"Terima kasih, Bunda Dokter." Arzoo memelukku dengan raut wajah sangat bahagia. Melihat itu, aku turut senang.
Tante Naina dan bibi Maria juga sama bahagianya, lain dengan Devans yang bersikap biasa saja.
"Terima kasih, Zeela. Kau sangat baik," ucap Devans dengan sebaris senyum tipis.
"Sama-sama." kataku.
Memberikan kebahagiaan untuk orang lain adalah kebahagiaan tersendiri bagi kita. Rasanya, hati menjadi lega melihat seseorang tersenyum karena kita. Artinya apa yang dilakukan tidak sia-sia, ya, karena membuahkan hasil.
Puas berpelukan dengan Arzoo, aku mengecek kondisinya, kemudian berangkat ke sekolah bersama-sama dengan diantar Devans. Jadinya mobilku menganggur disini, karena Arzoo memaksa kami bertiga harus satu mobil.
"Arzoo, belajar yang benar ya, jangan jadi anak nakal." ujar Devans.
"Oke, Papa!" dia kini mengerling ke arahku.
"Anak pintar, semoga sukses." ucapku.
"Terima kasih, Mama Baru,"
Arzoo mencium pipiku dan Devans bergantian, kemudian berlari dan masuk ke kelasnya.
Rasanya aneh, anak kecil yang semulanya bukan siapa-siapaku akan menjadi putriku, aku yang belum menikah sekalinya menikah sudah punya anak sebesar itu. Lucu dan aneh memang, tapi aku senang.
Selanjutnya kami akan ke rumah sakit tempatku bekerja, dan Devans tentu saja ke kantor. Ulang tahun tidak membuatku libur. Aku terlalu sering mengambil cuti akhir-akhir ini.
#author_pov
Devans dan Zeela sampai di rumah sakit, Zeela turun, berpamitan dan masuk. Ini kali pertama ada pria lain yang mengantarnya ke rumah sakit. Biasanya kalaupun ada itu pasti Aryan.
Begitu masuk, Tara sudah menunggunya bersama Rayyan dengan wajah sumringah. Sepertinya Tara sudah menceritakan semua pada Rayyan. Ketiga orang itu memang dekat sebagai sahabat.
"Yang mau nikah cieee.. Berakhir sudah masa jomblonya." goda Tara.
"Pagi-pagi wajahnya cerah secerah matahari, karena apa, dianterin calon suami dong," tambah Rayyan.
"Apaan sih kalian," Zeela memasang wajah kesal.
"Iya iya, percaya deh yang mau nikah. Tinggal kita yang masih jomblo, Ray." kata Tara.
"Kalau ga kebagian jodoh bolehlah kita berdua nikah," celetuk Rayyan.
Tara melotot mendengarnya, sedang Zeela menahan tawanya.
"Sip. Cocok kalian, sama-sama dokter, kerja di tempat sama pula, ntar kalau berantem tinggal suntik-suntikan. Oh ya, bulan madunya di rumah sakit aja," Zeela tertawa terpingkal-pingkal pada akhirnya.
Rayyan dan Tara menatap Zeela datar, setelah puas bercanda dan tertawa ria, mereka pun masuk dan mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
-
-
-
Nandita berdiri di depan gerbang sekolah Arzoo, hari ini dia sendiri yang akan menjemput putrinya itu. Nandita yakin, Arzoo tidak akan menolak. Setelah Arzoo ikut dengannya, ia akan mengajak Arzoo ke suatu tempat.
"Lama sekali, baru juga kelas satu," gumamnya, ia tidak terbiasa berdiri menunggu di depan gerbang seperti ini, malah baru yang kedua kalinya Nandita datang ke sekolah Arzoo.
Barulah setelah pukul 10.30, siswa-siswa sekelas Arzoo bubar, berlari dengan senang pada orang tuanya masing-masing yang datang menjemput.
"Arzoo," panggil Nandita sambil menghampiri Arzoo.
"Mama Nandita, ada apa mama kesini?" tanya Arzoo yang lebih seperti terkejut.
"Hei, mama mau jemput Arzoo lah. Kan kemarin Arzoo nggak mau pulang bareng mama. Sekarang, Arzoo mau, ya?"
Arzoo diam, kedua bola matanya melirik sekitar mencari seseorang.
"Cari siapa? Papa nggak jemput, hari ini Arzoo sama mama, ya? Mama kangen loh sama Arzoo, masa Arzoo nggak kangen sama Mama?"
Arzoo tetap diam, anak itu terlihat kesal saat melihat Nandita.
"Kan Mama sendiri yang pergi ninggalin Arzoo sama Papa, kalau aja Mama nggak pergi, Mama bisa ketemu Arzoo tiap hari." ucap Arzoo.
"Itu adalah kesalahan terbesar yang Mama lakukan, sayang. Sekarang mama ingin memperbaikinya, Arzoo mau 'kan Mama jadi mamanya Arzoo lagi?"
Arzoo menggeleng, "enggak, kan Arzoo udah bilang Arzoo maunya Bunda Dokter yang jadi mamanya Arzoo, bukan mama Nandita." Kata Arzoo polos.
Nandita menarik nafas dalam dan menghembuskannya kecewa, anaknya ini masih kecil sudah bisa memilih, anak mana yang lebih suka ibu tiri daripada ibu kandung? Rasanya cuma Arzoo yang begitu. Ah tidak, bahkan Zeela belum jadi ibunya.
"Yaudah terserah, tapi Arzoo harus ikut mama pokoknya. Mama mau tunjukin sesuatu," Nandita tersenyum dan menuntun Arzoo memasuki mobilnya.
"Ma, papa tau mama yang jemput Arzoo?"
Nandita mengangguk singkat sebagai jawabannya, ia sedikit kesal dengan ucapan Arzoo tadi.
Tiba di rumah, Nandita membawa Arzoo masuk dan mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumahan yang baru pagi tadi Nandita beli, setelahnya mengajak Arzoo ke meja makan.
"Tadi mama bikin kue coklat, loh. Arzoo cobain ya, gimana rasanya. Nanti kalau enak mama buatin lagi deh buat Arzoo," ucap Nandita sambil memotong kue yang dimaksudnya dan memberikan pada Arzoo.
"Wah, kue coklat. Makasih ya, ma. Arzoo suka banget sama kue coklat." Arzoo menerima piring berisi potongan kue itu dan melahapnya dengan semangat.
Nandita tersenyum, akhirnya Arzoo bisa menyukainya walau baru sedikit. Tapi itu sudah awal yang baik bagi Nandita, seiring berjalannya waktu, Arzoo akan menyayanginya seperti Arzoo sayang pada Zeela, bahkan lebih.
"Gimana, enak nggak?"
"Enak banget, ma. Besok bikinin lagi ya, ma. Kuenya enak banget, kalah buatan nenek Maria."
"Iya, besok mama bikinin lagi deh. 2, Arzoo mau?"
"Mau mau mau. Makasih ya, ma. Akhirnya Arzoo bisa makan kue coklat tiap hari, biasanya papa selalu ngelarang. Boleh sih makan, tapi seminggu sekali. Itupun dikit banget," cerita Arzoo.
"Mulai sekarang, Arzoo bebas mau makan kue coklat sebanyak apapun. Mama bikin sendiri dan itu pastinya sehat. Yaudah, Arzoo mau ikut mama sekarang?"
"Kemana?" tanya Arzoo.
"Kita jalan-jalan ke mall, mau? Arzoo bisa beli apa aja yang Arzoo mau."
"Beneran, ma? Arzoo mau. Udah lama Arzoo nggak jalan-jalan ke mall. Papa sibuk terus, jadinya ga sempet."
"Pastinya papa sibuk, papa kan orang kantoran. Kalau Arzoo sama mama, kita bisa ke mall tiap hari, makan kue coklat, beli boneka, mainan, semuanya bakalan mama turutin." Nandita berpromosi, saat Arzoo jadi baik begini, ini kesempatan emas, mana mungkin akan Nandita lewatkan.
"Tapi Arzoo nggak bisa jauh-jauh dari papa sama Bunda Dokter, " ucap Arzoo sedih.
"Gimana kalau mama Nandita, Bunda Dokter, papa, sama Arzoo tinggal bareng? Pasti seru, Arzoo punya 2 mama, dan 1 papa," seru Arzoo.
"Sayang, tidak semudah itu. Bunda Dokter kan bukan siapa-siapa kita, nggak bisa ikut tinggal sama kita. Kalau Arzoo, papa, sama mama masih bisa tinggal bersama, karena kita keluarga. Arzoo anaknya papa sama mama." jelas Nandita.
"Kata papa sama nenek, tinggal sama mama pun nggak bisa, mama harus nikah dulu sama papa, gitu katanya." ucap Arzoo polos.
"Enggak juga nggak pa-pa, kan papa sama mama udah nikah sebelum Arzoo lahir."
Arzoo mengernyit bingung, ia sangat tidak mengerti urusan orang dewasa. Yang Arzoo tahu menikah itu pesta besar-besaran, dengan undangan orang yang banyak.
"Bahas itu kapan-kapan lagi aja. Sekarang, kita ke.... "
"Mall!" sahut Arzoo antusias.
Nandita suka belanja, sedangkan Arzoo adalah putrinya, sudah pasti sifat Nandita menurun pada Arzoo—karena Arzoo juga suka belanja.
Sesuatu yang ingin Nandita sampaikan pada Arzoo ia tunda dulu sementara. Walau hari ini Arzoo sangat baik padanya, tapi belum waktunya. Mungkin besok atau lusanya.
***
#Devans_pov
Pukul 5 sore lebih, aku mengendarai mobilku untuk pulang. Tapi sebelumnya ke rumah sakit Zeela dulu. Masalahnya, Arzoo pasti akan bertanya macam-macam nanti.
Biasanya aku akan menyempatkan pulang siang untuk menjemput Arzoo jika itu permintaannya. Tapi untuk hari ini, Nandita yang mengambil tugas itu. Biarlah, biar Nandita merasakan jadi seorang ibu setelah hilang bertahun-tahun bak di telan bumi.
Kadang aku berfikir, apa Nandita habis terbentur? Atau kekasihnya yang waktu itu memberi obat penyembuh? Ah tidak tidak, mana mungkin ada obat seperti itu. Hanya fikiran ngawurku saja. Kalaupun ada, kenapa tidak dari dulu, paling tidak keluarga kecilku ini tidak akan terpecah belah.
Jadi ingat semalam, saat aku dan Zeela berdiskusi tentang pernikahan perjanjian yang akan kami lakukan. Pernikahan karena permintaan anak kecil, juga orang tua, kisah klise yang endingnya bisa di tebak. Tapi tidak, aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, apa aku bisa mencintai Zeela? Atau aku malah kembali pada Nandita? Devans bodoh, aku bahkan tidak bisa menebak perasaanku sendiri. Entahlah.
Jujur aku bingung kenapa Zeela mau menyetujui pernikahan ini. Dia jelas tahu aku duda beranak satu, kenapa masih mau menikah denganku?
Jika difikir-fikir, Zeela itu wanita sempurna. Dia dokter, pintar, cantik, tinggi, dan bisa setuju semudah ini untuk jadi istriku? Apa dia tidak punya pacar? Ku rasa pasti punya. Tetapi jika punya, kenapa lebih memilihku? Aneh.
Mama dan Arzoo juga sama saja. Mereka berunding tanpa memikirkan aku mau atau tidaknya, bertanya sekali lalu menanyakan pertanyaan itu pada Zeela. Aku tentu tidak bisa menolak, Arzoo sangat menyayangi Zeela, begitu juga dengan mama. Kalaupun mengharapkan Nandita lagi, rasanya tidak mungkin. Kekesalanku pada wanita itu terlalu banyak. Jika harus menikah lagi dengan Nandita, maka itu pasti karena permintaan Arzoo yang tidak bisa ku tolak.
Dan hingga detik ini, rasanya mustahil Arzoo memintaku menikah dengan Nandita. Sejak sebelum menikah dengan Nandita dulu, mama sedikit tidak suka dengan Nandita, katanya Nandita beginilah, begitulah, tapi seiring waktu mama menyukainya juga. Hanya saja, itu semua berakhir alias kebencian mama semakin besar ketika Nandita kabur bersama seorang pria dan meninggalkan Arzoo yang masih bayi sendirian di rumah.
Dan sampai sekarang, aku tidak tahu apa maksud Nandita kabur dulu. Dia tidak pernah menjelaskannya padaku, dan aku tentu tidak ingin bertanya. Bagaimana lagi, penjelasan macam apapun rasanya tidak bisa ku terima. Sakit dihatiku karena hal itu masih terasa hingga detik ini. Setiap melihat wajah Nandita, aku teringat akan hal itu.
Sudahlah, aku ingin melupakannya. Biarkan yang telah terjadi berlalu. Sekarang aku hanya harus fokus pada masa depanku, aku, Arzoo, dan Zeela.
Zeela wanita yang sangat baik, aku yakin dia akan menjadi ibu yang baik untuk Arzoo. Dimana bisa ku temukan wanita seperti Zeela lagi, rasanya tidak ada. Kalaupun ada, itu sangat sulit. Dia begitu menyayangi anak-anak, mau menjadi ibunya tanpa melihat status ayahnya—maksudku aku. Mungkin Zeela menerimaku karena aku adalah temannya dulu.
Aku tiba di rumah sakit, langsung saja ku parkir mobilku disana. Biasanya Zeela pulang larut malam, itu kata Arzoo, tapi aku tidak tahu. Semoga saja hari ini tidak pulang larut malam lagi, Arzoo masih bersama Nandita, dan sebelum Arzoo terkontaminasi oleh wanita itu, aku harus mengajaknya pulang.
Dari arah dalam, Zeela dan Tara berjalan keluar bersama seorang pria. Mereka tampak mengobrol dengan bahagia. Pertanyaannya, siapa pria itu? Apa dia kekasih Zeela, atau Tara? Kalau dilihat-lihat, Zeela cocok dengan pria itu.
Ck dasar Devans, dia itu calon istrimu, seharusnya kau cemburu melihatnya bersama pria lain. Tapi hei, bukankah aku menikah dengannya bukan karena cinta? Melainkan karena Arzoo, dan jika Zeela punya kekasih dan tidak mau putus ya sudahlah. Yang penting dia tetap merawat Arzoo dengan baik, dan menyayanginya lebih besar dari ibu kandungnya, siapa lagi kalau bukan Nandita.
"Devans, " Tara memanggilku sambil berlari kesini, diikuti Zeela dan pria itu.
"Ciee yang dijemput calon suami,," goda Tara.
"Apaan sih," Zeela malu-malu, wajahnya saja memerah. Yang benar saja.
"Iya iya, udah Ray, ayo pergi. Biarin si calon pengantin berduaan." Tara menarik tangan pria itu, berarti pria itu kekasih Tara, dan bukan Zeela?
"Ngapain kesini?" tanya Zeela.
"Yee pake acara nanya lagi, ya jelas jemput calon istrinya dong," sahut pria itu, siapa sebenarnya namanya?
"Gue Rayyan, salam kenal bro. Selamat juga untuk kalian," pria bernama Rayyan itu menyalami tanganku sambil mengucapkan selamat.
"Terima kasih." jawabku.
"Pergi dulu Zeela, Devans." Tara sambil menyeret Rayyan dan melambaikan tangannya.
"Daaaah.." Zeela membalas lambaian tangan sahabatnya itu lalu masuk ke mobil mendahuluiku. Oke, dia sudah mengerti tujuanku kemari.
Langsung saja ku lajukan mobilnya keluar dari halaman rumah sakit ini, hari semakin sore, sudah saatnya mengambil Arzoo dari Nandita.
"Zeela, kita ke rumah Nandita dulu ya," ucapku, siapa tahu Zeela ada acara lain di rumahnya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Arzoo ada disana, kita harus mengambilnya sebelum Nandita membawanya kabur. Tahu sendirilah Nandita suka sekali kabur-kaburan," aku terkekeh.
"Oh." Zeela hanya ber'oh'ria. Ok, terserah.
Pandangannya menatap ke luar, dia diam saja, tidak tahu apa yang ada di fikirannya. Aku ingin sekali menanyakan kenapa dia mau menyetujui pernikahan ini. Alasan apa yang akan dia katakan.
"Zeela," panggilku.
"Hmm?" Zeela menoleh menatapku yang fokus melihat ke depan.
Sesekali aku menoleh padanya yang masih setia menunggu apa yang akan kuucapkan.
"Kenapa kau setuju dengan pernikahan ini?"
Zeela tampak sedikit terkejut, langsung mengalihkan tatapannya dariku.
"Kau bilang tidak mau menikah, dan apa waktu itu, pangeranmu sudah bertemu tuan putrinya." karena diam saja aku memancingnya untuk buka suara.
"Kau ini bodoh atau bagaimana? Sudah pasti karena putrimu, ini kan permintaannya," sudah kuduga, tapi aku tidak puas dengan jawabannya ini.
"Bukannya kau tidak mencintaiku? Kau bilang pernikahan harus didasari oleh cinta, dan bukan perjanjian," aku tahu aku menyebalkan, coba kita lihat reaksinya.
"Kita sudah dewasa, Devans. Cinta cinta, apa itu cinta, aku tidak butuh semua itu. Kita jalani saja apa yang terjadi tanpa banyak protes, mungkin ini sudah takdir kita." dia tampak kesal.
"Oke," aku tidak mau mengusiknya lebih dalam lagi.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Atoen Bumz Bums
nandita mulai memprofokasi..
kayaknya bakal gatot zeela nikah sm devans
2022-02-27
1