Percayalah berdiri diantara dua orang yang terlibat perasaan seperti ini sungguh tidak mudah. Itulah yang di rasakan oleh gadis bernama Nada Gantari.
Ya, Nada di masa lalu telah terlibat perasaan istimewa pada Sam, begitu juga dengan Sam. Sedangkan untuk Atar, entahlah. Ada rasa nyaman bila bersama dengan sosok itu. Namun, begitu rumit untuk Nada. Apalagi sejak ...
Nada seperti dejavu pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Runtutan berbagai peristiwa membuat dada yang sedari tadi berdetak tak seperti biasanya, kini seakan ingin meledak begitu saja.
"Ada perlu apa sampean datang ke sini?" tanya Nada pada Sam dengan menatap tajam, lalu detik berikutnya ia menunduk, melihat ujung sepatu sportnya.
Atar sendiri hanya bisa diam terpaku. Melihat Nada dan Sam bergantian. Pikirannya sedang kuat menerka sesuatu yang ia sendiri tidak tahu.
Sedangkan Sam berusaha menelan salivanya namun terasa tercekat. "Sa-saya ..."
Suara bapak yang muncul dari dalam rumah menyelamatkan Sam dari situasi mencekam baginya.
“Ini kenapa ada tamu nggak kamu suruh masuk, Nduk!”
Hardi, bapak Nada segera menyalami Sam. Ada jeda beberapa detik saat Hardi menjabat tangan dari Sam. Sepertinya pria yang di panggil Nada, bapak, setiap hari itu sedikit lupa pada Sam.
“Saya Sam, Pak. Bapak apa kabar?" tanya Sam setelah mencium punggung tangan Hardi.
Sedangkan Hardi hanya mengangguk kaku, "Alhamdulillah, sae." tapi, pikirannya sedang berusaha mengingat Sam. Hanya saja Hardi terus tersenyum ramah seperti biasanya. Bapak Nada itu memang orang yang supel dan dapat berbaur pada anak muda.
Begitupun dengan Sam, ia masih memindai Hardi yang tak seperti dulu lagi. Kulitnya lebih gelap daripada yang ia kenal dulu.
“Pak,”
Seruan Atar kini mengalihkan atensi Hardi. Lelaki yang usianya hampir mendekati paruh baya itu kini beralih pada Atar yang juga mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Maaf, ya, Atar. Harus merepotkan kamu lagi. Nada apes banget sampai kehilangan surat-surat penting. Tolong di bantu ya!” Hardi sudah tahu maksud kedatangan Atar.
“Bapak, seperti sama siapa aja. Saya sedang ada waktu longgar jadi semoga bisa membantu.”
Ada rasa aneh melihat keakraban Atar dan Hardi. Sam masih menyimak meskipun hati sudah mulai memanas.
“Ini kenapa hanya berdiri. Ayo-ayo duduk dulu!” Hardi membimbing Atar dan dan Sam untuk duduk di teras rumah.
Ada satu meja sedang dan dua kursi panjang di ujung teras. Dua lagi kursi single dari kayu juga turut berjajar di samping kursi panjang. Biasa untuk menerima tamu jika menghendaki suasana santai.
Nada sudah ke dalam. Kini Hardi duduk bersisian dengan Atar dan Sam duduk sendiri di depan Hardi.
“Jujur saya agak lupa sama Nak Sam ini, mbok bapak di ingatkan, ini teman Nada yang mana? Atau teman mengajar Na yang baru, yang bapak belum tahu!”
Sam akhirnya menghela nafas pelan dan sedikit berdehem. ”Saya teman SMA Nada sewaktu di Solo Pak, yang sering ke rumah Dika, depan rumah bapak Hardi dulu,"
Hardi berusaha mengingat dan ia baru tersenyum lepas. ”O itu! Iya-iya, saya baru ingat. Maklum sudah mulai tua saya, jadi kadang sering lupa.” Hardi mulai antusias.
“Ini berarti kenal juga dengan Atar ini?” Hardi menunjuk Atar yang duduk di sebelahnya dan Sam mengangguk sebagai jawabannya. ”Dia dari Solo juga soalnya. Dapat SK mengajar di kecamatan dekat sini juga. Dia yang kadang bantu Nada jika sedang menemui kesulitan," terang Hardi membuat nyali Sam seketika menciut. Sedekat itukah?
Kedatangan Nada membawa nampan berisi tiga cangkir teh membuat perbincangan itu terjeda. Hal itu tentu membuat Sam mengatur degup jantungnya yang tak karuan melihat wajah datar Nada.
Sam lebih terkejut lagi saat Nada ikut duduk di kursi berbeda namun masih sejajar dengannya. "‘Silakan di minum Mas, Mas.”
Terlihat Nada menatap bergantian Atar dan Sam, lalu menunduk.
Hardi tentu juga ikut menyilakan tamunya untuk meminum jamuan terlebih dahulu. Sedangkan, baik Atar maupun Sam mengangguk dan berkata iya dan mengucapkan terimakasih hampir bersamaan.
Hardi kembali memecah keheningan dengan menanyakan kemana Sam setelah lulus SMA. “Saya kuliah di luar Jawa, Pak. Ikut dimana papa saya bertugas.”
Pengakuan Sam membuat satu tangan Nada mengepal di sisi rok plisketnya.
Jadi benar kau sengaja menghilang dan membuatku berantakan.
“Sebentar, itu berarti Atar dan Sam ini juga saling mengenal,” tanya Hardi bergantian pada Sam dan Atar.
“Nggih, Pak. Dulu kami satu angkatan. Hanya berbeda ruang saja. Saya juga baru bertemu dengan Atar sekali ini setelah lulus.” Sam katakan yang sebenarnya pada Hardi dan di perkuat oleh Atar yang mengangguk membenarkan.
“Jadi, apa berangkatnya bisa di tunda dulu, Nduk? Ini seperti kawan lama baru bertemu. Masa’ iya, mau pergi cepat-cepat." Hardi merasa tak enak melihat Nada yang masih tetap diam di tempatnya.
“Na, ngikut Mas Atar aja baiknya gimana, Pak. “ Nada tak tahu jika jawabannya akan membuat hati Atar menghangat sedangkan berdesir nyeri bagi Sam.
“Ya sudah, bincang- bincang dulu sebentar ya, Atar ya. Silakan di minum dulu.”
Hardi memimpin untuk meminum teh di depannya di ikuti Atar dan Sam perlahan meraih satu cangkir berisi teh yang sudah berangsur hangat.
“Ini yang bkin Nada berbeda, kalau bikin teh. Selalu pas menurut saya.” Hardi tertawa sambil mengangkat teh lalu menyesapnya lagi. “Buatan anak sendiri ya di puji sendiri, lah, ya,” lanjut Hardi tertawa membuat Atar ikut tersenyum membenarkan bahkan juga memberikan anggukan pertanda setuju akan pendapat Hardi.
Sedangkan Sam sendiri hanya tersenyum sambil terus menyesap sedikit demi sedikit minuman beraroma melati itu penuh perasaan.
Manisnya gula dapat meredam pahitnya secangkir teh. Namun, bila secangkir teh itu masih terasa pahit, pasti gulanya yang akan di salahkan. Akan berbeda jika sebaliknya. Jika manis dalam teh itu terasa pas maka yang kan mendapat pujian itu pasti juga tehnya.
Bagaimana caranya agar kita bisa sedekat dulu? Sedangkan saat kita dekat seperti ini, kamu membuat jarak yang begitu jauh?
"Kita nanti kesiangan, nggak, ya, Mas?" tanya Nada melihat pada Atar.
Atar melirik Hardi dan Sam, merasa tak enak. "Santai saja, Na. Bisa di atur."
Nada dan Atar memang akan pergi setelah ini. "Kita akan ke rumah temanku dulu untuk memulai membuat surat kehilangan."
"Apa tidak apa-apa, menganggu teman Atar saat libur begini?" tanya Hardi ikut menimpali.
"Iya, ini hari Minggu," timpal Nada cepat.
"Walaupun hari minggu temanku justru dapat jatah piket siang. Jadi, senin baru kamu minta tanda tangan kepalanya."
Sam diam menyimak pembicaraan Hardi, Nada dan Atar, sesekali mencuri pandang pada Nada yang masih sering diam menunduk memainkan ujung jarinya.
“Oh, Nak Sam sendiri ada perlu apa sama Nada? Saya sampai baru nyadar terlalu asyik ngobrol kesana kemari, nggak enak ngomong terus tanpa kasih kesempatan pada Nak Sam." Hardi mengalihkan fokus pada anaknya, "itu toh, Nduk, di tanya, kepentingannya apa! Udah datang jauh-jauh kok nggak di tanya.”
“Ya kan, aku mau pergi juga nggak enak sama Mas Atar Pak. Kalau Mas Sam nggak bicara apa perlunya, gimana Nada tau maksudnya.”
Hardi mengernyit dan sedikit terkejut akan respon Nada yang terlihat ketus. Ia sampai tak enak pada Sam yang kini diam menunduk dalam.
“Nduk, kok-“
”Maaf, Pak.” Sam terpaksa memutus perkataan Hardi agar tak menyalahkan Nada. “Sa-saya ke sini memang ada perlu dengan Nada. Tapi melihat Nada hendak punya urusan jadi saya persingkat saja kedatangan saya. Saya minta maaf karena saya tidak membuat janji dulu dengan Nada.”
Sam mengeluarkan isi dalam tasnya lalu meletakkan dengan pelan di meja.
Satu dompet yang Nada kenali berada di atas meja. Ia terbelalak menahan tangannya yang hendak cepat-cepat meraih benda itu.
Kali ini Sam berani mengangkat wajah pada Hardi, dan sekilas melirik Nada yang kini baru mau memandangnya. “Saya ingin mengantarkan dompet Nada yang tertinggal di bengkel, Pak. Saya tidak mempunyai kontak Nada, jadi saya putuskan untuk mengantarnya saja ke alamat yang ada. Sudah lama nomor Nada tak bisa di hubungi. Jadi, maaf, memang saya tak membuat janji dulu dengan Nada.”
“Oalah, Nduk. Dompet kamu ketemu,” seru Hardi sungguh berbinar melihat benda persegi panjang itu.
Sam mengambil kembali dompet itu dan ia ulurkan pada Hardi. “Ini pak, silakan di cek dulu. Takut ada yang berkurang atau apa. Tapi saya pastikan, tidak akan berkurang satu apapun di dalamnya. Dan maaf saya sempat memeriksanya.”
Hardi terus berterima kasih, sedangkan Nada tidak tau akan berkata apa. Hanya gumaman ucapan hamdallah yang terdengar di telinga Sam.
“Nduk," Hardi melihat anaknya, mengingatkan Nada yang tak juga bersuara.
“Ah, iya. Te-terima kasih Mas Sam, saya sungguh berterima kasih.”
“Iya, sama-sama. Baiklah saya rasa saya harus pamit.” Sam berdiri hatinya lega bercampur perih melihat Nada yang begitu kaku menerima kedatangannya.
Saya tahu, kamu pasti sangat membenciku saat ini.
Hardi ikut berdiri dan sedikit terkejut atas kata pamit yang Sam ucapkan. Ia melihat pada Nada lalu pada Sam bergantian, ia justru terkejut melihat kecanggungan antara anak gadisnya dan Sam. Sungguh terlihat berbeda. Ia menoleh pada Atar yang kini juga ikut berdiri dengan wajah lega.
Sam katakan ada urusan juga agar Hardi lekas membuang rasa tak enaknya bahkan saat Hardi mengatakan rencana kepergian Nada dan Atar itu karena mau mengurus surat kehilangan atas surat-surat berharga yang ada di dalam dompet anaknya. Namun, itu tak mengubah Sam yang ingin segera pergi.
Sam pamit dengan bersalaman pada Hardi, Atar dan terakhir pada Nada dengan ragu.
Tangan dingin yang berasal dari telapak tangan Nada membuat dada Sam semakin berdesir hebat.
“Terima kasih, Mas," ucap Nada pelan.
“Saya minta maaf, ya, menganggu kamu. Silakan di lanjutkan. Permisi.”
Ada rasa sesak yang mendera di ujung mata Nada yang mulai berair. Apalagi, melihat Sam yang kini telah memakai helm dan menutup visornya. Menambah rasa sesak kian bertambah. Apa kata-kataku menyinggungnya?
...***...
...Jangan lupa untuk tinggalkan jejak, yaa....
...khamsahamnida🙏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Tatananika_Sazenka
ser ser, gitu ya dadaku
2023-02-07
0
Miss Ayyyu_ptr
ada saingan kamu Sam
2022-12-26
2
Miss Ayyyu_ptr
sae itu baik.. ya
2022-12-26
0