***
Pagi-pagi sekali Buna sudah sudah siap dengan motor matic di teras rumah yang sudah di panasi.
Sedari tadi ia sudah kesana kemari sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk ia bawa ke kampus.
Setelah berminggu-minggu sibuk dengan skripsinya, hari ini jadwalnya untuk sidang skripsi.
"Semoga lancar, Ya Allah," ucapnya di sela sarapan.
Ibunya sudah cerewet dari tadi untuk menyuruhnya sarapan. Ya, naluri seorang ibu yang takut anaknya tak bisa konsentrasi saat terpenting dalam puncak pendidikannya.
"Nurut gitu apa susahnya, sih, Na! Mau, tiap hari ibu ngomel begini? Di dengerin tetangga nggak enak." Marni, ibu dari gadis yang sering di panggil Buna di sekolah, sambil membalik bakwan di penggorengan masih terus mengomel. Sedangkan, Buna berusaha mengunyah sarapan yang berusaha ia telan. Karena memang ia tak bisa makan terlalu banyak. Ia punya asam lambung.
"Buu, udah dong ngomelnya. Ini aku udah nurut, lhoh ini." Buna menoleh pada bapak yang baru ikut bergabung di meja makan.
"Pak, sapinya di jual aja. Kasian bapak cari rumput terus." Buna iba melihat sang bapak semakin kurus dan makin menghitam kulitnya.
"Di jual nanti, kalau kamu mau wisuda," sahutnya santai sambil menyeruput teh gelas belimbing besar.
"Bapak sarapan, sekarang?" tanya Marni pada suaminya. Ia sudah selesai menggoreng, berganti mengelap piring keramik untuk di berikan pada Hardi, suaminya.
"Ya, boleh Bu," jawabnya sambil menerima piring dari Marni. "Nemenin anak wedok satu-satunya, biar makan banyak, lancar ujiannya." Hardi melirik Buna dengan sayang.
"Iya doain, Na, ya, Pak. Biar lancar tak ada revisi lagi." Buna berdiri lalu memutar kran air untuk mencuci tangan.
"Kamu nanti mau beberes kost? Sekalian pamitan sama yang punya, kan? Udah pegang uangnya?" tanya Hardi yang mulai menyendok nasi.
Buna memang ingin mengambil barang-barang yang tersisa di kamar kostnya yang sudah lama tak ia pakai. Hanya sesekali saja bila ke kampus dan pulang begitu sore atau jika cuaca sedang hujan. Hardi dan Marni sudah mewanti-wanti pada Buna agar tinggal di kosan bila cuaca sedang hujan. Karena waktu tempuh dari kampus ke desa lumayan jauh, yaitu selama satu jam perjalanan.
"Na, ada uang, kok, Pak." Buna tersenyum sambil mengaitkan tali sepatunya.
"Itu jilbabnya, mbok di pakaiin pentul yang bener, Na. Takut ganggu saat jalan nanti." Marni mendekat dan mencoba membetulkan pasmina hitam yang menjuntai di bahu Buna.
Bukan merasa terganggu tapi inilah keluarga Buna yang hangat walau ibu dan bapak selalu getol mengingatkan ini-itu. Seperti anak kecil saja. Memang sampai kapanpun, seorang anak akan menjadi anak kecil di mata orang tuanya.
"Ini karena, Na, nggak punya saudara. Jadi bapak sama ibu, tuh, manjain Na, sampai hal sekecil ini juga tetap di komentari." Buna merapikan juga pasminanya di depan cermin.
"Kamu itu anak satu-satunya, bapak, Na. Bapak jaga kamu itu dengan segenap hati bapak. Jadi wajar bapak sama ibumu selalu khawatir sama kamu."
Buna tersenyum dan meraih tangan Hardi untuk berpamitan. Lalu berganti mencium pipi Marni. "Na, pamit, ya, Pak, Bu. Doakan Na lancar."
"Aamiin," seru kedua orang tua itu.
Lalu kompak mengantar Buna di teras. Sampai disana Marni tak diam saja. Ia masih mengingatkan perihal kartu mahasiswa, SIM, KTP, uang, STNK pada anaknya.
"Udah, ibuk. Udah lengkap." Buna mengaitkan helm di kepalanya lalu menoleh pada kedua orangtuanya. "Na, pamit, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," Hardi dan Marni kompak menjawab salam. Lalu Buna mulai memutar tuas gas.
***
Sudah beberapa hari ini Sam di sibukkan dengan urusan bengkel. Jika kemarin ia masih bisa bersantai. Hari ini ia tak bisa lagi demikian. Pakde Wahid sudah sibuk dengan urusan pernikahan anaknya. Itu berarti adalah sepupu Sam.
Sam selesai memimpin meeting dengan para teknisnya juga karyawan administrasi. Tak membutuhkan waktu lama Sam sudah dapat berhubungan dengan baik dengan tim bengkelnya.
Tak rugi ia pernah ikut organisasi sewaktu masih di SMA dan mengikuti beberapa organisasi mahasiswa di kampus.
"Mau pulang, Pak?" tanya Agus, montir di bengkel yang sudah senior.
Sam yang berjalan tergesa terpaksa berhenti. "Iya, Gus. Mau ke Boyolali ini." Sam memeriksa tas berisi faktur-faktur penting lalu tersenyum pada Agus. "Nitip bengkel, ya. Nggak sampai sore aku pasti udah balik."
"Oke, Pak."
"Jangan panggil Pak, lah, Gus. Aku ini masih muda. Jadi nggak enak aku. Kita bahkan hampir seumuran."
"Ya, gimana, ya. Kalau aku panggil Mas Sam, orang lain bisa anggap lucu."
"Loh apanya yang lucu, memang itu namaku."
"Masam-nya itu lho, Pak." Agus terkekeh karena Sam tak menyadari bila sebutan mas dan Sam bila di satukan jadi arti yang berbeda.
Mau tak mau Sam ikut terkekeh juga. "Yang penting, orangnya nggak beneran masam, Gus. Orang ganteng begini." Sam sedikit membenahi rambut depannya pada spion motor yang sedang di servis Agus.
"Buat apa ganteng kalau nggak punya pacar Pak," Kali ini Agus tertawa mengingat beberapa hari yang lalu saat waktu bengkel sudah tutup dan sedang ngopi bareng Wahid dan Sam sebagai objek yang terpojok karena mantan playoy sewaktu SMA kali ini tak ada pacar di masa sekarang.
"Kita tunggu tanggal mainnya, Gus." Sam menepuk bahu Agus lalu berjalan menghampiri mobilnya.
"Gus, nanti kalau pakde Wahid datang, bilang kalau mobilnya aku bawa, ya!" Sam berteriak karena Agus sudah menghidupkan mesin gerinda untuk menge-las.
Agus mengacungkan jari jempol pada Sam. Barulah Sam melajukan roda empat itu berbaur di jalan raya.
***
"Alhamdulillah, akhirnya."
Buna memekik mengepalkan kedua tangan keatas. Betapa bahagianya setelah dua kali sidang skripsi. Akhirnya ia lolos uji juga. Dan tinggal menunggu wisuda.
"Alhamdulillah," sahut Mega memeluk Buna. Mega teman satu kost Buna ia tinggal di Boyolali, dekat waduk tengklik. Ada yang tahu?
"Ga, semoga kita nanti dapat jadwal wisuda bareng, ya." Itulah harapan Buna pada teman satu kost juga satu kelasnya.
"Biar bisa sama-sama terus. Dari awal jadi maba sampai saat wisuda." Mega menggandeng tangan Buna ke kantin kampus sembari terus bercerita tentang kegiatan di sela menunggu sidang skripsi. Rupanya Mega juga sudah mengajar di salah satu sekolah di kotanya. Beruntung sekali.
Keduanya memesan soto dan lemon tea. Mega juga mengambil satu piring plastik yang sudah ia isi dengan beberapa tahu bakso dan tempe mendoan. Sedangkan Buna sudah mencari tempat duduk.
Setelah Mega menyusul Buna keduanya melanjutkan obrolannya yang sempat terjeda.
"Aku sih, nggak kepikiran mau daftar ke kota. Masih nyaman ada di desa. Nenek udah sakit-sakitan, Ga. Bapak sama ibuk sekarang murni jadi penduduk desa. Otomatis aku juga, kan!" Buna mulai menggeser soto pesanannya di depan Mega. Keduanya duduk bersisian.
"Na, yang Minggu kemarin datang bareng sama kamu itu, serius bukan pacar kamu?" tanya Mega yang sudah kepalang penasaran. Karena saat sedang chat, Buna tak mungkin bisa mengaku. Dan ini kesempatannya.
Buna menoleh cepat pada Mega. "Kamu nggak percaya?"
"Bukan gitu. Habisnya, dia kelihatan tulus banget. Masa' iya cuma kamu anggap teman." Mega mencoba mencari kebenaran lewat raut wajah Buna yang masih menyesap lemon tea pelan.
"Entahlah, Ga." Buna tersenyum kecut. "Aku ngerasa, minder setiap dekat sama cowok. Kamu tahu itu, kan."
"Kenapa, sih, kamu nggak juga mau terbuka sama aku?" kata Mega melihat sayu pada Buna, "selama delapan semester aku kenal dan satu kamar sama kamu, nggak pernah aku lihat kamu pacaran, sih. Segitu sedihnya kamu trauma sama cowok?"
"Ya... seperti yang kamu lihat. Aku lebih nyaman bareng-bareng. Daripada berdua aja sama cowok."
"Lalu, saat sama Adit kemarin, kamu anggap dia apa dong?" cecar Mega mengingatkan Buna saat pergi nonton bersama Adit dan Feri–pacar Mega.
Buna tersenyum dan sedikit terkekeh. "Oh, soal doubel date akal-akalan kamu itu," tebak Buna tepat sasaran. "Maksa banget, sih kamu. Comblangin aku sama dia. Kalau dianya yang nggak nyaman, gimana?"
"Adit beneran suka kamu. Kamunya aja yang nggak peka. Di belain jemput hujan-hujanan ke kosan, demi apa coba? Biar kamu nggak ngulang lagi presentasi sama dosen, tau. Segitu care-nya dia ke kamu," jelas Mega berapi-api.
Buna sempat tercengang mengingat beberapa bulan yang lalu. Ia pikir, Adit begitu atas paksaan dari Mega. Ternyata memang inisiatif Adit sendiri. "Ga, ada masa lalu aku yang nggak bisa aku ceritakan ke kamu. Dan itu yang buat aku tak banyak berharap pada sebuah permata seperti Adit."
"Jadi kedekatan kalian selama ini cuma kamu anggap teman aja?" tuduh Mega lemas.
"Aku lebih nyaman seperti itu." Buna tertunduk mulai mengaduk sotonya. "Aku nggak yakin akan memulai sebuah komitmen, Ga. Nggak semua orang bisa paham akan masa lalu ku."
"Makanya cerita, Na, cerita!" Mega sampai memegang lengan Buna untuk meyakinkan jika ia dapat di percaya. "Semua orang punya masa lalunya sendiri-sendiri. Serumit atau sekelam apapun masa lalu kamu, jika ia tulus pasti dia akan terima kamu apa adanya."
Beberapa kali Adit, teman sekelas Buna ingin membuat komitmen padanya sebagai pacar. Beberapa kali pula Buna tak dapat memberikan jawabannya. Belum lagi soal Atar, kakak kelasnya sewaktu di SMA yang kini getol bertukar pesan padanya. Buna sampai bingung jika cuma mengabaikannya. Karena ia adalah sumber informasinya mengenai pekerjaannya saat ini.
"Atau kamu lebih condong sama yang nganterin kamu waktu itu?" Mega masih tak menyerah untuk membuat Buna lebih terbuka.
"Nggak tau. Aku bingung." Saat seperti ini Buna justru teringat dengan kakak kelas yang ia suka waktu itu. Seorang yang sudah ia kagumi sedari SMP saat bertanding di acara 17an antar RT di lingkungan tinggalnya dulu.
"Udah, Na. Makan yuk ,makan! Gegara beginian kamu nanti nggak nafsu makan. Janji deh, nggak maksa kamu lagi buat cerita. Tapi aku harap suatu saat kamu mau cerita meski kita nanti akan lebih sulit bertemu setelah ini."
Buna tersenyum dan mengangguk, beruntung Mega mau mengerti. Seperti di tahun-tahun sebelumnya.
***
...Tinggalkan jejak ya man teman🙏. Komentar apapun mengenai tulisan atau alur cerita ini sangat saya harapkan....
...Ingin tahu penulis lebih dekat bisa merapat di igeh @rna.darkchoco.14...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Tatananika_Sazenka
ya betul, anak satu-satunya
2023-02-06
1
miss©©©lee
trauma apa sih,, sampai nggakau dekat dengan cowok
2022-12-18
1
Miss Ayyyu_ptr
hari ini update gk
2022-12-15
2