INTEZAAR
Zeela tengah duduk ruang keluarga dengan disekelilingnya orang-orang menatapnya seperti seorang buronan, terkesan seperti sedang diadili oleh orang sekelilingnya tersebut.
Zeela hanya menunduk, tidak mau bersitatap dengan manusia-manusia yang tak lain adalah ibu, bibi, dan pamannya itu.
"Zeela," panggil Ibunya, Neha.
"Maaf, Ma. Zeela tidak bisa," ucap Zeela masih dengan keadaan menunduk.
Neha berdecak, "kenapa, Zeela? Kau itu sudah dewasa. Mau sampai kapan melajang terus? Sudah saatnya bagimu berumah tangga, apa tidak lelah menolak terus? Semua lamaran itu bagus, prianya baik-baik, kenapa satupun tidak ada yang kau terima?!" entah yang keberapa kalinya Neha mengatakan hal itu, berharap putri tunggalnya mau menerima salah satu diantara para pria yang melamar dan menikah, atau jika tidak maka siapa saja yang Zeela mau pasti akan ibunya restui.
"Ma, sudah ku bilang aku akan terus menunggunya sampai kapanpun, aku tidak akan menikah jika bukan bersamanya," kata Zeela dengan pandangan kosong—lurus ke depan dengan sedikit senyum terukir dibibirnya.
Neha tak habis fikir, kenapa putrinya itu begitu konyol? Menunggu yang tak pasti, yang ditunggunya saja tidak tahu dia sedang menunggunya, bahkan keberadaannya saja entah berada di belahan dunia mana.
"Zeela, Mama sarankan padamu berfikirlah realistis. Ini bukan film yang apapun bisa terjadi, dan khayalanmu bisa menjadi nyata. Ini kehidupan nyata, Zeela. Kau harus menyikapinya dengan nyata pula," tidak ada kata lain yang bisa Neha ucapkan selain itu. Selanjutnya wanita paruh baya itu keluar bersama adik dan adik iparnya—paman dan bibi Zeela.
Zeela tetap diam disana, dia tidak berminat keluar atau masuk ke kamarnya.
Sebenarnya ibunya tidak salah juga, mengingat usianya yang sudah cukup bahkan lebih dari cukup untuk menikah, 30 tahun. Ibu mana yang tidak bingung diusia itu putrinya sama sekali belum mau menikah? Sebenarnya itu biasa saja bagi Zeela, menurutnya semua orang bebas menikah di usia berapapun.
Tapi tetap saja, lingkungan sekitar membuat ibunya tidak bisa tinggal diam. Para tetangga akan terus mendapat bahan cerita selama ia masih belum setuju menikah. Hampir semua sepupunya yang seusia dengannya bahkan sudah banyak yang punya anak, dan dia, masih betah sekali melajang.
Zeela berdiri, beranjak ke kamarnya untuk tidur. Kepalanya pusing memikirkan pernikahan pernikahan terus setiap hari.
Tapi tidak, mata Zeela tidak bisa diajak tidur. Justru dia terus terbayang-bayang orang yang selama ini ditunggunya, ya, cintanya.
Sudah 18 tahun, dia tidak pernah bertemu dengannya lagi. Terakhir kali Zeela bertemu adalah saat perpisahan kelas 6 SD. Ya, sudah sangat lama.
Devans Rahitya Anand, Zeela menyebutnya sebagai cinta masa kecil. Zeela tidak tahu menahu soal cinta, tapi Devans, dia merasakan sesuatu yang berbeda pada temannya itu. Dan Zeela menamainya dengan cinta seiring waktu bertambahnya usianya, usia yang membuatnya mengerti apa itu cinta.
Sangat aneh memang, tidak pernah bertemu, tidak pernah melihat, apalagi mengobrol, tapi tetap ditunggu. Zeela bahkan tidak tahu Devans tinggal dimana, sudah menikah atau belum, bagaimana wajahnya sekarang ini, Zeela hanya yakin, pertama kali ia bertemu lagi dengan Devans, Zeela pasti mengenalinya.
Zeela senyum-senyum sendiri, kisah cinta yang aneh.
Terkadang Zeela berfikir, jika Devans sudah menikah, atau misal tidak mencintainya, akan sia-sia saja penantiannya selama ini. Tapi tidak, Zeela yakin itu tidak akan terjadi. Hati kecilnya mengatakan suatu hari nanti Devans akan datang untuknya. Atau mungkin itu hanya penuntutan balas Zeela terhadap takdir yang dengan mudah memisahkan dirinya dan Devans? Entahlah, tidak ada yang tahu.
Zeela beranjak dari acara berbaringnya ketika mendengar ponselnya berdering. Tertera disana nama Tara, sahabatnya.
"Iya, Tara, ada apa?"
"Zeela, cepat ke rumah sakit. Ada kasus darurat. Anak kecil dengan luka parah yang tidak mau di obati. Cepet kesini, ya. Mungkin anak itu bisa luluh denganmu."
Panggilan diputus sebelah pihak, padahal Zeela belum mengatakan iya atau tidak.
Inilah susahnya menjadi seorang dokter, hari libur saatnya beristirahat, terkadang ada saja pekerjaan yang mengharuskannya melupakan satu hari dirumah.
Zeela sebenarnya adalah dokter spesialis jantung, yang kadang merangkap dan bahkan lebih sering menjadi dokter anak. Zeela yang ramah dan keibuan membuat anak-anak mau dan betah dengannya. Banyak sekali kasus semacam ini, ada anak kecil sakit atau terluka, lalu menolak di obati dengan alasan dokter nanti akan menyuntiknya, dan itu sangat sakit. Lalu si dokter umum akan meminta Zeela—satu-satunya dokter di rumah itu yang bisa meluluhkan anak-anak.
Hanya butuh waktu 15 menit bagi Zeela untuk sampai di rumah sakit tempatnya bekerja, disana ramai orang di lobi rumah sakit. Sepertinya anak itu benar-benar keras kepala hingga orang sebanyak itu dibuat kewalahan, sampai-sampai dia belum dibawa masuk.
"Zeela, akhirnya datang juga." Tara langsung menghampirinya ketika melihat mobil milik Zeela memasuki halaman rumah sakit.
Disana, seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahunan sedang menangis histeris dan meronta-ronta dengan di belakangnya seorang wanita paruh baya yang memegangi, juga beberapa perawat pria yang masih berusaha seramah mungkin membujuknya.
Zeela mendekat, mengisyaratkan para perawat itu untuk sedikit menjauh.
"Hei, kenapa tidak mau masuk?" tanya Zeela dengan suara ramahnya.
"Dokter jahat! Semua dokter sama saja! Aku tidak mau masuk, ayo pulang, Nek.. Ayo kita pulang!!" histerisnya.
Wanita paruh baya yang mungkin adalah neneknya itu sampai kewalahan mengatasi anak itu. Entah terlalu kuat atau apa, darah segar mengalir di kening, kaki, hidung, dan juga lengan. Bahkan dari pengamatan Zeela nafas anak itu sampai terengah-engah.
Zeela membungkuk mensejajarkan tingginya dengan anak itu, menatap anak itu dengan mata teduhnya, dan tersenyum menenangkan.
"Kau bisa pulang setelah lukamu sembuh. Ayo masuk, aku yang akan merawatmu. Aku janji, tidak akan sakit, sungguh." Kata Zeela lembut.
"Bohong! Kau berbohong! Aku.... aku tidak mau masuk! Pergi dari sini! Pergi!" teriaknya dengan nafas semakin tersengal.
"Aku tidak bohong. Kau bilang yang jahat adalah dokter, kan? Dan aku, kau tahu sendiri aku baru datang, juga...tidak memakai pakaian seperti mereka, kan?" ucap Zeela sambil melirik pakaian yang dikenakannya, yang berupa baju santai biasa.
Anak itu mulai sedikit terdiam,
"kau bukan dokter?" tanyanya polos.
Zeela menggeleng, "yang pasti aku tidak jahat." Jawab Zeela.
"Kalau kau jahat bagaimana?" tanya anak itu lagi, sekarang sudah benar-benar terdiam dan tidak histeris seperti tadi.
"Kalau aku jahat, kau bisa memukulku, atau..... melakukan apa saja yang kau mau."
Kedua mata bulat anak itu menatap Zeela penuh selidik, seperti mencari kebenaran dari yang Zeela ucapkan padanya.
"Baiklah, ayo!" katanya sambil menarik tangan Zeela, tapi berhenti sedetik kemudian, kakinya seperti baru terasa sakit.
Dengan matanya Zeela meminta para perawat itu membawakan brankar untuk anak kecil itu.
Dengan tangannya sendiri Zeela mendorong brankar tempat anak kecil yang entah siapa namanya itu berbaring. Kedua mata anak itu bahkan tak henti-hentinya menatap Zeela—yang juga terus memasang senyuman ramah keibuan yang ia punya.
Zeela membawa anak itu masuk ke ruang UGD, menutup pintunya lalu mengenakan perlengkapan dokternya.
Anak itu terdiam dan terus mengawasi Zeela yang saat ini tengah berfokus pada darah yang mengalir di hidungnya.
Zeela tersenyum, "siapa namamu?" tanyanya.
"Arzoo," jawab si kecil yang ternyata bernama Arzoo itu—tanpa mengalihkan tatapannya pada Zeela.
"Nama yang manis, seperti orangnya." Ucap Zeela.
Arzoo tersenyum manis.
"Terima kasih," balasnya antusias, benar-benar seperti tidak merasakan sakit ditubuhnya karena luka-luka itu.
"Arzoo, kenapa bisa terluka begini? Arzoo nakal, ya?" kini Zeela yang menatap kedua mata Arzoo penuh pertanyaan.
"Tidak, Arzoo tidak nakal. Tadi, Arzoo bermain bola dengan nenek, dan saat nenek menerima telfon, bola itu keluar gerbang. Arzoo mengejarnya, dan tiba-tiba ada mobil, Arzoo terserempet, lalu terguling-guling di tanah." Cerita Arzoo, polos dan lucu seperti anak-anak lainnya.
"Ini tidak sakit?" tanya Zeela.
Arzoo menggeleng.
"Kau ternyata tidak jahat, ya. Tidak seperti dokter teman Papa itu, dia selalu memarahiku saat Papa tidak ada," benar yang Zeela duga, pasti Arzoo punya pengalaman tidak baik bersama seorang dokter. Itu sebabnya Arzoo menganggap semua dokter sama saja.
"Aku memang tidak jahat, dan aku tidak pernah berbohong." Ucap Zeela yang malah sukses membuat Arzoo tertawa.
Setelah beberapa menit, luka-luka di tubuh Arzoo selesai di obati. Dan selama pengobatan itu, Arzoo sama sekali tidak menangis atau berteriak seperti kebanyakan anak-anak yang terluka. Membuktikan Arzoo adalah anak yang kuat.
Saat ini Zeela tengah mengecek apakah ada luka dalam atau tidak, baru setelah itu Arzoo mungkin akan diperbolehkan pulang.
"Siapa namamu?" tanya Arzoo.
Entah suka atau apa, yang pasti kedua mata Arzoo tidak pernah terlepas dari Zeela. Kemanapun Zeela pergi, arah pandang Arzoo mengikutinya.
"Kenapa tanya namaku?" Zeela balik bertanya.
"Biar aku bisa memanggilmu," jawab Arzoo.
"Namaku, Anushka Shahzeela, " ujar Zeela—tersenyum menatap Arzoo.
-----
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Ina Julkha Saif Khan
kayanya authornya pencinta bollywood...arzoo kan judul film😄😄
2022-10-17
1
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, searchnya pakek tanda kurung biar gak melenceng yaa
2022-09-21
1
Alzanabuq
Aku sukanya Anushka Sharma
hehe..
Semangat author🤗🤗
2020-10-07
3