03. Dia?

Seperti biasa, pukul 6.15 Zeela berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja. Dan ya, ia tidak lupa atas permintaan Arzoo kemarin. Tapi sebelum bertemu papa Arzoo, Zeela ingin menemui Arzoo dulu dan bertanya kenapa permintaannya harus bertemu papanya Dan bukan meminta hal lain.

Arzoo terlihat duduk santai menyandar di sandaran ranjang sambil bermain game. Entah game apa, tapi kelihatannya seru sekali.

"Arzoo, " panggil Zeela.

"Eh, Bunda Dokter. Sudah selesai operasinya?" tanyanya ramah, tidak seperti kemarin yang kesal.

"Tidak ada operasi hari ini." Jawab Zeela.

Zeela duduk di kursi samping ranjang Arzoo.

"Apa permintaanmu?" tanya Zeela seolah tidak tahu, atau mungkin anak itu akan mengganti permintaannya dengan hal lain.

"Bibi Maria tidak memberitahumu?" tanya balik Arzoo.

"Apa?" dan Zeela masih tetap dengan aktingnya—pura-pura tak tahu.

"Kau ini masih muda tapi pelupa, ya! Kau akan bertemu papaku hari ini. Papa akan kesini sekitar jam 9, tolong kosongkan jadwalmu. Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus bertemu Papa." Oceh Arzoo.

Zeela menghela nafas,

"baiklah," pasrahnya.

"Tapi izinkan aku memeriksa pasien-pasienku dulu, dengan begitu aku bisa bertemu papamu."

"Ya tentu saja, silahkan." Kata Arzoo sambil kembali fokus pada game-nya.

-

-

-

Zeela melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Pukul 8.55. Apa? Zeela melotot terkejut dan bergegas menyelesaikan kegiatannya menulis resep obat.

Zeela lalu berlari dengan cepat ke ruang rawat Arzoo, dia berencana menemui Arzoo dulu baru ke taman rumah sakit yang dikatakan anak itu.

Tapi tidak, jika dia menemui Arzoo dulu, maka pasti Arzoo akan mengomel kenapa belum pergi ke taman. Daripada nanti Arzoo minta sesuatu yang macam-macam, lebih baik dilewati saja dan langsung pergi ke taman.

Taman rumah sakit tidak terlalu ramai, hanya sedikit pengunjung yang ada. Itu lebih baik untuknya menemukan sosok papa Arzoo.

Zeela duduk di salah satu kursi, pandangannya mengedar kesana kemari mencari apakah papa Arzoo sudah tiba dan sedang mencarinya? Atau mungkin akan terlambat karena dia manusia sibuk.

Ting

Sebuah pesan masuk ke ponsel Zeela, Zeela langsung mengeceknya.

"Siapa ini?" gumam Zeela karena nomornya tidak dikenal.

[Bunda dokter, ini Arzoo. Kau carilah kursi di dekat pohon mangga ya, lalu duduk di sana. Sebentar lagi papa datang, oke!]

"Kursi saja sudah di siapkan," Zeela terkekeh, berdiri dan mencari pohon mangga yang Arzoo maksud.

Zeela kemudian berjalan mencari tempat itu sambil memainkan ponselnya, masa bodohlah menabrak orang, game-nya hampir menang.

Bruk

Benar, kan. Zeela merasa telah menabrak seseorang, bahkan sebuket bunga yang sepertinya dibawa pria itu jatuh bersama ponselnya.

"Maaf, aku sengaja." Zeela tersenyum tanpa dosa dan menunduk mengambil ponselnya.

"Ya, aku juga sengaja." Balas orang itu, seorang pria yang juga menunduk mengambil bunganya.

Zeela berhenti dari senyum tidak jelasnya, mendongak sedikit untuk melihat wajah pria yang ia tabrak.

Deg

Deg

Deg

Zeela seperti mengenal wajah itu, ya, wajah itu. Wajah yang saat ini tengah tersenyum di hadapannya, wajah yang juga selama 18 tahun ini ia nanti, yang selalu Zeela sebut dalam doanya dan selalu mengisi fikiran Zeela. Ya, dia....

"De-Devans? Devans Rahitya Anand?" ucap Zeela dengan tangan menunjuk wajah pria itu.

Pria itu mengernyit, seperti mengingat sesuatu.

"Zeela? Anushka Shahzeela?"

Zeela mengangguk dengan semangat, matanya hampir berkaca-kaca. Yang benar saja! Ini seperti mimpi!

"Kau... Astaga, Zeela? Aku rasanya tidak percaya bertemu denganmu." Ucap Devans dengan ekspresi tak percaya.

Zeela hanya mengangguk sambil menetralkan detak jantungnya yang mulai tidak karuan. Setelah 18 tahun menanti, akhirnya ia bertemu sungguhan dengan Devans. Percayalah, ini seperti mimpi!

"Hei, kenapa diam saja? Tidak senang bertemu denganku?" tanya Devans.

Zeela menyeka lelehan bening yang berhasil lolos dari pelupuk mata dan mengalir di pipinya. Ia mendongak dan menganggukkan kepalanya.

"Tentu senang," ucapnya, 'sangat senang, sangat sangat senang.' Lanjutnya dalam hati.

"Oke, kita mengobrol sebentar? Ini sudah sangat lama," ujar Devans, matanya menyapu sekeliling mencari kursi yang akan ia duduki.

"Disana?" tawarnya.

"Baiklah,"

Devans menggamit tangan Zeela dan mengajaknya ke tempat yang tadi ia tunjuk, sebuah kursi yang terletak di dekat pagar dengan pohon mangga di belakangnya.

Zeela tertegun dalam diam, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jantungnya memompa darah dengan sangat cepat ke seluruh tubuh dan kembali ke jantung, lain dari biasanya. Rasa berbeda, rasa yang baru pertama kali ia rasakan seumur hidupnya.

"Bagaimana kabarmu sekarang? Baik-baik saja? Oh ya, kerja dimana?" pertanyaan beruntun keluar dari mulut Devans.

"Aku... aku.. baik-baik saja seperti yang kau lihat. Dan pekerjaanku, disini," Zeela menunjukkan gedung rumah sakit di dekat mereka dengan gelengan kepalanya.

"Oh, jadi kau seorang dokter? Padahal dulu takut darah, dan sekarang jadi dokter," kata Devans setengah meledek. Zeela dulu memang sangat takut pada yang namanya darah, begitu melihat ada darah, dia akan lari tunggang langgang sejauh-jauhnya.

"Kan dulu, sama sekarang beda lah." Zeela pura-pura kesal dengan ledekan Devans.

"Canda, Zeela."

Selanjutnya hanya diam, Zeela tidak tahu memulai obrolan ini darimana. Kaku sekali rasanya setelah sekian lama tidak pernah bertemu.

"Oh ya, kenapa disini? Katanya dokter, kok jalan-jalan disini," Devans kembali bersuara.

"Kamu juga ngapain kesini? Pake bawa bunga lagi, mau ketemu siapa?" Zeela balik bertanya.

"Sebenernya.... ambil aja deh," Devans menyerahkan bunganya pada Zeela.

"Hah?" Zeela menatap Devans dengan bingung dan polos.

"Hah? Hah kenapa? Ambil," Devans menirukan perkataan Zeela.

Zeela pun menerima bunga itu—masih dengan wajah bingung.

"Udah deh, ga usah berekspresi kayak gitu. Lucu banget tau," Devans tertawa.

Melihat itu bibir Zeela ikut tertarik ke atas membentuk senyuman kecil yang manis.

Dari pengamatan Zeela, sepertinya Devans belum menikah. Dan bunga yang tadi diberikan padanya itu mungkin untuk orang sakit yang akan Devans jenguk.

"Oh iya, udah nikah belum? Kelihatannya..." Devans mengamati seluruh tubuh Zeela, dari ujung kaki sampai kepala, "kamu udah cocok jadi ibu-ibu," ucapnya setelah melakukan pengamatan singkatnya.

"Belumlah, nikah juga sama siapa, dia-nya aja baru ketemu." Zeela memelankan suara di akhir kalimatnya.

"Kamu sendiri?" lanjut Zeela.

Devans tersenyum getir, "sebenarnya tujuanku kemari ingin bertemu dengan dokter yang putriku maksud. Arzoo, putriku, dia sangat menyukai dokter itu. Tidak tahu kenapa, tapi Arzoo sangat menyukainya. Katanya dia istimewa sekali, panggilan kesayangannya bahkan bunda dokter," kata Devans diakhiri dengan kekehan ringan.

Degh

Setelah serasa diterbangkan tinggi-tinggi, Zeela seperti dijatuhkan dengan sangat keras ke tanah. Sakit. Jadi selama ini, gadis kecil yang selalu memanggilnya dengan sebutan bunda dokter adalah putri dari Devans? Dia.... itu artinya Devans sudah menikah? Dan dari pernikahan itu,, Arzoo adalah hasilnya?

Dada Zeela mendadak sesak, kenyataan ini begitu sakit untuk diterima. Seperti diberi harapan begitu besar dan harapan itu dicabut secara tiba-tiba. Seperti mimpi indah di depan mata yang mendadak berubah jadi mimpi buruk. Bahkan paling buruk.

"Hei, kenapa? Mikirin siapa sih? Aku tahu, rencananya mau ketemuan disini, tapi yang ditunggu gak dateng-dateng, iyakan??? Ayo ngaku..!?" goda Devans dengan senyuman jahilnya yang tidak berubah dari kecil.

"Arzoo Akriti Anand? Dia putrimu?" Zeela memilih tidak menghiraukan godaan Devans tadi, dan bertanya dengan seris tentang putri yang dimaksudnya.

"Kau tahu? Iya, dia putriku. Arzoo, pemberi kehidupan untukku sampai detik ini." Devans menatap lurus ke depan dengan sebaris senyum kecil.

'Dan kau, kau adalah pemberi kehidupan untukku sampai detik ini.' Ucap batin Zeela.

"Malah diem, kenapa, Anushka Shahzeela?" tanya Devans karena Zeela yang malah terus diam.

"Aku dokter itu," kata Zeela datar.

"Hm? Jadi,, kau dokter yang dimaksud Arzoo? Yang benar saja?!" lagi-lagi Devans berekspresi seperti tak percaya.

"Nggak percaya?" Zeela menatap Devans dengan tatapan dinginnya.

"Percaya. Jadi nggak salah dong aku kasih bunga itu, itu memang untuk dokter yang Arzoo maksud. Dan, mmm... aku seneng kalau dokternya adalah kamu, itu artinya bunda dokter Arzoo adalah orang yang tepat. Wanita yang benar-benar baik. Iya, kan?" ujar Devans dengan sebaris senyum manis dibibirnya.

"Iya," balas Zeela dingin.

Senyuman yang tadi datang seperti melenyap begitu saja, sangat sulit untuk tersenyum walau hanya setengah centi.

"Kamu sibuk gak? Kita makan diluar yuk," tawar Devans.

"Enggak juga. Kalau aku kembali secepat ini, putrimu itu pasti akan mengomel, " kata Zeela.

"Yaudah, ayo,"

Devans hendak menggamit tangan Zeela lagi, tapi kali ini Zeela menarik tangannya secepat mungkin. Dia tidak mau Devans menyentuh tangannya. Pria itu.... dia milik orang lain sekarang. Tidak tidak, tapi dari dulu.

Devans dan Zeela sampai di sebuah kafe, mereka langsung memesan sesuatu dan duduk sambil berbincang selagi menunggu pesanannya.

Sebenarnya hanya Devans yang bicara, Zeela hanya diam antara mendengar dan tidak. Dia masih terguncang dengan kenyataan yang barusan didengarnya, tapi dia tetap harus bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.

Sangat sulit bagi Zeela untuk bersikap biasa saja setelah mengetahui kebernaran ini. Tapi untuk menangis secara tiba-tiba, itu juga sama sekali bukan solusi yang tepat. Tidak mungkin dia menangis meraung-raung di hadapan Devans sehabis mendengar cerita dari pria itu. Malah yang ada, Devans menganggapnya tidak waras.

Ini sebenarnya bukan sepenuhnya salah Devans, karena Devans tidak tahu Zeela mencintainya dalam diam. Tapi tetap saja hati Zeela sakit. Penantiannya selama ini sia-sia belaka. Devans sudah jadi milik orang lain. Benar apa yang ibunya katakan, seharusnya ia berfikir realistis, menunggu yang tak pasti memang harus terima dengan apapun yang terjadi.

Jika saja baru pacaran, mungkin masih ada harapan, tapi ini, sudah menikah. Catat, MENIKAH! Apalagi sudah ada Arzoo diantara keduanya. Bisa dipastikan pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

"Nanti nikah jangan lupa undang aku, ya. Maaf dulu nggak ngundang kamu," kata Devans sambil memasukkan makanan dalam mulutnya.

"Aku ngga mau nikah," balas Zeela cepat dengan tatapan kosongnya.

"Kenapa?" Devans menatap Zeela—tidak mengerti maksud Zeela.

Zeela tersenyum getir, "karena pangeranku sudah bertemu tuan putri-nya." Ucap Zeela.

Devans mendadak berhenti makan, pria itu melongo mendengar ucapan Zeela.

"Maksudnya?"

"Lupakan."

***

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Atoen Bumz Bums

Atoen Bumz Bums

devan kayaknya duda

2022-02-27

1

afa

afa

sabar ya zeela

2020-12-17

1

(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕

(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕

Deg... seketika berasa langit runtuh🙂😶

2020-10-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!