapa Jaka baru meminta ijin padaku di pagi ini.

Biasanya, Jaka dan Roni akan memberitahuku terlebih dahulu jauh-jauh hari jika akan pergi untuk mengerjakan tugas di hari Minggu.

Apakah Jaka lupa atau memang sengaja, aku juga tidak terlalu mengetahuinya.

“Ngerjain tugas dimana?”

Teriakan dan pertanyaanku kali ini tidak mendapatkan jawaban. Aku yang sedang menyiapkan sarapan dan daganganku juga tidak memiliki waktu banyak untuk memaksa adikku mengatakan kemana ia akan pergi.

Tetap seperti jadwal, aku melakukan aktivitas pagi hari dengan diiringi dinginnya angin yang berhembus pagi ini.

Mendengar suara pintu kamar mandi yang berdecit tanda ada seseorang baru saja keluar dari dalamnya. Seketika aku bertanya lagi pada Jaka.

“Mau ngerjain tugas dimana, Jaka?”

“Oh, di.. kota, Mbak.” sahut Jaka.

“Hati-hati ya.” ucapku.

Meskipun aku tidak tahu rumah siapa yang ada di kota. Karena seingatku, teman-teman terdekat Jaka di kelasnya kebanyakan memiliki rumah di desa seberang yang jika ditempuh dengan sepeda ontel hanya memakan waktu sekitar lima belas menit.

Entah bagaimana bisa, seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan cepatnya sudah keluar dari kamarnya dengan pakaian yang rapi.

Terlihat tas sekolah berwarna abu-abu itu menggantung di pundak Jaka, ia juga sudah memakai kaos kaki. Seolah semuanya sudah disiapkan dengan baik sejak kemarin.

Dan juga, yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah ada kerja kelompok yang dilakukan sepagi ini.

“Mbak, mau pamit.” ucapnya.

“Sepagi ini? Mau ngerjain apa sih?” aku mencoba bertanya agar rasa penasaranku terjawab.

“Tugas kok, ke kota jauh. Toh Jaka juga sudah bawa bekal buat sarapan.”

Aku langsung menoleh ke arah meja makan, benar saja tudung saji sudah terbuka dan ada sedikit bekas sambal yang terjatuh di meja akibat serokan sendok.

Pikirku, sejak kapan Jaka berjalan ke meja makan dan mengambil semua itu. Aku yang sedari tadi berada di dapur kenapa bisa tidak menyadarinya.

“Ya sudah, hati-hati ya. Jangan lupa berdoa dan berdzikir. Biar dilancarkan semuanya.” sahutku.

“Iya, Mbak. InsyaAllah.”

Jaka meraih dan mencium tanganku, dan langsung pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan rasa penasaran yang masih berkutat di dalam benakku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!