Chapter 014

Sayup-sayup suara seseorang sedang mengetes mikrofon, tanda tidak lama lagi akan ada adzan isya’ yang berkumandang.

Aku memanggil Jaka ke kamar, dan memintanya untuk menemani Roni sesaat karena aku ingin ikut berjamaah di masjid dan ada sesuatu yang harus aku lakukan.

Dugaanku benar, dalam perjalananku menuju mushola, adzan berkumandang dengan merdu. Suara sosok pemuda laki-laki pendatang yang baru menetap di kampung ini begitu nyaman didengarkan.

Sepanjang jalan, aku berdzikir dan berdoa mengharap kesembuhan adikku, Roni.

Sesampainya di masjid, aku segera mengambil air wudhu dan segera menuju ke barisan jamaah.

Sholat yang dipimpin oleh pak ustadz di kampungku selalu terasa begitu menenangkan.

Selain karena suaranya yang halus dengan cengkok bacaan yang pas, pak ustadz juga memimpin shalat dengan tempo yang pas, tidak terburu-buru dan tidak terlalu cepat.

Sehingga semua jamaahnya bisa dengan tenang meresapi setiap bacaan shalat yang dilantunkan masing-masing.

Ritual ibadah wajib bagi seorang muslim, yakni sholat sudah selesai ditunaikan. Pak ustadz memimpin dzikir seperti biasanya.

Di kampung ini, dzikir biasanya diucapkan dengan keras sehingga anak-anak yang masih kecil terbiasa untuk mendengar lafal dzikir dan menjadi contoh yang baik untuk mereka.

Aku pun sebagai makmum, juga merasa lebih nyaman jika ada yang memimpin dengan suara yang dikeraskan.

Entah mengapa, mungkin kecintaanku pada dzikir juga disebabkan oleh didikan Ayah dan Ibu.

Sewaktu aku masih kecil, bahkan belum genap berusia empat tahun, Ibu seringkali mengajakku untuk menghadiri majelis dzikir yang diadakan sebulan sekali di mushola kecil ini.

Ayah juga melakukan hal yang sama, ketika Ayah sedang sakit dan tidak bisa bergabung untuk mengikuti shalat berjamaah di mushola, maka Ayah akan mengajakku untuk shalat di rumah.

Suaranya merdu, teringat ketika aku tertegun dan menatap wajah Ayah ketika sedang berdzikir. Yang aku dapatkan ketika melihat dengan tatapan seperti itu adalah sebuah senyuman dan membantuku untuk mengeja lafal dzikir secara perlahan.

Memang suara Pak Ustadz memiliki karakter yang berbeda dengan suara Ayah. Jika suara Ayah cenderung lebih berat dan sedikit serak, maka lain halnya dengan Pak Ustadz.

Suaranya begitu halus dan ringan, seolah tidak mengalami kendala ketika beliau menghadapi perubahan suara ketika masa pubertas.

Aku mengikuti lafal dzikir yang diucapkan oleh Pak Ustadz, bersama-sama dengan jamaah yang lain.

Kebiasaan di kampung ini, khususnya mushola yang menjadi tempat singgah yang aku pilih ketika menunaikan shalat adalah bacaan dzikir ketika selesai shalat isya’ lebih panjang daripada shalat wajib yang lain.

Tidak terasa, dzikir begitu cepat selesai. Kulihat jam dinding yang menggantung di atas pintu mushola, hampir 12 menit berlalu dzikir yang baru saja dilantunkan.

Seusai dzikir, Pak Ustadz menyampaikan tausiah pendek hanya untuk sekedar mengingatkan dirinya sendiri dan para jamaah agar selalu ingat pada Allah dan tidak pernah melupakannya sedikit saja kapanpun dan dimanapun.

Tausiah ringan yang terkadang membuat seseorang seperti merasa bersyukur karena memiliki kedua orang tua yang melakukan hal yang sama.

Mendidik semua anaknya agar tetap taat pada Allah dan semua ketentuan-ketentuannya.

Tidak lama, tausiah pun berakhir dan akan dilanjutkan dengan doa. Sebelum itu, aku segera merangkak dari tempatku untuk menuju tempat imam. Kusingkapkan tirai yang menjadi pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan.

“Assalamu’alaikum Pak Ustadz.” ucapku dengan lirih.

“Wa’alaikumsalam.” jawabnya.

“Pak Ustadz, kalau boleh saya mau mohon ijin untuk nitip doa kesembuhan buat adik saya, Roni. Dia sedang sakit.”

Pak Ustadz mengangguk, dan aku pun segera kembali ke tempatku lagi. Langsung saja beliau memimpin doa seperti biasanya.

Setelah doa rutin dipanjatkan, Pak Ustadz berbicara kepada semua jamaah.

“Mohon maaf bapak dan ibu jamaah sekalian, baru saja ada permintaan dari salah satu tetangga kita Mbak Putri, untuk mendoakan adiknya Roni yang sedang sakit. Jika berkenan mohon sebentar saja untuk mengaminkan dan mengirimkan Al-Fatihah kepada adik Roni.” ucapnya.

Aku yang mendengar ucapan Pak Ustadz spontan langsung menundukkan kepala dan mengangkat kedua tanganku.

“Ya Allah, engkaulah Sang Khaliq pencipta seluruh alam. Tidak ada satupun yang engkau lewatkan yang terjadi di dunia ini. Hanya pada engkaulah tempat kami memohon kesembuhan. Sembuhkanlah salah satu hambamu, Roni dari sakit yang engkau berikan Ya Allah. Aamiin.”

“Khususon ilaa jasadi Roni, Al-Fatihah.” imbuh Pak Ustadz.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!