*
Setelah bertemu dengan Mega dan makan di kantin kampus, Buna dan Mega berpisah di gerbang Kampus. Buna lekas memutar tuas gas untuk pulang.
Dalam tiap perjalanan Buna, ingatannya terus berputar akan perbincangannya dengan Mega tadi. Ia pikir Mega sudah melupakan hal itu. Nyatanya ia masih sangat ingat akan dirinya yang enggan membuat suatu komitmen. Buna tersenyum, saat ingat temannya itu bahkan sudah berganti empat pacar selama mengenyam pendidikan di kampus. Kata Mega sedang penjajakan pemilihan kandidat sebagai calon imam. Kata Mega dulu. Buna tertawa dalam hati.
Melewati, jalur Jebres dan terus ke selatan mengikuti jalur bus, Buna melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melirik jam tangan, masih pukul tiga sore. Satu jam lagi itu berarti jam empat sudah sampai rumah.
Ahh, kasur. Aku rindu.
Sampai akhirnya Buna menyadari saat ban depannya sedikit oleng. Ia putuskan untuk menepi di trotoar. Benar saja, ban depannya mengalami bocor ban dan ia memutar kepala memindai sekitar mencari bengkel.
Sayang sekali, lokasinya jauh dari bengkel. Ia putuskan untuk bertanya pada tukang becak. Dan Buna disarankan untuk menuntun motor beberapa meter ke depan.
Mau tak mau Buna menuntun motornya hingga pada bengkel yang di maksud tukang becak tadi. Raga sudah lelah, di tambah lagi ujian di depan mata.
Bagaimana jalanku memang harus berliku seperti ini. Setelah tadi pagi lolos ujian dan sore ini Kau mengujiku lagi? Rencana apa yang ada depanku setelah ini, Tuhan.
"Kenapa motornya, Mbak?" tanya pekerja bengkel yang kebetulan membuang sampah ke depan.
"Bocor ban kayaknya, Mas," terang Buna yang sudah lelah karena peluh sudah mengalir di dahi. Capek banget, gila.
Buna hanya bisa bicara dalam batinnya. Ia merasa cukup menderita menuntun motor sepanjang empat ratus meter.
Segera ia duduk pada tempat yang sudah di sediakan.
Ramai sekali. Beruntung masih buka, jika tidak aku bakal menuntun lebih jauh lagi.
Motor matic kesayangan Buna itu kini sudah di tangan pekerja bengkel. Bagaimana tidak sedih, dengan motor matic tersebut ia sudah di temani selama lima tahun lamanya. Ia ingat, saat bapak mencairkan klaim Jamsostek di pabrik terdahulu, semuanya di gunakan untuk membeli roda dua tersebut.
Namanya juga punya motor, rusak ya di servis dong. Ibarat badan kalau sakit ya di obatin. Buna ingat omongan seseorang.
Buna tersenyum mengingat itu semua. Tapi segera ia tersenyum masam saat mengingat siapa yang berbicara seperti itu padanya. Ia lalu teringat dengan siapa ia belajar naik motor kala itu.
Bisa-bisanya aku ingat dia di saat seperti ini.
"Mbak, ini harus ganti ban dalam. Soalnya sudah robek. Takutnya kalau hanya di tambal nanti bakal bocor lagi." Pekerja bengkel memberi tahu Buna, seketika itu Buna segera membuka dompetnya.
Untung masih ada uang.
Buna akhirnya mengiyakan apa saja asalkan ia dapat pulang dengan selamat.
Sembari menunggu, Buna berbalas pesan dengan Mega perihal jadwal wisuda satu bulan ke depan. Hingga pembicaraan dalam chat itu makin kemana-mana, ia sadari ada pesan lain di room chat-nya.
[Aku ke rumah, kok belum pulang?]
Satu pesan dari Atar membuat Buna ingat untuk mengirim salinan kurikulum yang diminta Atar.
^^^[**Maaf mas, masih di Solo.^^^
^^^Ntar sampai rumah aku kirim, ya**.]^^^
[Ok. Ini mau pulang malah bapak ngajak ngobrol.]
Oh astaga, Bapak.
^^^[**Jadi nggak enak, aku, Mas.^^^
^^^Segera pamit aja kalau ada perlu lain**]^^^
[Nggak apa, aku malah seneng, pdkt sama anaknya nggak di anggap serius, aku deketin bapaknya aja]
^^^[Jangan mulai deh, Mas]^^^
Buna sungguh tak enak hati, sudah tahu watak bapak kalau ngobrol itu nggak mau berhenti. Di tambah lagi, pada Atar ia semakin tak enak hati, hingga sekarang hatinya hanya segan bukan bergetar untuknya. Mungkin belum saja.
Buna tak bodoh mengartikan maksud Atar begitu baik padanya, karena berkali-kali Atar katakan ingin serius dengannya.
Tak sampai lima menit, motor Buna selesai. Segera ia membayar pada kasir lalu kembali pada tempat duduknya tadi. Ia merapikan leptop dan memasang mantel pada backpack sekalian karena cuaca mulai gerimis.
Laptop kesayangan, bisa bahaya kena hujan.
Buna melanjutkan perjalanan, sampai di sekitar alun-alun, Buna hendak membeli oleh-oleh serabi buat bapak dan ibu.
Setelah menunggu beberapa saat, tibalah Buna hendak membayar. Ia baru sadar saat dompetnya tidak ada dalam tas. Di saku celana pun yang ada tinggal sepuluh ribu. Ia nyengir menahan malu pada penjual serabi. "Maaf, Pak. Itu serabinya di kurangin aja. Dompet saya ketinggalan soalnya."
Benar-benar di buat malu, Buna katakan pada penjual dan terus meminta maaf. Tapi respon penjualnya berlaku santai malah menanyakan kebingungan Buna saat pergerakanya mencari dompet.
Saat itu Buna baru sadar, ia harus kembali ke bengkel untuk mengambil dompetnya. Bukan pada isi nominal di dalamnya, melainkan surat-surat penting di dalamnya.
Buna memutar kembali arah perjalanan. Ia hanya bisa berharap semoga masih rejekinya.
Dada bergemuruh, takut, ingin menangis saja. Ia bayangkan bagaimana jika benar-benar hilang dan harus mengurus surat kehilangan untuk membuat surat-surat baru. Membayangkan kerumitannya saja sudah membuat Buna pusing.
Lima belas menit, Buna sampai. Tepat saat seorang pekerja bengkel menutup rolling door.
"Tunggu, Mas!"
Buna berlari mendekat pada pekerja yang masih duduk memegangi gembok di tangan.
"Mas, li-lihat dompet saya! Warnanya marun, ada di kursi disana!" Sambil berusaha mengatur nafasnya, Buna menjelaskan maksud kedatangannya.
"Dompet, Mbak?" tanya pekerja laki-laki.
"Saya tadi ganti ban dalam di sini, Mas. Dan saya ingat habis bayar, dompet itu masih di sini. Karena saya tadi buru-buru membungkus tas saya dengan mantel."
"Mas Agus, tadi kamu nemu dompet mbaknya ini, nggak?" tanya pekerja tadi pada karyawan yang lainnya.
"Dompet pa'an?"
Lelaki bernama Agus menghampiri Buna dan kawannya.
"Mas yang tadi ,kan! Dompet saya di kursi ini mas," terang Buna sudah begitu was was. Ia berjalan menunjuk pada kursi tadi di ikuti dua pekerja laki-laki.
"Nggak lihat aku, Mbak."
"Duitnya banyak ya Mbak?" tanya pekerja berambut cepak.
"Bukan masalah duitnya, Mas, tapi surat-surat di dalamnya," jelas Buna lemas. Sudah tak ada harapan.
Buna lihat dua pekerja tadi saling bergumam, mungkin saling bertanya-tanya. Mereka kompak memeriksa di sudut lain ruang tunggu bengkel itu.
Setelah mencari-cari tak kunjung temu, mereka menyerah.
Lemas. Benar-benar lemas. Buna pulang dengan lesu. Beruntung saat berangkat tadi ia sudah isi motor dengan pertamax di pom. Jadi tak perlu takut kehabisan bensin untuk pulang nanti.
Buna membawa motornya tak secepat tadi. Sedih, sampai ia tak sadar jika ia menangis, di tambah lagi hujan benar-benar turun, meski tak begitu deras. Ia sudah malas memakai mantel. Hanya tasnya saja yang ia sarungkan mantelnya.
Bertambah lagi masalah juga pekerjaannya untuk mengurus surat-surat yang baru.
***
Sam datang saat waktu sudah cukup sore. Tapi ia masih mendapati dua pekerjanya masih asyik bercengkerama di teras bengkel.
"Nggak pulang, kalian?" tanya Sam bergantian pada Agus dan satu pekerja lain.
"Masih mau ngobrol-ngobrol, Pak."
Sam mendengus, saat mereka masih melihatnya sebagai pemilik bengkel. Berarti pada Pakde Wahid dulu, mereka juga begitu? Sam tidak ingin di anggap seperti itu. lebih nyaman saat pekerjanya menganggapnya rekan kerja. Tak ingin terlalu formal.
Ah memang aku seperti pakde? Enak saja.
Tapi, melihat wajah letih dua pekerja yang tersisa, membuat Sam memupuk rasa bersalah pada Agus yang sudah ia beri tanggung jawab sebelum ia ke Boyolali tadi. "Maaf, ya. Aku baliknya kesorean." Sam meletakkan tas di space kursi yang tersisa. "Nggak usah segan, kalau udah jam pulang, pulang aja! Ini kan, malam minggu, bisa siap-siap mau ngapel, yang punya pacar."
"Ini sengaja, aja, Pak. Laki-laki juga butuh sharing."
Sam hanya menggeleng samar sambil tersenyum, "Sudah kaya' ibu-ibu aja kalian," gumam Sam sambil berjalan masuk.
Sam memeriksa laporan harian, juga mengecek stok suku cadang yang ada.
"Saya pulang dulu, Pak."
Saking fokusnya Sam sampai berjingkat saat Agus berpamitan pulang.
"Kenapa, Pak?" tanya Agus saat melihat Sam memegangi dadanya.
"Ah, nggak. Kaget aja," Sam kini melihat kedua pekerjaannya sudah rapi mengenakan jaket masing-masing. "Hati-hati, pulangnya!"
"Siap, Pak. Bapak nggak pulang?" tanya pekerja yang lebih muda dari Agus saat Sam kembali menatap layar lipat di depannya.
"Panggil Mas, aja, Tom. Berasa tua aku kalau di panggil bapak."
"Oh, siap, Mas."
Sam sedikit tersenyum dan kembali menggeleng samar. Memang aku setua itu di panggil Pak Pak. Heran. Batin Sam.
Sampai akhirnya samar-samar, Sam mendengar perbincangan Agus dan Tomi yang masih di area loker.
"Kasihan, ya."
"Iya, kayak mau nangis tadi. Pasti surat-surat penting yang di tangisin."
"Kalau di lihat sih, kaya' mahasiswa, ya, Tom."
"Naksir kamu, Mas!"
"Gila aja. Aku udah punya Selly."
"Oh, kirain. Habis sekarang, kan, jamannya punya cadangan."
"Memang motor ada suku cadangnya? Iku sih, yang masih labil macam kowe(Sebutan dalam bahasa Jawa untuk -kamu)."
Dalam fokusnya, Sam terusik juga. Hingga akhirnya ia ikut menimpali. "Kalian ini, udah seperti ibu-ibu beneran lama-lama. Nggak jadi pulang?"
"Yaelaah, Mas. Kita di usir, nih," celetuk Tomi dengan gaya sedih di buat-buat.
"Iya, aku usir kalian! Ganggu aja soalnya."
"Kita lagi bicarain cewek yang kehilangan dompet di bengkel tadi sore, Mas. Kasian, udah aku cari-cari dimana-mana nggak ketemu. Sampai mau nangis tuh, cewek," terang Agus lalu benar-benar keluar bersama Tomi. Sedangkan Sam ikut iba mendengar cerita Agus.
Ponsel di samping laptop sudah bergetar. Dengan nama pemanggil Royan di sana.
Rupanya Royan mau mengajaknya nongkrong di Purwosari sehabis isya' nanti. Sam iyakan saja ajakan temannya itu. Malam minggu ia tak banyak acara dengan keluarga. Si kembar Reva juga tak merengek mengajaknya ke mall jadi aman.
Waktu bergulir hingga adzan Magrib, Sam lakukan dulu kewajibannya. Lalu segera kembali pada aplikasi po-nya pada supplier.
Saat pekerjaannya selesai. Sam memastikan cctv menyala dengan baik. Ia harus waspada. Terlebih, bengkel ini sudah di alihkan padanya. Ia tak mau membuat kecewa pakde Wahid karena teledor dalam hal apapun.
Tetiba Sam ingat akan cerita Agus, ia yang sudah memakai jaket kembali memerik layar cctv dan ia menemukan seorang perempuan yang terlihat kebingungan berjalan kesana kemari dengan Agus dan Tomi.
Ia lebih tercengang lagi saat menyadari wajah perempuan yang kehilangan dompetnya. Buru-buru Sam beralih mode zoom untuk memastikannya.
Ya Tuhan,
...***...
...Nah nah nahh, Nemu opo, Sam??...
...Happy weekend, man teman. maaf baru bisa up🙏...
*mohon tinggalkan jejak, ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Widya Ekasari
bengkel nya Sam
2023-02-14
0
miss©©©lee
mereka nggak nyadar kalau ada cctv
2022-12-26
1
Yusma Aryandi
Kasian Buna
2022-12-23
0