Tidak tersampaikan

Ponsel Tama mati, dia juga harus memimpin rapat mendadak jadi tidak memberitahu Elsa lebih dulu. Merasa sangat bersalah, Tama bergegas pulang begitu rapat selesai. Namun sayangnya, dia tidak mendapati Elsa di parkiran

Tama segera masuk ke dalam mobil dan mengisi daya baterai di sana dan segera mengaktifkan ponselnya. Elsa memberitahunya kalau dia pulang bersama dengan seorang teman lebih dulu. 

Sementara itu di sisi lain, Elsa sudah bersih bersih, sudah sholat maghrib pula. Sayangnya Elsa hanya menggoreng telur tadi, jadi dia masih lapar sekarang. Mau tidur tapi belum sholat isya, jadi menunggu saja di kamar sambil scroll ponsel untuk mencari makanan. 

"Assalamu'alaikum," Ucap seseorang yang baru saja masuk. 

Elsa menjawabnya dalam hati dan membalikan badannya. Memilih membaca pesan dari Ira yang mengatakan kalau puisi harus dibuat untuk berjaga jaga. "Haduh gimana sih. Gak becus amat," Ucap Elsa menahan rasa kesalnya. 

"Elsa, kok gak jawab salamnya?"

"Udah, tadi dalam hati."

"Maaf ya tadi ada rapat dadakan, mana hape mati jadi gak bisa hubungin kamu."

Elsa malas bicara dengan Tama, jadi dia diam saja. "Kamu mau makan diluar gak? Kita beli yuk. Sekalian kita beli kebutuhan dapur. Mau gak?"

"Males ah, capek." Masih scrol makanan yang akan dia pesan. 

"Terus Elsa maunya apa?"

"Mau sendirian. Gak mau diganggu."

Kali ini Tama membiarkan Elsa dulu. Dia memilih membujuknya dengan aksi. Tama memesan beberapa makanan dan mandi sambil menunggunya. Elsa juga memesan makanan untuk dirinya sendiri. Dia benar benar kesal dengan Tama, jadi malas untuk menawarinya. 

Saat makanan datang, Elsa kaget karena ada lebih dari satu ojeg yang mengantarkannya. 

"Yang ini atas nama Pak Tama, Bu. Udah dibayar kok."

"Oh oke. Makasih, Pak." Menyimpan milik Tama dan memilih memakan makanannya sendiri. 

***

Saat Tama turun dari lantai dua, dia melihat sang istri yang hendak makan. "Aku beli makanan banyak nih. Buat kamu juga. Masa kamu beli ayam geprek aja?"

"Makasih, tapi lagi pengen yang ini," Ucap Elsa fokus pada makanannya. Namun tidak bisa dia pungkiri kalau matanya melirik saat Tama mengeluarkan makanan makanan itu dari kantongnya. 

Melihat menu menu yang menggiurkan. Ada iga sapi, ada tumis sayuran yang wangi juga beberapa camilan yang manis. "Aku gak bisa masak, jadi keseringan beli jadi. Tapi kalau buat bikin telur mah masih bisa. Jadi, kapan kita mau belanja?"

"Online aja. Kan aku sibuk kuliah." Ketika Elsa sibuk mengunyah, tiba tiba dia merasakan sesuatu yang aneh dari dalam mulutnya. Elsa menariknya dan membulatkan mata. "Hoek!" Langsung memuntahkan lagi makanan di dalam mulutnya. "Ada rambut!"

"Nih minum dulu." Tama memberikannya pada Elsa. Perempuan itu langsung meminumnya. Padahal dia baru memakannya empat suapan saja. Mana masih lapar. 

"Nih makan ini. Ayok makan bareng."

"Makasih." Akhirnya Elsa mau memakannya. 

Tama tersenyum. "Maaf, lain kali gak akan ingkar janji."

"Gak papa. Lagian kalau nunggu di parkiran kentara banget. Maunya kalau nanti nunggu di dekat halte aja."

Tama menaikan alisnya. "Jadi, udah dimaafin kan?"

"Jangan gitu lagi. Nyebelin tau."

"Iya. Ini makan dessertnya ya. Kamu pasti suka kan."

Memang benar, kalau semua itu adalah favorite Elsa. Dia segera melahap nya sampai kenyang. 

Selesai makan, Elsa kembali ke kamar untuk mengerjakan tugasnya. Sementara Tama pamitan untuk bekerja di ruangannya yang lain. Pria itu mengerutkan keningnya. "Mata kamu udah merah. Tidur aja."

"Gak bisa. Ini masih ada tugas puisi. Buat jaga jaga besok."

"Mau aku buatin nggak?"

"Nggak makasih," Ucap Elsa yakin bisa sendiri. 

"Kalau butuh bantuan, bilang aja ya." Mengusak rambut sang istri sebelum keluar dari sama. Elsa mengembangkan pipinya, kenapa dia semakin sadar kalau Tama itu tampan dan perhatian padanya? "Ganteng banget meskipun kadang nyebelin." Elsa menatap langit langit, kenapa dia dijodohkan dengan Tama masih penuh pertanyaan. Namun dia belum punya waktu yang tepat untuk mengajak Tama bicara. 

Jadi sekarang, perlahan Elsa memejamlan matanya dan lupa kalau dirinya belum menyelesaikan puisi. Bahkan baru judulnya saja yang tertera di sana. 

***

Seperti biasa Elsa diantarkan oleh Tama setelah subuh. Ini hari terakhir mereka Bamba dan akan ada pesta penutupan nantinya. Bahkan Elsa membuat kado untuk salah satu senior yang dia pilih nantinya. 

Tentang puisi, katanya ini hanya untuk berjaga jaga saja. Karena pentas seni yang dilakukan adalah per kelompok. 

"Ini kapan kita mau pentas seni nya?" Tanya Elsa tidak sabaran. 

"Nanti deh abis dzuhuran. Soalnya mau ada Dekan juga." Ira menjawab. 

"Hah? Ngapain Dekan ke sini? Gak ada kerjaan banget nonton pentas seni."

"Ya gak papa. Kan biar dia dapet hiburan. Nanti juga wakil wakilnya bakalan ikut. Pasti nantinya ada wakil dekan yang cantik itu." Abdul menambahkan 

Sampai tiba saatnya pentas seni. Kelompok Elsa memutuskan untuk menyanyi saja karena mereka malas latihan. Sementara kelompok yang lain menampilkan berbagai macam kesenian. Dan memang benar, ada Tama dan antek anteknya di depan sana. Elsa yang duduk hanya bisa mendongkak jika ingin melihatnya. 

"Ganteng banget pak Dekan ya? Gue denger kalau banyak kating yang nyatain cinta sama dia," Ucap Ira ikut mengagumi. 

Namun fokus Elsa pada senior yang mengatakan, "Semuanya bikin puisi yang diminta kan?"

"Buat, Kak!" Teriak mereka serentak. 

Elsa langsung panik, tapi ponselbyya lebih dulu bergetar. 

Mas Tama : Jangan khawatir. Aku udah bikinin puisi buat kamu. Tinggal kamu cek aja di tas. 

"Kita puter bola ini dan nyanyi ya. Dimana bolanya stop saat nyanyi, dia yang harus maju ke depan." Sang senior mengatakan hal itu.

Lagu balonku ada lima yang diputar lima kali itu menjadi pengantar bola dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Elsa takut kalau bola itu berhenti padanya. Dan sepertinya Tuhan memang mengetahui ketakutan Elsa hingga bola memang berakhir di tangannya. 

"Nah, yang name tag nya Elsa ayok maju ke depan. Bacain puisinya."

Elsa malu bukan main. Dia juga trauma berada di depan sana karena pernah orasi. Tapi daripada mendapatkan hukuman dari Senior, akhirnya Elsa maju ke depan. 

Bahkan mic sudah siap membuat suaranya semakin kencang. Dengan suara bergetar, Elsa mulai membacakan puisi buatan Tama itu. 

Rindu, bagaimana kabarmu? 

Sudahkah engkau menepi dalam tujuanmu? 

Aku di sini sendiri, menatap langit dan berharap. 

Tuhan, aku ingin gerimis yang menghilang kegundahan ini. 

Tuhan, aku takut. 

Bagaimana jika rindu ini tidak tersampaikan? 

Tuhan, aku rindu. 

Sampaikan padanya, kalau hidupku masih dilanda badai kegelisahan. 

****

Terpopuler

Comments

gia nasgia

gia nasgia

wah curhatan nya pak Dekan ini🤣

2025-02-27

0

Lala_lela067

Lala_lela067

suara hati mas tama ini sih🤣🤣🤣

2024-03-30

0

Dewi Ariyanti

Dewi Ariyanti

puisi tentang isi hati tama tu😡😡😡malah elsa yang disuruh baca

2023-08-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!