NovelToon NovelToon

INTEZAAR

01. Anushka Shahzeela

Zeela tengah duduk ruang keluarga dengan disekelilingnya orang-orang menatapnya seperti seorang buronan, terkesan seperti sedang diadili oleh orang sekelilingnya tersebut.

Zeela hanya menunduk, tidak mau bersitatap dengan manusia-manusia yang tak lain adalah ibu, bibi, dan pamannya itu.

"Zeela," panggil Ibunya, Neha.

"Maaf, Ma. Zeela tidak bisa," ucap Zeela masih dengan keadaan menunduk.

Neha berdecak, "kenapa, Zeela? Kau itu sudah dewasa. Mau sampai kapan melajang terus? Sudah saatnya bagimu berumah tangga, apa tidak lelah menolak terus? Semua lamaran itu bagus, prianya baik-baik, kenapa satupun tidak ada yang kau terima?!" entah yang keberapa kalinya Neha mengatakan hal itu, berharap putri tunggalnya mau menerima salah satu diantara para pria yang melamar dan menikah, atau jika tidak maka siapa saja yang Zeela mau pasti akan ibunya restui.

"Ma, sudah ku bilang aku akan terus menunggunya sampai kapanpun, aku tidak akan menikah jika bukan bersamanya," kata Zeela dengan pandangan kosong—lurus ke depan dengan sedikit senyum terukir dibibirnya.

Neha tak habis fikir, kenapa putrinya itu begitu konyol? Menunggu yang tak pasti, yang ditunggunya saja tidak tahu dia sedang menunggunya, bahkan keberadaannya saja entah berada di belahan dunia mana.

"Zeela, Mama sarankan padamu berfikirlah realistis. Ini bukan film yang apapun bisa terjadi, dan khayalanmu bisa menjadi nyata. Ini kehidupan nyata, Zeela. Kau harus menyikapinya dengan nyata pula," tidak ada kata lain yang bisa Neha ucapkan selain itu. Selanjutnya wanita paruh baya itu keluar bersama adik dan adik iparnya—paman dan bibi Zeela.

Zeela tetap diam disana, dia tidak berminat keluar atau masuk ke kamarnya.

Sebenarnya ibunya tidak salah juga, mengingat usianya yang sudah cukup bahkan lebih dari cukup untuk menikah, 30 tahun. Ibu mana yang tidak bingung diusia itu putrinya sama sekali belum mau menikah? Sebenarnya itu biasa saja bagi Zeela, menurutnya semua orang bebas menikah di usia berapapun.

Tapi tetap saja, lingkungan sekitar membuat ibunya tidak bisa tinggal diam. Para tetangga akan terus mendapat bahan cerita selama ia masih belum setuju menikah. Hampir semua sepupunya yang seusia dengannya bahkan sudah banyak yang punya anak, dan dia, masih betah sekali melajang.

Zeela berdiri, beranjak ke kamarnya untuk tidur. Kepalanya pusing memikirkan pernikahan pernikahan terus setiap hari.

Tapi tidak, mata Zeela tidak bisa diajak tidur. Justru dia terus terbayang-bayang orang yang selama ini ditunggunya, ya, cintanya.

Sudah 18 tahun, dia tidak pernah bertemu dengannya lagi. Terakhir kali Zeela bertemu adalah saat perpisahan kelas 6 SD. Ya, sudah sangat lama.

Devans Rahitya Anand, Zeela menyebutnya sebagai cinta masa kecil. Zeela tidak tahu menahu soal cinta, tapi Devans, dia merasakan sesuatu yang berbeda pada temannya itu. Dan Zeela menamainya dengan cinta seiring waktu bertambahnya usianya, usia yang membuatnya mengerti apa itu cinta.

Sangat aneh memang, tidak pernah bertemu, tidak pernah melihat, apalagi mengobrol, tapi tetap ditunggu. Zeela bahkan tidak tahu Devans tinggal dimana, sudah menikah atau belum, bagaimana wajahnya sekarang ini, Zeela hanya yakin, pertama kali ia bertemu lagi dengan Devans, Zeela pasti mengenalinya.

Zeela senyum-senyum sendiri, kisah cinta yang aneh.

Terkadang Zeela berfikir, jika Devans sudah menikah, atau misal tidak mencintainya, akan sia-sia saja penantiannya selama ini. Tapi tidak, Zeela yakin itu tidak akan terjadi. Hati kecilnya mengatakan suatu hari nanti Devans akan datang untuknya. Atau mungkin itu hanya penuntutan balas Zeela terhadap takdir yang dengan mudah memisahkan dirinya dan Devans? Entahlah, tidak ada yang tahu.

Zeela beranjak dari acara berbaringnya ketika mendengar ponselnya berdering. Tertera disana nama Tara, sahabatnya.

"Iya, Tara, ada apa?"

"Zeela, cepat ke rumah sakit. Ada kasus darurat. Anak kecil dengan luka parah yang tidak mau di obati. Cepet kesini, ya. Mungkin anak itu bisa luluh denganmu."

Panggilan diputus sebelah pihak, padahal Zeela belum mengatakan iya atau tidak.

Inilah susahnya menjadi seorang dokter, hari libur saatnya beristirahat, terkadang ada saja pekerjaan yang mengharuskannya melupakan satu hari dirumah.

Zeela sebenarnya adalah dokter spesialis jantung, yang kadang merangkap dan bahkan lebih sering menjadi dokter anak. Zeela yang ramah dan keibuan membuat anak-anak mau dan betah dengannya. Banyak sekali kasus semacam ini, ada anak kecil sakit atau terluka, lalu menolak di obati dengan alasan dokter nanti akan menyuntiknya, dan itu sangat sakit. Lalu si dokter umum akan meminta Zeela—satu-satunya dokter di rumah itu yang bisa meluluhkan anak-anak.

Hanya butuh waktu 15 menit bagi Zeela untuk sampai di rumah sakit tempatnya bekerja, disana ramai orang di lobi rumah sakit. Sepertinya anak itu benar-benar keras kepala hingga orang sebanyak itu dibuat kewalahan, sampai-sampai dia belum dibawa masuk.

"Zeela, akhirnya datang juga." Tara langsung menghampirinya ketika melihat mobil milik Zeela memasuki halaman rumah sakit.

Disana, seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahunan sedang menangis histeris dan meronta-ronta dengan di belakangnya seorang wanita paruh baya yang memegangi, juga beberapa perawat pria yang masih berusaha seramah mungkin membujuknya.

Zeela mendekat, mengisyaratkan para perawat itu untuk sedikit menjauh.

"Hei, kenapa tidak mau masuk?" tanya Zeela dengan suara ramahnya.

"Dokter jahat! Semua dokter sama saja! Aku tidak mau masuk, ayo pulang, Nek.. Ayo kita pulang!!" histerisnya.

Wanita paruh baya yang mungkin adalah neneknya itu sampai kewalahan mengatasi anak itu. Entah terlalu kuat atau apa, darah segar mengalir di kening, kaki, hidung, dan juga lengan. Bahkan dari pengamatan Zeela nafas anak itu sampai terengah-engah.

Zeela membungkuk mensejajarkan tingginya dengan anak itu, menatap anak itu dengan mata teduhnya, dan tersenyum menenangkan.

"Kau bisa pulang setelah lukamu sembuh. Ayo masuk, aku yang akan merawatmu. Aku janji, tidak akan sakit, sungguh." Kata Zeela lembut.

"Bohong! Kau berbohong! Aku.... aku tidak mau masuk! Pergi dari sini! Pergi!" teriaknya dengan nafas semakin tersengal.

"Aku tidak bohong. Kau bilang yang jahat adalah dokter, kan? Dan aku, kau tahu sendiri aku baru datang, juga...tidak memakai pakaian seperti mereka, kan?" ucap Zeela sambil melirik pakaian yang dikenakannya, yang berupa baju santai biasa.

Anak itu mulai sedikit terdiam,

"kau bukan dokter?" tanyanya polos.

Zeela menggeleng, "yang pasti aku tidak jahat." Jawab Zeela.

"Kalau kau jahat bagaimana?" tanya anak itu lagi, sekarang sudah benar-benar terdiam dan tidak histeris seperti tadi.

"Kalau aku jahat, kau bisa memukulku, atau..... melakukan apa saja yang kau mau."

Kedua mata bulat anak itu menatap Zeela penuh selidik, seperti mencari kebenaran dari yang Zeela ucapkan padanya.

"Baiklah, ayo!" katanya sambil menarik tangan Zeela, tapi berhenti sedetik kemudian, kakinya seperti baru terasa sakit.

Dengan matanya Zeela meminta para perawat itu membawakan brankar untuk anak kecil itu.

Dengan tangannya sendiri Zeela mendorong brankar tempat anak kecil yang entah siapa namanya itu berbaring. Kedua mata anak itu bahkan tak henti-hentinya menatap Zeela—yang juga terus memasang senyuman ramah keibuan yang ia punya.

Zeela membawa anak itu masuk ke ruang UGD, menutup pintunya lalu mengenakan perlengkapan dokternya.

Anak itu terdiam dan terus mengawasi Zeela yang saat ini tengah berfokus pada darah yang mengalir di hidungnya.

Zeela tersenyum, "siapa namamu?" tanyanya.

"Arzoo," jawab si kecil yang ternyata bernama Arzoo itu—tanpa mengalihkan tatapannya pada Zeela.

"Nama yang manis, seperti orangnya." Ucap Zeela.

Arzoo tersenyum manis.

"Terima kasih," balasnya antusias, benar-benar seperti tidak merasakan sakit ditubuhnya karena luka-luka itu.

"Arzoo, kenapa bisa terluka begini? Arzoo nakal, ya?" kini Zeela yang menatap kedua mata Arzoo penuh pertanyaan.

"Tidak, Arzoo tidak nakal. Tadi, Arzoo bermain bola dengan nenek, dan saat nenek menerima telfon, bola itu keluar gerbang. Arzoo mengejarnya, dan tiba-tiba ada mobil, Arzoo terserempet, lalu terguling-guling di tanah." Cerita Arzoo, polos dan lucu seperti anak-anak lainnya.

"Ini tidak sakit?" tanya Zeela.

Arzoo menggeleng.

"Kau ternyata tidak jahat, ya. Tidak seperti dokter teman Papa itu, dia selalu memarahiku saat Papa tidak ada," benar yang Zeela duga, pasti Arzoo punya pengalaman tidak baik bersama seorang dokter. Itu sebabnya Arzoo menganggap semua dokter sama saja.

"Aku memang tidak jahat, dan aku tidak pernah berbohong." Ucap Zeela yang malah sukses membuat Arzoo tertawa.

Setelah beberapa menit, luka-luka di tubuh Arzoo selesai di obati. Dan selama pengobatan itu, Arzoo sama sekali tidak menangis atau berteriak seperti kebanyakan anak-anak yang terluka. Membuktikan Arzoo adalah anak yang kuat.

Saat ini Zeela tengah mengecek apakah ada luka dalam atau tidak, baru setelah itu Arzoo mungkin akan diperbolehkan pulang.

"Siapa namamu?" tanya Arzoo.

Entah suka atau apa, yang pasti kedua mata Arzoo tidak pernah terlepas dari Zeela. Kemanapun Zeela pergi, arah pandang Arzoo mengikutinya.

"Kenapa tanya namaku?" Zeela balik bertanya.

"Biar aku bisa memanggilmu," jawab Arzoo.

"Namaku, Anushka Shahzeela, " ujar Zeela—tersenyum menatap Arzoo.

-----

Bersambung...

02. Permintaan Kecil Arzoo

Zeela keluar dari ruang rawat Arzoo setelah memastikan gadis kecil itu benar-benar tidur sehabis meminum obatnya.

Arzoo sedikit rewel soal urusan obat. Walau ia tahan sakit, tetapi tidak dengan rasa pahit. Berkali-kali Arzoo menolak, entah dengan meyenggol tangan Zeela yang sedang memegang obat—menjadikan obatnya jatuh dan tak bisa diminum, atau dengan menutup mulutnya rapat-rapat, bahkan memuntahkan obat yang sudah berada di mulutnya.

Zeela disambut oleh pertanyaan penuh kekhawatiran dari wanita paruh baya yang ia duga adalah neneknya Arzoo.

"Arzoo baik-baik saja, Nyonya. Dia sedang beristirahat. Dan sampai hasil tesnya keluar, Arzoo belum bisa pulang dulu." Ujar Zeela ramah seperti biasanya.

Wanita itu mengucap syukur, terlihat lega sekali karena Arzoo baik-baik saja.

"Baiklah, saya permisi dulu," ucap Zeela yang langsung dibalas anggukan disertai senyuman oleh wanita bertubuh sedikit kurus itu. Mungkin efek terlalu banyak memikirkan Arzoo yang nakal, tidak tidak, tapi keras kepala.

Tidak ada jadwal apapun hari ini, karena sebenarnya ini hari liburnya. Jadi Zeela memutuskan untuk pulang saja. Melanjutkan acara tidurnya yang tertunda tadi.

Bicara soal tidurnya yang tertunda, Zeela jadi teringat Arzoo. Kemana orang tua Arzoo? Dan kenapa ia hanya dijaga neneknya? Sebenarnya entah nenek entah pengasuh, karena wajah mereka yang tidak ada mirip-miripnya sama sekali.

Dan tentang wajah Arzoo, entah kenapa rasanya wajah itu tidak asing, Zeela seperti akrab dengan wajah itu. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, bukankah baru tadi ia bertemu Arzoo? Lalu bisa akrab dari mana? Bahkan Arzoo juga masih kecil, kemungkinan Arzoo teman Zeela sangat mustahil. Bahkan, jika saja Zeela sudah menikah, Arzoo lebih cocok menjadi putri Zeela. Mengingat usia mereka yang pantas jika adalah ibu dan anak.

Ah, kenapa Zeela malah memikirkan Arzoo terus. Memang siapa Arzoo? Hanya anak kecil yang kebetulan menjadi pasiennya.

Tiba dirumah, Zeela mendapati ibunya tengah bersantai di depan TV sambil menonton acara favoritnya, sinetron.

"Dari mana?" tanya Neha tanpa mengalihkan fokusnya dari TV.

"Ada pasien, Ma. Biasa, " jawab Zeela seraya duduk di sofa samping ibunya.

"Kalau pasien yang datang, semangatnya berkali-kali lipat. Coba kalau Mama yang minta pulang ada lamaran, seribu alasan," sindir Neha.

"Oh ayolah, Mom, pasienku itu masih kecil. Dan dia terluka parah. Dan Mama tahu, dia sama sekali tidak menangis. Kalau saja itu aku, pasti pingsan," Zeela terkekeh.

Neha hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Zeela memang kekanakan saat bersamanya, tapi diluar sana dia seperti ibu yang baik bagi semua anak-anak. Entah pesona seperti apa yang Zeela miliki, hingga bisa membuat segala jenis anak-anak luluh padanya.

"Zeela tidur dulu ya, Ma. Ngantuk," pamit Zeela.

"Hmmm, " dan hanya dibalas gumaman saja oleh ibunya.

Di rumah ini, Zeela tinggal bersama mama dan papanya, yang mana papanya adalah orang yang sangat jarang ada dirumah. Maksudnya, selalu ada urusan bisnis, entah ke luar kota atau ke luar negeri. Selama satu bulan, kadang hanya pulang sekali, dan sering juga berbulan-bulan lamanya tidak pulang. Jadi rumah ini terkesan seperti hanya di tempati 2 orang saja.

Zeela masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya setelah aktivitas di luar tadi. Sebenarnya juga untuk menyegarkan pikirannya.

Hampir 1 jam Zeela ada di dalam kamar mandi, dan men-silent ponselnya agar tidak ada gangguan selama 1 jam ini.

Zeela mengeringkan rambutnya dengan handuk, berjalan ke tempat tidur dan mengambil ponsel yang baru saja dibiarkan 1 jam lalu. Tapi sudah pasti ada pesan atau panggilan disana.

Dan ya, pesan serta beruntun panggilan tak terjawab berjajar rapi disana. Lalu pelakunya, sudah pasti Tara.

"Ada apa?"

"Heh, dari mana aja lu? Pasien lu ngamuk-ngamuk nih, ga ada yang bisa nenangin. Dan terpaksa gue kasih dia obat penenang, cepet dateng kesini, dia nyari elu dari tadi**!" omel Tara dari seberang sana.

Pasien? Itu artinya Arzoo? Ada apa lagi dengan anak itu?

"Heh, pake acara diem lagi, kenapa?"

"Ya ya, aku datang."

Zeela langsung memutus sambungannya dan bergegas datang ke rumah sakit. Begitu mendengar Arzoo mengamuk, entah kenapa Zeela jadi sangat khawatir. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk? Bagaimana kalau Arzoo kenapa-napa, dan sebagainya.

"Hey, mau kemana kau?" teriak Neha yang melihat Zeela berlari dengan tergesa menuruni tangga.

"Gawat darurat, Ma!" teriak Zeela sambil terus berlari.

Neha geleng-geleng kepala melihat tingkah Zeela yang memang sudah tak asing lagi dimatanya.

"Anakmu," ucapnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah Zeela yang sudah sampai di pintu depan.

Ya, mama Zeela itu sedang video call dengan papa Zeela.

Begitu sampai di rumah sakit, Zeela memarkirkan mobilnya asal, meminta tolong pada satpam untuk menaruhnya di tempat yang benar.

Zeela benar-benar takut Arzoo kenapa-napa. Dia langsung masuk dan mendapati Tara diluar ruang rawat Arzoo bersama wanita yang ia duga adalah nenek Arzoo tadi.

"Akhirnya dateng juga, tuh," Tara menyuruh masuk dengan isyarat dagunya.

Zeela mengangguk lalu masuk ke dalam, dilihatnya Arzoo yang memejamkan matanya karena obat penenang yang Tara berikan.

Zeela berdiri disamping Arzoo, menatap anak manis itu dengan rasa bersalah.

"Arzoo, maafkan aku ya.. Seharusnya tadi ponselku tetap menyala," lirihnya sembari mengelus lembut puncak kepala Arzoo diatas perbannya.

Tidak tahu kenapa hati Zeela sakit melihat Arzoo seperti ini. Ya, dia memang penyayang anak-anak, jadi melihat anak kecil kesakitan sedikit saja, dia yang jauh lebih sakit.

Setengah jam berlalu, Zeela masih setia menunggu Arzoo sadar disamping ranjangnya. Tidak tahu sebanyak apa dosis yang Tara berikan, tapi semoga Arzoo lekas sadar.

"Bunda Dokter," lamunan Zeela buyar ketika mendengar suara itu, suara khas yang berasal dari mulut Arzoo.

Dan panggilan itu—bunda dokter, diberikan khusus dari Arzoo untuk Zeela, karena kata Arzoo dia ingin orang baik seperti Zeela sebagai ibunya. Zeela sebenarnya tidak mengerti maksud perkataan Arzoo yang menurutnya aneh, memang bundanya tidak sebaik dia? Atau pergi kemana bundanya? Dan saat ditanya, Arzoo hanya mengedikkan kedua bahunya tanpa sepatah katapun.

"Hei, kau sadar? Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan?" tanya Zeela.

Arzoo menatapnya sengit, bersedekap dada dan memalingkan wajahnya dari Zeela.

"Kenapa?" Zeela bingung.

"Kemana saja kau tadi? Aku bangun dan mencarimu, tapi kau tidak ada. Katanya baik dan tidak pernah bohong, tapi pergi meninggalkanku," omel Arzoo.

Zeela terkekeh,

"I'm sorry, sweety," Zeela menjewer telinganya sendiri.

"Sorry sorry, apanya yang sorry," Arzoo masih sama, kesal.

"Baiklah, sekarang katakan kau mau apa sebagai permintaan maafku?"

Arzoo mengetuk-ngetukkan jari mungilnya di pipi—berfikir.

"Besok ya ku beritahu, sekarang aku mau mikir dulu." Ucapnya.

"Oke. Sekarang, minum obatmu, biar cepet sembuh."

Arzoo memutar bola matanya malas, "obat lagi obat lagi, minum saja sana sendiri," katanya sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Arzoo, kalau tidak mau minum, bunda dokter pulang loh, biar saja Arzoo diurus dokter jahat. Trus nanti disuntik, dimarahi... Ayo, pilih mana?"

Arzoo membuka selimutnya dengan malas dan terpaksa.

"Baiklah baiklah," pasrahnya.

 

°°°

 

Demi Arzoo, Zeela menginap di rumah sakit. Dan harus terima dengan ceramah panjang dari ibunya, karena lebih memilih pekerjaan daripada pulang ke rumah.

Sampai pagi ini Arzoo belum bangun, kesempatan itu digunakan Zeela untuk pulang sebentar, mandi dan ganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit tentunya.

"Dokter, terima kasih ya sudah mau bersabar merawat Arzoo. Arzoo memang begitu, keras kepala dan semaunya. Maklumlah, anak-anak." Ujar nenek Arzoo.

"Tidak masalah, Bu. Arzoo masih kecil, sudah sepantasnya bersikap begitu, " balas Zeela ramah.

"Kau baik sekali. Sudah menikah?" tanyanya.

Zeela menggeleng, "belum, Bu. Masih menunggu. Yang ditunggu juga tidak tahu kapan datang," cerita Zeela.

"Loh, kok tidak tahu? Memangnya kemana?"

Zeela menggeleng, "hanya sebuah kegilaan, menunggu yang tidak pasti," ucapnya diiringi kekehan pelan.

"Cepatlah menikah, wanita baik sepertimu banyak yang suka, dan yang bisa mendapatkanmu, dia sangat beruntung." Ucap wanita itu lagi.

Zeela hanya tersenyum sebagai balasan.

"Jangan menunggu terus, atau kau akan tua sepertiku," lanjutnya.

Kening Zeela berkerut,

"maksudnya?"

"Menunggu. Yang ditunggu entah ada di mana, akhirnya terpaksa menikah karena perjodohan, itupun karena sudah tua, tapi kami berpisah. Untunglah aku bertemu keluarga Arzoo yang baik, dan Arzoo yang mau menerimaku."

"Jadi, anda ini?"

"Ya, aku hanya pengasuhnya Arzoo. Sebelumnya sudah lama bekerja untuk keluarga Arzoo. Kau pasti mengira aku neneknya Arzoo, kan?" wanita itu tertawa renyah.

"Namaku Maria, panggil saja bibi Maria." Bibi Maria mengulurkan tangannya pada Zeela, dan disambut dengan senyuman ramah oleh Zeela.

"Saya Anushka Shahzeela, Anda bisa panggil saya Zeela." Ucap Zeela.

"Zeela," panggil seseorang.

"Iya, Dok, ada apa ya?" tanya Zeela.

"Ada pasien dengan kasus serangan jantung, cepat kamu tangan, ya." Jawab pria itu yang juga seorang dokter.

"Baik, Dok. Saya kesana sekarang. Bibi Maria, saya permisi. Kalau Arzoo bangun katakan saja aku ada operasi." Pamit Zeela sebelum akhirnya berlalu dari hadapan kedua manusia itu.

-

-

-

Setelah 5 jam berada di ruang operasi, Zeela dan timnya menyelesaikan itu, Zeela sendiri bergegas keluar secepatnya untuk menemui Arzoo yang mungkin sudah marah padanya, atau mungkin juga mengerti dengan tugasnya sebagai seorang dokter.

"Bibi Maria," panggilnya saat melihat wanita itu di ruang tunggu.

"Sudah selesai? Bagaimana operasinya tadi?" balas Bibi Maria.

"Alhamdulillah lancar. Dimana Arzoo?" jawab plus tanya Zeela.

"Arzoo ada di dalam, sedang video call dengan nenek dan ayahnya, dan saat seperti ini dia tidak bisa diganggu." Jelas bibi Maria.

Zeela manggut-manggut mengerti, ia lalu pamit lagi untuk mengecek pasien lainnya. Sepertinya Arzoo sudah pulih dan pastinya ditangani Tara saat tidak ada dirinya.

Hingga malam hari, Zeela sangat sibuk sampai tidak bisa bertemu Arzoo. Dan sekarang, gadis kecil itu sudah tidur dengan lelapnya di ranjang rumah sakit.

Hasil tes Arzoo sudah keluar, kondisinya memang berangsur memulih untuk kecelakaan kemarin, tapi selain itu Arzoo punya masalah dengan jatungnya, ya, jantung Arzoo sedikit tidak normal. Dan untuk memastikan tidak ada sesuatu yang buruk, keluarganya tetap memintanya disini.

"Dokter Zeela, aku mencarimu sejak tadi," ucap bibi Maria yang baru datang lagi ke ruang rawat Arzoo, seperti katanya, wanita itu mencari keberadaan Zeela.

"Ada apa, bibi?"

"Katanya kau membuatnya kesal, dan sebagai permintaan maaf darimu kau mau melakukan apapun untuknya, kan?"

Zeela mengangguk, "jadi Arzoo minta apa?" tanyanya.

"Bertemu papanya besok, Arzoo ingin papanya bertemu denganmu dan mengucapkan terima kasih padamu, " jawab bibi Maria.

"Bertemu papa Arzoo?" tanya Zeela polos.

"Iyalah, masa papanya papa Arzoo," bibi Maria terkekeh.

Zeela mengucap permisi lalu pulang, ia berfikir disepanjang perjalanan ke rumahnya, kenapa Arzoo meminta ia bertemu dengan Papanya? Apa maksud anak kecil itu? Ya, Zeela tahu Arzoo menyukainya. Dan pertemuan itu, jangan jangan Arzoo mau..............lupakan, jangan sampai itu terjadi. Karena Zeela tidak tega menolak, tapi juga tidak akan mau.

Sekarang yang jadi pertanyaan Zeela, bagaimana keluarga Arzoo? Arzoo hanya tinggal berdua bersama pengasuhnya, begitu? Apa papa dan nenek Arzoo juga seperti ayahnya yang selalu tidak ada di rumah? Lalu ibu Arzoo, kemana dia? Kenapa tidak muncul sama sekali dari kemarin? Masih hidup atau sudah bersama yang maha kuasa? Atau mungkin sudah berpisah dengan ayahnya?

Ah, kepala Zeela semakin berdenyut memikirkan tentang Arzoo dan asal muasalnya. Kenapa anak itu begitu aneh, bukan orangnya, tapi sejarahnya, maksudnya keluarganya, masalahnya.

Sebelum kepalanya bertambah sakit, Zeela memutuskan untuk memejamkan mata—tidur. Besok diurus besok saja, dan lalui apa saja yang terjadi. Karena takdir tidak akan salah alamat, entah itu baik atau buruk.

Tapi tidak, Zeela melupakan satu hal. Ya, kebiasaannya sejak 18 tahun yang lalu. Zeela selalu melingkari kalender setiap harinya secara berturut-turut selama 18 tahun. Tujuannya untuk mengingat seberapa lama Zeela menunggu dia—cinta masa kecilnya.

Dan ini adalah bulan ke 252, hari ke 6.631, atau 18 tahun 2 bulan. Selama itu Zeela mengingat semuanya. Berharap jangan sampai dihari ke 10.000 dia belum bertemu dengan-nya. Zeela tidak mau tua dan mati konyol masih dalam keadaan menunggu.

Usianya saat ini 30 tahun, sebulan lagi 31 tahun. Benar-benar akan mati konyol dia jika pangerannya itu tidak datang-datang.

*hari ke-6.631

Hei, masih mau menghilang? Tidak kasihan padaku yang sudah menunggumu selama ini? Sebentar lagi aku tua, dan aku bisa-bisa mati kalau kau tidak datang. Rasa rindu ini mencekikku secara perlahan, apalagi nafas dan detak jantungku ada bersamamu. Jadi ku mohon datanglah, aku tidak mau mati dalam keadaan masih menunggumu. Ayolah, datang dan kembalilah padaku. Aku akan selalu menunggumu sampai kapanpun, sungguh!

Tertanda,

orang yang selalu menunggu dan mencintaimu, selamanya.

-Anushka Shahzeela-*

Tulis Zeela di buku hariannya. Sudah tak terhitung berapa puluh bahkan ratus buku harian yang ia habiskan untuk menulis kata-kata tentang kerinduan dan penantiannya setiap saat. Walau ia tidak pernah mengirim tulisan-tulisan itu pada-nya. Sebabnya, Zeela tidak tahu dia tinggal dimana. Dan akan dikirim kemana semua surat-surat itu? Sebaiknya simpan saja, biarlah hembusan angin, rintikan hujan, serta cahaya rembulan yang menyampaikan.

---

Bersambung.

Adakah yang menunggu dan suka cerita ini?

03. Dia?

Seperti biasa, pukul 6.15 Zeela berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja. Dan ya, ia tidak lupa atas permintaan Arzoo kemarin. Tapi sebelum bertemu papa Arzoo, Zeela ingin menemui Arzoo dulu dan bertanya kenapa permintaannya harus bertemu papanya Dan bukan meminta hal lain.

Arzoo terlihat duduk santai menyandar di sandaran ranjang sambil bermain game. Entah game apa, tapi kelihatannya seru sekali.

"Arzoo, " panggil Zeela.

"Eh, Bunda Dokter. Sudah selesai operasinya?" tanyanya ramah, tidak seperti kemarin yang kesal.

"Tidak ada operasi hari ini." Jawab Zeela.

Zeela duduk di kursi samping ranjang Arzoo.

"Apa permintaanmu?" tanya Zeela seolah tidak tahu, atau mungkin anak itu akan mengganti permintaannya dengan hal lain.

"Bibi Maria tidak memberitahumu?" tanya balik Arzoo.

"Apa?" dan Zeela masih tetap dengan aktingnya—pura-pura tak tahu.

"Kau ini masih muda tapi pelupa, ya! Kau akan bertemu papaku hari ini. Papa akan kesini sekitar jam 9, tolong kosongkan jadwalmu. Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus bertemu Papa." Oceh Arzoo.

Zeela menghela nafas,

"baiklah," pasrahnya.

"Tapi izinkan aku memeriksa pasien-pasienku dulu, dengan begitu aku bisa bertemu papamu."

"Ya tentu saja, silahkan." Kata Arzoo sambil kembali fokus pada game-nya.

-

-

-

Zeela melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Pukul 8.55. Apa? Zeela melotot terkejut dan bergegas menyelesaikan kegiatannya menulis resep obat.

Zeela lalu berlari dengan cepat ke ruang rawat Arzoo, dia berencana menemui Arzoo dulu baru ke taman rumah sakit yang dikatakan anak itu.

Tapi tidak, jika dia menemui Arzoo dulu, maka pasti Arzoo akan mengomel kenapa belum pergi ke taman. Daripada nanti Arzoo minta sesuatu yang macam-macam, lebih baik dilewati saja dan langsung pergi ke taman.

Taman rumah sakit tidak terlalu ramai, hanya sedikit pengunjung yang ada. Itu lebih baik untuknya menemukan sosok papa Arzoo.

Zeela duduk di salah satu kursi, pandangannya mengedar kesana kemari mencari apakah papa Arzoo sudah tiba dan sedang mencarinya? Atau mungkin akan terlambat karena dia manusia sibuk.

Ting

Sebuah pesan masuk ke ponsel Zeela, Zeela langsung mengeceknya.

"Siapa ini?" gumam Zeela karena nomornya tidak dikenal.

[Bunda dokter, ini Arzoo. Kau carilah kursi di dekat pohon mangga ya, lalu duduk di sana. Sebentar lagi papa datang, oke!]

"Kursi saja sudah di siapkan," Zeela terkekeh, berdiri dan mencari pohon mangga yang Arzoo maksud.

Zeela kemudian berjalan mencari tempat itu sambil memainkan ponselnya, masa bodohlah menabrak orang, game-nya hampir menang.

Bruk

Benar, kan. Zeela merasa telah menabrak seseorang, bahkan sebuket bunga yang sepertinya dibawa pria itu jatuh bersama ponselnya.

"Maaf, aku sengaja." Zeela tersenyum tanpa dosa dan menunduk mengambil ponselnya.

"Ya, aku juga sengaja." Balas orang itu, seorang pria yang juga menunduk mengambil bunganya.

Zeela berhenti dari senyum tidak jelasnya, mendongak sedikit untuk melihat wajah pria yang ia tabrak.

Deg

Deg

Deg

Zeela seperti mengenal wajah itu, ya, wajah itu. Wajah yang saat ini tengah tersenyum di hadapannya, wajah yang juga selama 18 tahun ini ia nanti, yang selalu Zeela sebut dalam doanya dan selalu mengisi fikiran Zeela. Ya, dia....

"De-Devans? Devans Rahitya Anand?" ucap Zeela dengan tangan menunjuk wajah pria itu.

Pria itu mengernyit, seperti mengingat sesuatu.

"Zeela? Anushka Shahzeela?"

Zeela mengangguk dengan semangat, matanya hampir berkaca-kaca. Yang benar saja! Ini seperti mimpi!

"Kau... Astaga, Zeela? Aku rasanya tidak percaya bertemu denganmu." Ucap Devans dengan ekspresi tak percaya.

Zeela hanya mengangguk sambil menetralkan detak jantungnya yang mulai tidak karuan. Setelah 18 tahun menanti, akhirnya ia bertemu sungguhan dengan Devans. Percayalah, ini seperti mimpi!

"Hei, kenapa diam saja? Tidak senang bertemu denganku?" tanya Devans.

Zeela menyeka lelehan bening yang berhasil lolos dari pelupuk mata dan mengalir di pipinya. Ia mendongak dan menganggukkan kepalanya.

"Tentu senang," ucapnya, 'sangat senang, sangat sangat senang.' Lanjutnya dalam hati.

"Oke, kita mengobrol sebentar? Ini sudah sangat lama," ujar Devans, matanya menyapu sekeliling mencari kursi yang akan ia duduki.

"Disana?" tawarnya.

"Baiklah,"

Devans menggamit tangan Zeela dan mengajaknya ke tempat yang tadi ia tunjuk, sebuah kursi yang terletak di dekat pagar dengan pohon mangga di belakangnya.

Zeela tertegun dalam diam, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jantungnya memompa darah dengan sangat cepat ke seluruh tubuh dan kembali ke jantung, lain dari biasanya. Rasa berbeda, rasa yang baru pertama kali ia rasakan seumur hidupnya.

"Bagaimana kabarmu sekarang? Baik-baik saja? Oh ya, kerja dimana?" pertanyaan beruntun keluar dari mulut Devans.

"Aku... aku.. baik-baik saja seperti yang kau lihat. Dan pekerjaanku, disini," Zeela menunjukkan gedung rumah sakit di dekat mereka dengan gelengan kepalanya.

"Oh, jadi kau seorang dokter? Padahal dulu takut darah, dan sekarang jadi dokter," kata Devans setengah meledek. Zeela dulu memang sangat takut pada yang namanya darah, begitu melihat ada darah, dia akan lari tunggang langgang sejauh-jauhnya.

"Kan dulu, sama sekarang beda lah." Zeela pura-pura kesal dengan ledekan Devans.

"Canda, Zeela."

Selanjutnya hanya diam, Zeela tidak tahu memulai obrolan ini darimana. Kaku sekali rasanya setelah sekian lama tidak pernah bertemu.

"Oh ya, kenapa disini? Katanya dokter, kok jalan-jalan disini," Devans kembali bersuara.

"Kamu juga ngapain kesini? Pake bawa bunga lagi, mau ketemu siapa?" Zeela balik bertanya.

"Sebenernya.... ambil aja deh," Devans menyerahkan bunganya pada Zeela.

"Hah?" Zeela menatap Devans dengan bingung dan polos.

"Hah? Hah kenapa? Ambil," Devans menirukan perkataan Zeela.

Zeela pun menerima bunga itu—masih dengan wajah bingung.

"Udah deh, ga usah berekspresi kayak gitu. Lucu banget tau," Devans tertawa.

Melihat itu bibir Zeela ikut tertarik ke atas membentuk senyuman kecil yang manis.

Dari pengamatan Zeela, sepertinya Devans belum menikah. Dan bunga yang tadi diberikan padanya itu mungkin untuk orang sakit yang akan Devans jenguk.

"Oh iya, udah nikah belum? Kelihatannya..." Devans mengamati seluruh tubuh Zeela, dari ujung kaki sampai kepala, "kamu udah cocok jadi ibu-ibu," ucapnya setelah melakukan pengamatan singkatnya.

"Belumlah, nikah juga sama siapa, dia-nya aja baru ketemu." Zeela memelankan suara di akhir kalimatnya.

"Kamu sendiri?" lanjut Zeela.

Devans tersenyum getir, "sebenarnya tujuanku kemari ingin bertemu dengan dokter yang putriku maksud. Arzoo, putriku, dia sangat menyukai dokter itu. Tidak tahu kenapa, tapi Arzoo sangat menyukainya. Katanya dia istimewa sekali, panggilan kesayangannya bahkan bunda dokter," kata Devans diakhiri dengan kekehan ringan.

Degh

Setelah serasa diterbangkan tinggi-tinggi, Zeela seperti dijatuhkan dengan sangat keras ke tanah. Sakit. Jadi selama ini, gadis kecil yang selalu memanggilnya dengan sebutan bunda dokter adalah putri dari Devans? Dia.... itu artinya Devans sudah menikah? Dan dari pernikahan itu,, Arzoo adalah hasilnya?

Dada Zeela mendadak sesak, kenyataan ini begitu sakit untuk diterima. Seperti diberi harapan begitu besar dan harapan itu dicabut secara tiba-tiba. Seperti mimpi indah di depan mata yang mendadak berubah jadi mimpi buruk. Bahkan paling buruk.

"Hei, kenapa? Mikirin siapa sih? Aku tahu, rencananya mau ketemuan disini, tapi yang ditunggu gak dateng-dateng, iyakan??? Ayo ngaku..!?" goda Devans dengan senyuman jahilnya yang tidak berubah dari kecil.

"Arzoo Akriti Anand? Dia putrimu?" Zeela memilih tidak menghiraukan godaan Devans tadi, dan bertanya dengan seris tentang putri yang dimaksudnya.

"Kau tahu? Iya, dia putriku. Arzoo, pemberi kehidupan untukku sampai detik ini." Devans menatap lurus ke depan dengan sebaris senyum kecil.

'Dan kau, kau adalah pemberi kehidupan untukku sampai detik ini.' Ucap batin Zeela.

"Malah diem, kenapa, Anushka Shahzeela?" tanya Devans karena Zeela yang malah terus diam.

"Aku dokter itu," kata Zeela datar.

"Hm? Jadi,, kau dokter yang dimaksud Arzoo? Yang benar saja?!" lagi-lagi Devans berekspresi seperti tak percaya.

"Nggak percaya?" Zeela menatap Devans dengan tatapan dinginnya.

"Percaya. Jadi nggak salah dong aku kasih bunga itu, itu memang untuk dokter yang Arzoo maksud. Dan, mmm... aku seneng kalau dokternya adalah kamu, itu artinya bunda dokter Arzoo adalah orang yang tepat. Wanita yang benar-benar baik. Iya, kan?" ujar Devans dengan sebaris senyum manis dibibirnya.

"Iya," balas Zeela dingin.

Senyuman yang tadi datang seperti melenyap begitu saja, sangat sulit untuk tersenyum walau hanya setengah centi.

"Kamu sibuk gak? Kita makan diluar yuk," tawar Devans.

"Enggak juga. Kalau aku kembali secepat ini, putrimu itu pasti akan mengomel, " kata Zeela.

"Yaudah, ayo,"

Devans hendak menggamit tangan Zeela lagi, tapi kali ini Zeela menarik tangannya secepat mungkin. Dia tidak mau Devans menyentuh tangannya. Pria itu.... dia milik orang lain sekarang. Tidak tidak, tapi dari dulu.

Devans dan Zeela sampai di sebuah kafe, mereka langsung memesan sesuatu dan duduk sambil berbincang selagi menunggu pesanannya.

Sebenarnya hanya Devans yang bicara, Zeela hanya diam antara mendengar dan tidak. Dia masih terguncang dengan kenyataan yang barusan didengarnya, tapi dia tetap harus bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.

Sangat sulit bagi Zeela untuk bersikap biasa saja setelah mengetahui kebernaran ini. Tapi untuk menangis secara tiba-tiba, itu juga sama sekali bukan solusi yang tepat. Tidak mungkin dia menangis meraung-raung di hadapan Devans sehabis mendengar cerita dari pria itu. Malah yang ada, Devans menganggapnya tidak waras.

Ini sebenarnya bukan sepenuhnya salah Devans, karena Devans tidak tahu Zeela mencintainya dalam diam. Tapi tetap saja hati Zeela sakit. Penantiannya selama ini sia-sia belaka. Devans sudah jadi milik orang lain. Benar apa yang ibunya katakan, seharusnya ia berfikir realistis, menunggu yang tak pasti memang harus terima dengan apapun yang terjadi.

Jika saja baru pacaran, mungkin masih ada harapan, tapi ini, sudah menikah. Catat, MENIKAH! Apalagi sudah ada Arzoo diantara keduanya. Bisa dipastikan pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

"Nanti nikah jangan lupa undang aku, ya. Maaf dulu nggak ngundang kamu," kata Devans sambil memasukkan makanan dalam mulutnya.

"Aku ngga mau nikah," balas Zeela cepat dengan tatapan kosongnya.

"Kenapa?" Devans menatap Zeela—tidak mengerti maksud Zeela.

Zeela tersenyum getir, "karena pangeranku sudah bertemu tuan putri-nya." Ucap Zeela.

Devans mendadak berhenti makan, pria itu melongo mendengar ucapan Zeela.

"Maksudnya?"

"Lupakan."

***

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!