#Zeela_pov
"Jadi... Kamu mau jadi ibu untuk Arzoo? Dalam artian, menikah dengan Devans?" Tanya tante Naina.
Meleset! Apa aku tidak salah dengar? Tante Naina minta aku nikah sama Devans? Astaga, apa ini mimpi? Ah tidak, tapi.... aku rasa aku salah dengar.
"A... apa, Tante?" pastiku, kalau aku salah dengar kan gak lucu.
"Kau mau menikah dengan Devans? Sebagai ibu Arzoo?" ulang Tante Naina, ternyata ini benar. Telingaku masih normal.
Pandanganku secara otomatis mengarah pada Mama yang diam saja, lalu ke Devans yang sama diamnya, Paman dan Bibi juga sama. Sedang Arzoo, tatapannya itu yang membuatku tak mampu berkutik. Kedua matanya menatapku penuh harapan, sudah pasti berharap aku akan menuruti permintaannya itu.
Tapi, apa mereka sudah membicarakan ini? Maksudku, ini bukan keputusan sebelah pihak, kan? Keputusan Arzoo dan tante Naina saja, misal?
"Kau bisa berfikir dulu, Nak, tapi lihatlah Arzoo, dia sangat menyayangimu, hanya mau denganmu. Rasa sayangnya bahkan melebihi pada Nandita." Ujar Tante Naina.
Ini aneh, sangat aneh. Kenapa Arzoo lebih sayang padaku? Oke, alasannya pasti karena Nandita yang sudah meninggalkannya pergi sejak kecil. Tapi.....
"Untuk Devans, Tante?" aku melirik sekilas ke arah Devans.
"Devans akan melakukan apapun yang Arzoo minta. Dan cinta, tante yakin seiring waktu kalian akan saling mencintai. Kau wanita yang baik, penyayang, sempurna untuk menjadi seorang ibu dan istri."
Jujur aku senang, tapi pujian tante Naina itu terlalu berlebihan menurutku. Aku tidak sesempurna itu.
Entah takdir macam apa ini, memisahkanku selama ini dari Devans, hingga pada akhirnya Devans menikah duluan bahkan sudah memiliki anak hasil pernikahan itu, dan yang membuat aneh, anak dari wanita itu justru yang akan menyatukan kami.
Ini seperti film yang kutonton sewaktu kecil, kebetulan tokoh itu favoritku juga. Yang mana anak tirinya adalah penyatu dia dan suaminya—dia adalah istri kedua dan menikah karena alasan seperti ini juga, lalu anak kandungnya yang malah jadi penghalang, dalam artian penyatu si suami itu dengan istri pertamanya. Ah, kenapa aku malah memikirkan film! Ini hidupku, ini nyata dan bukan film yang selalu tidak nyata.
Lalu Nandita? Apa dia akan setuju dengan hal ini? Tentu saja dia pasti ingin bersama-sama lagi dengan keluarga kecilnya. Apa mereka juga sudah membicarakan ini dengan Nandita? Dan apa Nandita setuju?
"Zeela, kau bisa memikirkan ini dulu. Semoga keputusanmu tidak salah," ucapan Tante Naina membuyarkan lamunanku yang sudah kemana-mana.
Aku tetap diam, kini kedua bola mataku mengarah pada Mama yang sejak tadi juga sama diamnya denganku. Tapi dari raut wajahnya, dapat kutangkap sebuah guratan senang. Pasti Mama senang, akhirnya putri kesayangannya ini akan menikah. Bukankah itu doa Mama sejak bertahun-tahun yang lalu?
Lalu Aryan, Aryan terlihat seperti menahan tawanya, kenapa lagi itu bocah? Menertawakanku? Bukankah seharusnya beterima kasih, karena jika aku setuju menikah dengan Devans, dia bisa mendapatkan bidadarinya—Nandita.
"Lakukan selagi itu yang terbaik, Zeela." Ucap Mama. Benar, kan kataku?
"Zeela, apa kau masih menunggu dia?" tanya Tante Naina.
Aku hampir tersedak, apa? Apa maksud Tante Naina? Tante Naina tahu aku menunggu seseorang? Tapi dia tidak tahu kalau itu Devans, kan?
"Dia siapa, Tante?" tanyaku balik.
"Tante tahu tentangmu, Nak. Maaf kalau kami terkesan memaksakan kehendak, kau bisa berikan jawabannya kapan-kapan, tidak harus sekarang." Tante Naina menoleh pada Arzoo yang seperti menghembuskan nafas kecewa.
Oh Arzoo, bagaimana caraku bisa menolak permintaanmu? Di satu sisi aku senang, takdir akhirnya berbaik hati padaku. Yang kuyakini dan kuimpikan sejak dulu sudah nyata di depan mata, tapi di sisi lain ada Nandita, bagaimana jika dia menentang? Aku tidak bisa merebut kebahagiaannya, menurutku, dia yang lebih berhak atas Devans dan Arzoo.
"Bunda Dokter mau, ya?" lagi, Arzoo menatapku dengan tatapannya itu.
"Bagaimana ya, Arzoo.." aku masih berfikir, lidahku terasa kelu untuk mengatakan iya atau tidak.
"Tinggal bilang iya apa susahnya sih, Nu." Celetuk Aryan. Manusia satu itu, ingin rasanya aku........ lupakan.
"Mau bicara dulu?" tanya Devans.
Oh Tuhan, aku malah semakin canggung kalau begini.
"Baiklah," mungkin ini solusi terbaiknya.
Kami—aku dan Devans berjalan ke teras atas. Dinginnya angin malam di sana mungkin membuat fikiranku bisa jernih untuk memutuskan. Masalahnya, ini bukan untuk satu dua hari, tapi seumur hidupku, selamanya.
"Aku tahu ini berat," Devans memulai obrolan.
"Maksudku, dalam pernikahan seharusnya ada cinta, bukan paksaan atau alasan lain, seperti kebahagiaan seorang anak. Apalagi ini kehidupan nyata, bukan film yang selalu happy ending." Lanjutnya.
Ya, itu untukmu saja. Kau yang tidak mencintaiku, lain dengan aku yang bisa mati untuk cintamu. Belasan tahun, ribuan hari, jutaan jam, menit dan detik kuhabiskan hanya untuk menunggumu. Menjaga hati dan cinta ini, yang khusus untukmu saja. Dan parahnya, kau tidak tahu. Sungguh miris dan menyakitkan.
"Apa kau..... punya pacar?" karena aku diam sedari tadi, maka Devans yang harus bicara duluan.
"Tidak juga." Jawabku.
"Ini bukan mauku, tapi permintaan Arzoo, dan kau tahu sendiri aku tidak bisa menolaknya."
Kalian tahu apa yang kurasakan? Sakit, secara tidak langsung dia menyayat hatiku, luka yang kemarin belum sembuh terbuka lagi. Ingin kuberteriak sekencangnya di hadapannya, AKU MENCINTAIMU, DEVANS! AKU MENCINTAIMU! Tapi, sekali lagi kata itu hanya mampu tercekat di kerongkongan, tidak sampai bisa lolos dan terdengar. Lidah dan hati ini tidak bisa diajak kompromi.
Inilah sakitnya mencintai dalam diam, apalagi hanya sebelah pihak. Dia tidak pernah tahu seberapa besar cinta ini, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya menunggu, menunggu sesuatu tak pasti yang lebih ke mustahil, Devans tidak tahu itu!
"Kalau begitu ini adalah kompromi, pernikahan seharusnya di dasari cinta dan bukan kompromi." Kataku.
"Ya, mungkin seperti itu. Tapi.... aku akan berusaha mencintaimu nanti,"
Aku tertawa, berusaha? Jaman sekarang usaha lebih sering mengkhianati hasil. Bagaimana kalau tidak berhasil? Maka sudah bisa ditebak aku hanya jadi ISTRI UNTUK ANAKNYA, lebih seperti pengasuh, kan? Kalau begitu kenapa tidak mempekerjakan pengasuh saja? Itu lebih mudah dan dia tidak perlu susah-susah menikah, kan?
"Zeela, bagaimana?"
Aku menggeleng lemah, "tidak tahu, " jawabku.
Aku ingin sekali berkata 'Ya', tapi aku takut, bagaimana jika nantinya aku lebih sakit? Misal, Devans kembali pada Nandita, secara dia adalah cinta pertamanya. Dan aku, hanya seorang pecinta gila. Semua orang tahu cinta pertama adalah yang paling indah dan sulit untuk dilupakan. Karena ini juga terjadi padaku. Devans cinta pertamaku, dan ya, aku tidak pernah bisa melupakannya, walau sebenarnya bisa bertemu Devans seperti ini lagi mustahil bagiku.
"Kau bisa jawab besok, sekarang kita bisa keluar?"
Aku mengangguk, obrolan ini hanya semakin membuka luka saja. Dia terlalu blak-blakan, dan itu membuat hatiku semakin sakit. Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapi seharusnya dia bisa jaga perasaanku. Aku ini wanita normal, kenapa dia bisa berfikir aku mau menikah dengan duda beranak satu sepertinya? Apalagi dia terlalu bicara seenaknya, seharusnya dia hibur, berkata yang manis agar aku mau, kan? Bukannya bicara seenaknya. Di sini posisiku tidak mencintainya, dan untuk membuatku mau dia tentu harus membujukku, bukan mengatakan hal pahit ini.
"Bagaimana?" tanya orang-orang dibawah dengan kepo.
Devans menggeleng, "belum, " katanya.
Hembusan nafas kecewa terdengar. Tentu saja, aku bisa menebak, kami ini bukan remaja yang hendak dijodohkan—yang mana keputusannya sangat sulit diambil, kami ini orang dewasa yang sudah siap menikah, mengambil keputusan seperti ini harusnya mudah. Tapi tidak, sekali lagi ini tentang kehidupan selamanya, remaja atau dewasa, tetap saja sulit dan tidak bisa diambil begitu saja.
"Ini sudah malam, kami permisi." Pamit tante Naina.
Baiklah, aku akan terjaga semalaman untuk memikirkan baik buruknya keputusanku nanti. Semua harus betul-betul kupertimbangkan dengan baik, ini menyangkut kebahagiaanku, aku sudah bosan sedih terus.
Semua orang pulang, termasuk Aryan yang mengantar Tara. Tara tidak mau menginap walau ini hampir pagi, katanya tidak mau mengganggu aku berfikir semalaman.
Ya sudah, aku akan pergi ke kamar, mau berguling-guling di tempat tidur sambil mencari solusi.
"Zeela, " panggil Mama.
"Iya, Ma?" aku berbalik.
Mama menepuk sofa di sampingnya, memintaku duduk di sana.
"Ada apa, Ma?" tanyaku.
"Kenapa belum dapat keputusan? Bukankah ini yang kau nantikan selama ini? Mama baru tahu Devans sudah bercerai dengan istrinya, itu artinya kau bukan jadi perusak hubungannya." Ucap Mama.
"Zeela tahu, Ma. Tapi saat ini, coba mama fikir, Nandita sudah kembali, cintanya untuk Devans dan putrinya pasti masih ada. Zeela takut jika kehadiran Zeela di sana akan merusak segalanya. Zeela tidak mau, Ma." Jelasku, memang ini yang sedari tadi mengganjal di hatiku.
Yang kutakutkan, karena sakit hati Nandita akan melakukan apapun untuk merebut kembali Devans dariku, persis seperti di film-film. Oh ayolah, hidupku ini sudah terlalu banyak drama, bahkan menurutku lebih dramatis daripada film.
"Merebut apanya? Mereka itu sudah cerai, Devans bukan suami Nandita lagi. Setelah kau menikah dengannya nanti, kau akan lebih berhak atas Devans daripada Nandita." Hanua itu? Lalu Arzoo? Mama tidak fikirkan itu?
"Mama tidak tahu, ini sangat sulit, Ma. Arzoo seperti penyatu dan pemisah untuk Devans dan Nandita, jika misalnya Devans ingin kembali lagi pada Nandita, Zeela harus gimana? Sedangkan Arzoo itu anak-anak, hatinya bisa berubah kapan saja," aku harap mama mengerti kegelisahanku.
"Iya, Nak, mama mengerti. Tapi menerima Devans menurut Mama keputusan yang paling benar, agar penantianmu selama ini tidak sia-sia."
"Akan Zeela fikirkan, Ma." Aku beranjak ke kamar, saat ini tempat sepi lebih bisa menenangkanku.
Mama benar, tapi aku terlalu takut Devans akan pergi lagi, bukan Devansnya saja, tapi Arzoo, pernikahan ini atas permintaan Arzoo, dan jika anak itu berubah fikiran, apa yang jadi alasan bertahannya rumah tangga kami nanti?
-
-
-
Aku terus berfikir hingga berjam-jam lamanya, mata ini tidak setuju diajak tidur. Sampai adzan subuh sebentar lagi dikumandangkan, aku belum bisa mengambil keputusan.
Tapi sepertinya yang kufikirkan tidak akan terjadi, Arzoo sangat menyayangiku, tidak mungkin dia bisa menghapus itu dengan mudah, kan? Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan dan mengada-ngada.
Jadi, ini mungkin takdirku, takdir yang selalu kuminta sejak dulu. Hanya saja jalan menuju takdir ini sedikit lain, harus melalui Arzoo. Ya, mungkin inilah yang terbaik, wujud dari doaku, dan kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Aku harus menyetujui ini, ya, itu harus.
*****
Pukul 7.30 pagi, saatnya aku pergi ke rumah Arzoo, sekalian aku ingin memberi jawabanku untuk pertanyaan semalam. Aku sudah memberitahu mama, dan mama setuju dengan keputusanku. Hanya tinggal memberitahu Devans dan keluarganya, mereka juga pasti menanti-nanti jawaban ini.
"Assalamualikum," ucapku sembari menekan bel.
Tak lama pintu terbuka, menampilkan Arzoo yang langsung memelukku seperti biasa.
"Bunda Dokter, ayo masuk." Ucapnya.
Pagi ini Arzoo terlihat berbeda, jika biasanya ia baru bangun tidur dan kadang malah belum, kali ini sudah rapi dengan seragam lengkapnya.
"Zeela," Tante Naina datang bersama Devans di sampingnya, mereka berdua pun bergabung di ruang tamu bersamaku dan Arzoo.
Raut wajah tante Naina sepertinya sudah tidak sabar, lain dengan Devans yang biasa saja.
"Sudah ada keputusan, bagaimana?" tanya Tante Naina langsung. Dia benar-benar tidak sabar.
"Iya, Tante. Aku setuju, menjadi ibunya Arzoo dan istrinya Devans." Kataku.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Atoen Bumz Bums
nasibmu lah zeela...
u sendiri yg mempersulit
2022-02-27
1
Siska
next
2020-07-15
1