...***...
Pagi ini, bengkel sudah ramai sejak buka. Pipin, Agus dan empat pekerja lain sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Kursi tunggu untuk pelanggan jasa service tertinggal enam bangku kosong saja.
"Mas, untuk sparepart jenis gear ini belum datang." Pipin membawa kepingan gear agar Sam detail melihat jenisnya dan tipenya. "Tinggal satu-satunya, ini, Mas. Itupun sudah di pesan."
"Sudah di hubungi ulang, Pin?" tanya Sam sambil meneliti barang di tangan.
"Katanya, barang masih kosong, Mas."
"Baiklah, aku cari ke temen, dulu. Takut pelanggan kecewa." Sam berdiri dari duduknya dan keluar bengkel membuat Agus tertanya pada Pipin.
Penjelasan dari Pipin membuat Agus ikut lega. Tak enak saja bila harus membuat pelanggannya menunggu lama.
"Pak Sam itu, sat-set, yah, Bang. Gerak sendiri tanpa ribet. Padahal kan, bisa aja dia suruh kita-kita," ujar pekerja yang sedang membawa ban dari dalam melihat Sam yang menyetir mobil sendiri keluar dari lokasi bengkel.
"Enaknya punya atasan masih muda ya begini, Dim."
"Tanggap gitu, ya, Bang."
"Bukan masalah tanggapnya, tapi dia masih fokus pada pekerjaannya. Kalau Pak Wahid kan udah berkeluarga, jadi beda jauh, lah."
"Semoga pak Sam belum buru-buru nikah."
"Kenapa, loh! Jodoh orang siapa tahu."
"Ya, biar kerja enak terus gini." Lelaki bernama Dimas mengungkapkan alasannya. "Kapan hari cerita itu. Beneran dia ngejomblo aja, Bang?" lanjut Dimas sembari mencari baut.
"Kepo beneran, kamu?"
"Ya kali, Bang. Orang udah punya usaha mapan begitu, jomblo."
"Doain tuh, yang baik-baik."
"Aku nggak doain jelek, Bang!"
"Iish, udah-udah, kerjaaaa!" Teriak Agus saat ia mulai menghidupkan mesin diesel membuat mereka kembali fokus pada pekerjaan masing-masing.
Tak kurang dari lima belas menit, Sam sudah datang membawa apa yang di minta pelanggan.
"Jadi nggak enak, Mas. Tadi kan bisa nyuruh aku atau yang lain buat ambil ini." Agus yang membutuhkan sparepart itu langsung mendekat pada Sam.
"Nggak apa, sekalian cari sarapan, tuh." Sam menunjuk kresek putih di atas etalase, "kalau udah ada yang kosong bisa gantian sarapan," lanjut Sam memberi instruksi membuat Agus berbinar dan mengucap terima kasih lalu kembali bekerja.
Sore harinya, Revi datang mengajak Sam untuk menemaninya ke toserba. Remaja setinggi 160 cm itu mengatakan keinginannya untuk membeli meja belajar.
Tanpa banyak ba-bi-bu Sam menyetujuinya. Teringat saat dulu orang tua anak kembar itu begitu peduli padanya melebihi anaknya sendiri. Jadi, sebisa mungkin Sam selalu ada bila di butuhkan.
"Reva ada kegiatan OSIS lagi?" tanya Sam di sela memilih furniture yang di inginkan Revi.
"Nggak tau, Mas. Nggak ada wa ke aku," jawab Revi lalu menunjuk sebuah lemari. "Ini gimana menurutmu, Mas."
"Mending yang tadi, deh. Lebih elegan aja di lihat," putus Sam yang masih sabar menemani Revi berkeliling.
"Iya juga ya," jawab Revi tak enak hati.
Sam sendiri sudah hafal tabiat keponakannya, bahkan mungkin semua wanita juga seperti itu. Mereka akan berkeliling dulu sebelum akhirnya memutuskan mengambil option pertama.
Setelah membayar, Revi mengajak Sam untuk mampir ke outlet food court untuk makan. Makan sambil bercerita apa saja, tentu tak jauh-jauh dari kegiatan di sekolah. Sedangkan Sam memilih menjadi pendengar yang baik.
Selesai makan, Sam sudah lebih dulu membayar membuat Revi tak enak. Pasalnya dia yang sedang merepotkan.
"Simpan aja, uangnya. Jangan banyak pemborosan. Inget orang tua yang cari duit."
"Revi jadi nggak enak, Mas."
"Kenapa?"
"Habis, Revi merepotkan terus."
"Kita ini saudara, kalau aku bisa ya pasti aku bantu."
Setelah itu, Revi katakan akan menemui dulu teman-temannya yang kebetulan ada di toserba yang sama. Mau tak mau, Sam memilih tetap menunggu di bangku itu meskipun makanan sudah bersih tak tersisa.
Menunggu jadi tak terasa bosan karena ada ponsel sebagai teman yang pas di saat seperti ini. Tiba-tiba, matanya melihat siluet orang yang begitu mengganggu pikirannya sejak beberapa hari bahkan beberapa tahun yang lalu.
Ada Nada jalan sendirian membawa belanjaan yang cukup banyak. Terlihat dari kedua tangan penuh menenteng jinjingan besar.
Sam mengedarkan pandangannya memastikan bila ada teman yang lain bernama Nada, namun tak ia temukan.
Merasa ini adalah waktu yang tepat, Sam berjalan cepat agar sampai pada Nada.
Sam beranikan diri menyentuh pelan bahu Nada. "Permisi, boleh aku bawakan!"
Sam seperti menghadap guru kesiswaan saat mendapatkan atensi Nada. Dada berdebar dan sudah pasti suhu sekitar menjadi lebih memanas. Wanita dalam balutan hijab segiempat bermotif kotak-kotak itu terlihat terkejut. Sampai-sampai barang dalan jinjingan hampir terjatuh jika Sam tak gesit menangkapnya.
"Hati-hati. Biar aku bawakan!" Kali ini Sam segera mengambil alih kresek di tangan yang lain membuat Nada tak bisa berfikir dengan baik.
"Ayo, ku antar!" Sam berusaha tersenyum walau sangat kaku, apalagi melihat mata Nada masih menyimpan keterkejutan.
"Mas," panggil Nada membuat perut Sam terasa berdesir.
"Ya,"
"Aku bisa sendiri," kata Nada ketus berusaha merebut belanjaannya membuat tangan mereka bersentuhan.
Sam begitu salah tingkah saat Nada masih menatap tajam. "Ayo ku antar pulang!"
"Nggak perlu, Mas. Saya bisa sendiri." Nada sudah berhasil merebut satu belanjaannya.
"Nada, bisa kita bicara?" tawar Sam memohon. "Kenapa kamu bisa seacuh ini sama aku, padahal kamu tahu kita dulu pernah dekat."
Nada semakin menatap tajam pada Sam yang tengah berubah sendu. Dadanya naik turun menahan emosi yang sedang menyelimutinya. Ia masih waras untuk tidak berteriak di tempatnya berdiri.
Sam memegang lengan Nada yang masih terhalang jaket jeans. Terpaksa, Sam berjalan membawa Nada untuk duduk di kursi tunggu . Beruntung tak ada perlawanan yang membuat pengunjung mengamati keduanya.
"Jadi, apa yang akan kamu katakan?" tanya Nada setelah beberapa waktu hanya terdiam.
"Nada, aku ingin bertanggungjawab."
Kalimat itu mampu membuat Nada menatap penuh pada Sam, bahkan sampai memutar lehernya.
Seketika itu, Nada menjadi mengingat kembali masa itu. Masa dimana ia seperti sendirian. Langit bahkan seperti tanpa batas pandang. Tak ada bintang ataupun bulan. Yang ada, dunia seperti malam gelap. Tak ada pergantian waktu.Tak terasa air matanya mengalir tanpa permisi.
Hal itu membuat Sam menunduk dalam tak berani membalas tatapan itu.
"Mengapa baru sekarang kamu katakan itu, Mas," kata Nada menahan geram sampai Sam menoleh ke samping.
Kursi tunggu itu sepi hanya ada mereka berdua. Dari atas lantai tiga toserba, mereka duduk. Riuhnya suara kendaraan dari jalan raya di bawah sana tak mengganggu pembicaraan sensitif itu sedikitpun.
"Mengapa, Mas?" ulang Nada dengan suara bergetar.
"Nada, maafkan aku." Sam kini menatap penuh pada Nada yang sedang menatapnya penuh kemarahan. "Oleh karena itu, ijinkan aku menebusnya."
***
Sampai di rumah paklik, Sam di bantu Kusno menurunkan meja belajar Revi.
Hari sudah malam, bahkan Sam belum solat magrib. Revi sudah masuk bahkan tadi menggerutu karena mencari-cari Sam di toserba.
"Sholat dan makan di sini dulu, Sam!"
Suara Kusno membuat Sam menurut. Bebersih secukupnya dan segera solat di ruang khusus untuk sholat.
Bulik Siti sudah sibuk menata lauk-pauk di meja. "Makan dulu, ayok," seru Bulik Siti mengkomando seisi rumah.
Kusno datang dari teras dan Revi datang dari kamar dengan handuk masih melilit kepala.
"Malam-malam, keramas, Rev!"
"Habis gerah banget, Bun. Tuh, gara-gara, Mas Sam ngilang di toserba. Eh, nggak taunya pacaran di kursi tunggu."
Sam hanya menggeleng pelan melirik sepupunya, sedangkan Kusno dan Siti justru antusias.
"Udah punya pacar, Sam?" tanya Siti dengan mata berbinar.
"Wah, kayaknya bentar lagi Pakde Rusno yang bahkan mantu deh, Bun." Rusno menggoda Sam yang entah pikirannya melayang kemana.
"Tuh, kan, bener, Pak! Keluarga kita bakal punya gawe lagi," tukas Siti sambil menuangkan sayur ke piring suaminya.
Sam hanya tersenyum masam. Ia mengambil nasi beserta teman-temannya ke piring. Tak mau menanggapi godaan paklik dan Buliknya.
"Cantik banget, loh, Bun. Pacarnya Mas Sam." Suara Revi kembali berbaur dengan suara dentingan sendok dengan piring.
"Iyakah?" tanya Siti yang mulai menyendok makanya.
"Ho'oh. Tingginya seperti Revi."
"Udah-udah, makan dulu. Ngobrolnya nanti." Kusno memutus suara Revi.
Setelah makan dan Siti membereskan meja. Sam baru menyadari saat Reva tak ikut makan malam.
"Ini Reva belum pulang, Paklik?"tanya Sam setelah ikut duduk di ruang keluarga. Ada sofa berbentuk L tanpa meja di depannya, serta karpet bulu yang biasa digunakan untuk rebahkan sambil nonton TV.
"Anak itu, semenjak ikut OSIS. Pulangnya tak pernah on time."
Saat itu juga terdengar deru motor di depan. Tak lama, Reva berlari masuk ke rumah. Melintas begitu saja di ruang keluarga tanpa menyahut panggilan Kusno maupun Sam.
Sam ingin mengejar tapi di tahan Kusno.
"Dia nangis, paklik," sahut Sam cepat menahan rasa penasarannya.
"Biar bulikmu yang nasehatin. Reva memang keras, sudah paklik peringatkan buat berhenti di OSIS, dianya nggak mau." Kenapa lagi anak itu. Batin Kusno tak sepenuhnya bisa setenang bicaranya.
Tak lama suara Siti yang mengetuk pintu kamar, membuat Sam sedikit lega lalu kembali duduk.
Kusno kembali membicarakan Reva selama beberapa hari ini pulang menjelang petang bahkan hampir Kusno katakan, Reva lebih terbuka dengan ibunya, membuat Sam mengangguk karena sudah ada yang lebih berhak menasehati anaknya.
Tak mendengar Siti mengetuk pintu. Bisa di simpulkan, Bulik Siti sudah berhasil masuk ke kamar anaknya.
"Bapakkkkk!!!" Teriakan Siti membuat Sam dan Kusno spontan berlari menuju arah teriakan Siti.
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Widya Ekasari
ada apakah
2023-03-30
0