"Masih lama kah?" Hadi terlihat pucat, setelah turun dari pesawat.
"Mau makan dulu kah?" Chandra khawatir Hadi drop karena perjalanan kali ini. Ia tahu Hadi tidak biasa berpergian jauh, apalagi menggunakan pesawat.
"Nanti aja sih, Bang. Di rumah aja. Aku udah tak sabar." Ceysa menggoyangkan lengan kakaknya.
"Mual." Hadi mengusap ulu hatinya.
"Ayo ke kamar mandi dulu." Chandra mengambil opsi lain.
"Aku ikut, Bang. Aku tunggu depan kamar mandi aja deh." Ceysa tidak mau terpencar, karena mereka akan memakan waktu yang lama kembali untuk bertemu.
"Ayo." Chandra merangkul adiknya.
"Perjalanannya masih lama kah, Bang?" Hadi menyetarakan langkahnya dengan Chandra.
"Satu jam aja. Kuat dong, Di. Gimana nanti sambil bawa beban tiga kilo?" Chandra melirik Hadi dengan tersenyum kecil.
"Tak bisa kah taruh di kabin pesawat, atau dimasukan ke tas jinjing aja?" Hadi bukan keberatan dengan beban tersebut, tapi jika benda tersebut fleksibel, ya sebaiknya diletakkan di tempat yang mudah untuk dibawa saja.
"Coba kau kira-kira aja ya? Kalau menurut kau cukup diletakkan di tas jinjing atau masuk ke kabin, ya kau taruh lah kalau kau tega. Itu milik kau juga, bukan milik Abang." Chandra tertawa geli meresponnya.
Tentu saja, hal itu membuat Hadi semakin bingung. Tahun lalu ia merasa tidak meninggalkan apapun di sana, ia tidak merasa memiliki barang tiga kilo yang ia tinggalkan.
"Hadi tak akan tega." Ceysa terkekeh dengan melongok ke arah Hadi.
"Memang itu apa?" Hadi menggaruk kepalanya.
"Nanti Hadi tau kok." Ceysa tak ingin Hadi mengetahui lebih dini.
Hadi terlihat sudah lemas, dalam perjalanan darat itu. Ia bahkan menutup matanya untuk terlelap, agar rasa mualnya tidak menjadi lonjakan untuk menguras perutnya.
"Alhamdulillah." Ceysa membuka pintu mobil.
Hadi membuka matanya, jam mengedarkan pandangannya kemudian membuka pintu taksi tersebut. Ia menoleh ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya ia singgah ke sudut pagar untuk meludah. Ia kembali mengusap-usap perutnya, dengan berjalan menghampiri Ceysa.
"Lemes, Cantik." Hadi sedikit membungkuk, dengan menyandarkan kepalanya ke bahu Ceysa.
"Ayo masuk." Ceysa mengusap pelipis Hadi, kemudian ia melangkah mengikuti kakaknya yang sudah mendahului.
"Muntah tak keluar tuh, mual-mual setengah mati dari tadi. Udah samarasa, Ceysa." Hadi menegakkan badannya dan berjalan dengan menggandeng tangan Ceysa.
"Akan terbayar kok. Maaf ya, Hadi? Setahun ini Ceysa nunggu Hadi datang, tapi Hadi tak datang-datang. Hadi di-chat kapan datang, tak respon sama sekali. Ditelpon Ceysa, Hadi tak angkat sama sekali." Ceysa melirik Hadi yang nampak lemas dan pucat.
"Ya Hadi juga minta maaf." Hadi mengeratkan genggamannya pada tangan Ceysa.
"Cuci tangan dulu." Chandra menunjuk wastafel yang berada di sisi kanan rumah.
Hadi dan Ceysa mengangguk. Hadi malah sekalian mencuci wajahnya, agar ia merasa sedikit segar karena dinginnya air. Hadi merasa tersiksa dalam perjalanan, ia tidak kuat dalam perjalanan terlalu lama.
Tangis lepas bayi terdengar jelas saat Chandra membuka pintu rumah tersebut. Hadi yang tengah menikmati terpaan angin pada wajahnya yang basah karena angin, sontak saja bingung mendengar tangis bayi tersebut.
Dahinya mengkerut, tapi kakinya tetap melangkah saat pintu rumah tersebut semakin terbuka lebar. Bertambah kebingungannya, kala Chandra keluar dari rumah masa ia ingin memasuki rumah. Bertambah rumit teka-teki di pikirannya, karena bayi yang tengah mulai tenang dalam tangisnya itu berada di dekapan Chandra.
Chandra mengarahkan bayi tersebut pada Hadi dengan tersenyum lebar. "Ini beban tiga kilonya, mau dimasukkan ke tas jinjing atau ke kabin aja?"
Hadi masih bingung, sampai ia menyadari bentuk wajah bayi tersebut begitu mirip dengannya. Namun, ia masih belum mengerti tentang hubungan bayi itu dengan dirinya.
"Ini?" Hadi tidak bisa merangkai pertanyaannya, tapi ia sudah mengambil alih bayi tersebut.
"Kamar 280 hotel Loxyvoxy." Ceysa memberikan gambaran tentang terjadi pembuahan itu.
"Loxyvoxy?" Hadi menoleh ke arah Ceysa dengan memicingkan matanya.
"Masih keluar tak ASI-nya, Dek? Rewel dari semalam itu, tak taunya pagi dapat kabar pada mau pulang," seru Keith dengan berjalan dengan membawa botol dot milik Dayyan.
"ASI?" Hadi melirik Ceysa dengan tatapan aneh. Karena hanya Ceysa yang kelak menjadi seorang ibu, hanya dia perempuan di sini.
"Mau ketemu ayahnya sih." Ceysa menjawab dengan menoleh ke arah Hadi.
"Ayahnya?" Hadi terbingung-bingung seorang diri.
Rintihan bayi yang ingin sekali menikmati ASI itu begitu lirih, mata bayi itu terbuka dengan mulut mencari sumber energinya.
"Duduklah sini." Chandra menggiring semua orang untuk duduk di sofa.
"Ini, Dek." Keith memberikan botol dot tersebut pada Ceysa.
"Makasih ya, Bang Keith?" Ceysa menarik Hadi untuk duduk beriringan bersamanya.
"Coba kasih dotnya, Ceysa. Kasihan dia." Hadi mengusap-usap pipi anak laki-laki tersebut, sayangnya anak tersebut malah mencari keberadaan jari Hadi mengira bahwa itu adalah dot susunya.
Namun, anak itu menolak ketika karet buatan itu menempel di mulutnya.
"Sini, Di." Ceysa mengambil alih Dayyan dari dekapan ayah kandungnya.
"Penutupannya di mana, Dek? Biar Abang ambilkan." Chandra tidak mau Ceysa mengASIhi Dayyan di depan mata semua orang.
"Di lemari Dayyan yang paling atas, Bang." Ceysa mengayunkan tubuh bayi tersebut, dengan menepuk-nepuk pelan agar bayi tersebut nyaman di pelukannya.
Hadi menahan napasnya, saat melihat bayi tersebut mulai menikmati ASI dengan apron penutup menyusui tersebut. Ia tidak habis pikir, dengan keadaan ini. Kenapa Ceysa bisa menyusui bayi itu? Lalu datang dari mana bayi tersebut?
"Ceysa…." Hadi menyentuh paha Ceysa yang terlapisi baju langsungan dengan resleting di bagian dada tersebut.
"Eummmm?" Ceysa menoleh ke arah Hadi.
"Ceysa, dapat dari mana dia ini?"
Jelas saja Chandra, Ceysa dan Keith memasang raut bingung dengan memperhatikan Hadi. Mereka berpikir, apa Hadi sepolos itu?
"Kau ingat masa kau liburan di sini tahun lalu?" Chandra langsung mengajukan pertanyaan.
"Waktu itu, Saya yang jemput di bandara," tambah Keith kemudian.
Hadi mengangguk. "Yang aku sama Sekar itu kan?"
"Iya, betul," sahut Ceysa cepat.
"Terus?" Hadi mulai terbingung-bingung kembali.
"Hadi ingat kamar hotel 280? Hadi waktu itu masih sadar. Hadi bilang, aku yang paling dekat aja soalnya udah gerah betul."
Hadi mengangguk. "Terus?"
"Yang anter Hadi itu Ceysa." Pertanyaan langsung Ceysa kemukakan.
Hadi langsung menelan ludahnya. Ia merasa ada kesalahan di saat itu juga, karena keadaannya yang sudah tidak bisa dikendalikan.
"Sekar mabuk parah, dia bahkan udah pulas pas masih di meja," tambah Chandra kemudian.
Hadi teringat malam panasnya, sampai di esok harinya ia merasakan berkemih dengan rasa sakit. Ia paham, ia melepaskan keperjakaannya kala malam itu. Hanya saja, cahaya yang kurang membuatnya tidak bisa memastikan dengan jelas siapa wanita yang tengah ia gauli. Aroma tubuh yang ia rekam jelas di ingatannya, memang familiar di hidungnya. Pantas saja, ia begitu tidak yakin saat Sekar mengadukan perbuatannya kala ia sudah sadar.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Red Velvet
Ceysa sebenarnya gak mau nyembunyiin ini dari Hadi, tp Hadi yg polos dikelabui oleh Sekar sehingga membuat Hadi tak merespon Ceysa lagi. Saat lebaran ini Hadi yg kembali seperti Hadi yg dulu setelah diajak ngobrol sama bang Chandra membuat Ceysa jd percaya diri dan yakin lagi buat bawa balik Hadi dan memberitahukan ttg anak mereka. Senangnya kalau mereka segera bersatu🥰
2022-12-21
1
liatina
akhirnya terjawab sudah ya di,beban tiga kilonya
2022-12-20
2
Edelweiss🍀
Akhirnya Hadi mengetahuu kebenarannya juga, cuma memang gak bisa serta merta dibawa balik. Karena tempat tinggal mereka kan ada sanksi yg berlaku walau maksiat dilakukan diluar daerah😥😥😥
2022-12-20
2