"Memang kak Shauwi tak mudik kah, Bang?" Chandra menoleh ke samping kirinya.
"Tak balik, mak meugang sehari sebelum puasa itu udah balik. Eh, betul tak? Tak paham tradisi di sana." Keith menggaruk kepalanya bingung.
"Iya, Bang. Sehari sebelum puasa dan sehari sebelum lebaran, mak meugang." Chandra pun memikirkan rengekan ibunya yang memintanya untuk pulang. Sayangnya, ia terlampau bingung dengan keadaannya sekarang. Ia memiliki bayi di rumah ini, ia tidak bisa pergi ke mana-mana dengan membawa bayi, apalagi membawa bayi itu pulang, dengan statusnya yang belum menikah.
"Dua hari lagi lebaran, Bang. Malam ini yakinkan diri Abang, besok kalau jadi ya Saya jemput Dayyannya. Nanti Dayyan Abang jemput lagi di rumah Saya, kalau Abang udah sampai di sini." Keith hanya mencoba membantu Chandra semampunya. Ia tahu kesedihan hari lebaran tanpa keluarga, apalagi ini pertama untuk Chandra.
"Abang keberatan tak?" Chandra khawatir itu malah membebani orang lain, ditambah lagi Keith memiliki satu bayi yang baru berusia enam bulan di rumahnya.
"Tak, makanya nawarin." Keith yakin, pengasuhnya pun bisa membantu istrinya untuk mengurus Dayyan.
"Ya udah nanti besok pagi aku telepon biyung dulu, Bang. Kalau jadi, nanti aku antar Dayyan ke rumah Abang aja langsung." Chandra masih memikirkan tentang hal ini.
Ia khawatir gerak-geriknya dipahami oleh orang tuanya.
"Oke, sip. Maaf malam-malam ganggu ya, Bang? Soalnya tadi sekalian lewat, Saya baru pulang dari kantor." Keith bangkit dan menggulung lengan kemejanya.
Chandra pun bangkit dengan memasang senyum ramahnya. "Ya tak apa kok, Bang. Saya belum tidur juga." Ia berniat mengantar Keith sampai terus rumahnya.
"Saya pamit dulu, Bang." Keith langsung undur diri.
"Iya, Bang. Ati-ati, udah malam." Chandra melangkah mengantar Keith sampai ke teras rumahnya.
Tin….
Klakson dibunyikan, seiring keluarnya mobil tersebut dari halaman rumah itu. Chandra mengangguk dan tersenyum samar, mengantar kepergian mobil tersebut.
Setelahnya, ia masuk kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu rumah tersebut. Langkahnya berlanjut sampai kamarnya, lalu berhenti di ranjang dan ia kembali memeluk bayi laki-laki tersebut.
Pengurus rumah langsung keluar dari kamar, kemudian menutup pintu kamar Chandra dengan perlahan. Ia tahu, bahwa anak majikannya tengah lelah pikiran.
Esok paginya, setelah sarapan ia langsung memberikan Dayyan pada mbak Yani. Ia duduk di teras rumah, kemudian menghubungi ibunya. Ia sengaja mengamankan Dayyan lebih dulu, agar ibunya tidak mendengar suara bayi jika Dayyan tiba-tiba menangis.
"Biyung…." Nada ceria ia berikan, kala panggilan teleponnya tersambung.
"Iya…." Canda, ibu kandung Chandra menyahuti dengan nada serupa.
"Baiknya aku pulang apa tak ya?" Penuturan Chandra, langsung membuat hati ibunya berbunga-bunga.
"Pulang dong, adik-adik kau udah kumpul semua. Udahlah, jangan terlalu meratapi gagal wisuda. Ayah bisa belikan wisuda untuk kau kok." Keceriaan ibunya membuat Chandra tertawa geli.
"Lancang!" Suara lantang itu dikenal Chandra.
"Ayah mana, Biyung? Aku mau ngomong sama ayah." Chandra yakin jika berbicara dengan ibunya malah bertambah panjang ceritanya.
"Ayah Givan, nih Bang Chandra mau ngomong." Di tempatnya sana, Canda memberikan ponselnya pada Givan.
"Ya, Hallo. Gimana? Udah meratapi wisuda gagalnya?" sindir Givan kemudian.
"Tak, Ayah. Cuma ya…. Sulit menerima aja." Sebenarnya sama sekali Chandra tidak memikirkan pendidikannya. Karena ia malah lulus dengan nilai yang cukup baik.
"Dibawa enjoy aja." Hanya itu yang Givan ucapkan, ia tidak tahu ingin menyemangati seperti apa. Karena, ia tidak pernah merasakan di posisi Chandra. Itu yang ada di pikiran orang tua tersebut.
"Kalau aku pulang masih boleh tak, Yah?" Canda tersenyum kala mengatakan hal itu.
"Boleh kok, masih ada kuota kamar. Rumah kau memang ditempati adik-adik perempuan kau yang dijemput dari pesantren, tapi di rumah ada kamar kok."
Chandra terkekeh, mendengar jawaban ayahnya. Ia tahu rumahnya pasti begitu ramai, karena ia memiliki keluarga besar.
Belum lagi rumah orang tuanya menjadi tempat berkumpul tahunan, kala merayakan lebaran. Karena, ayahnya adalah anak tertua dari kakek dan neneknya yang telah tiada.
"Siap, Yah." Chandra langsung bangkit dari kursi terasnya.
"Kau puasa tak?" Satu pertanyaan ayahnya mengurungkan niatnya untuk berpamitan dalam panggilan telepon tersebut, karena ia berniat lekas bersiap-siap.
"Puasa lah, Yah. Mau full dong, dapat hadiah apa aku?" tukasnya sembari duduk kembali di kursi teras tersebut.
"Ya nanti lebaran dikasih seratus ribuan yang puasanya full," jawab Givan dengan terkekeh geli.
"Hmm, seratus." Chandra menghela napasnya.
"Ya udah cepat, pesan tiket dulu. Khawatir udah pada penuh. Nanti Ayah kirim untuk ongkosnya."
"Tak usah, Yah. Aku ada uang kok." Chandra merasa dirinya sudah berpenghasilan sendiri.
"Ya udah, ati-ati ya? Assalamualaikum." Givan langsung menutup panggilan teleponnya.
"Wa'alaikum salam." Setelah itu, Chandra langsung membeli tiket pesawat secara online.
Ia baru tahu, penerbangan tercepat akan dilakukan beberapa jam lagi. Setelah ia sukses untuk mengambil penerbangan yang akan dilakukan pukul dua belas siang itu, ia langsung bergegas untuk berkemas dan memasuki ranselnya yang berisi beberapa alat-alat elektroniknya dan dokumen yang akan ia perlukan di penerbangannya.
Setelah itu, ia langsung membawa bayi tersebut ke rumah Keith. Karena mbak Yani sudah membeli tiket pesawat untuk kepulangannya esok jauh-jauh hari, maka karena itu Chandra pusing memikirkan bayinya akan dititipkan ke siapa jika ia pulang juga. Untungnya, ada Keith yang menawarkan diri untuk mengasuh Dayyan sementara Chandra pulang untuk menikmati hari lebarannya bersama keluarganya.
"Bang, aku usahakan pulang cepat." Chandra menyerahkan Dayyan ada Keith.
"Lama pun tak apa, tenang aja. Pengasuh di sini tak balik kok." Keith tidak hanya memberikan kalimat penenang, tapi itulah faktanya.
"Ayo antar dulu ke bandara, Bang. Penerbangan aku bentar lagi." Chandra melirik ke arah jam tangannya.
"Ayo, ayo. Bentar ya?" Keith masuk ke dalam rumah dengan membawa Dayyan. Chandra bergerak untuk mengeluarkan perlengkapan milik Dayyan dari dalam mobilnya.
Setelah itu, mobil langsung melaju kencang mengantarkan Chandra ke bandara. Chandra sedikit khawatir dirinya tidak memiliki cukup waktu, karena penerbangan dari rumahnya memiliki waktu tempuh sekitar satu jam setengah.
Namun, ia bersyukur karena ia tidak tertinggal pesawat. Ia langsung mengurus dan menunjukkan tiket onlinenya, kemudian ia diminta segera untuk memasuki pesawat yang akan mengantarnya.
Sebelum ia mengaktifkan mode penerbangan tersebut. Ia menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan pada kekasihnya yang semalam bertengkar dengannya tersebut.
[Jemput aku di bandara enam jam lagi.] Chandra hanya memperkirakan waktu, karena keterangan dalam tiket penerbangannya adalah lima jam empat puluh menit.
[Bandara mana?] Untungnya Chandra belum mengaktifkan mode penerbangannya kala mendapat balasan dari Izza.
[BTJ, Sultan Iskandar Muda.] Setelah membalas, Chandra langsung mengaktifkan mode penerbangannya.
Izza bergegas dari sekarang, karena perjalanan dari desanya ke bandara tersebut adalah enam jam tiga puluh dua menit. Ia khawatir Chandra marah-marah, karena ia membuat Chandra menunggu di bandara.
Ia begitu bersemangat, karena ia akan bertemu dengan kekasihnya. Terakhir ia bertemu dengan kekasihnya, saat lebaran tahun lalu. Ia tidak mempermasalahkan jauhnya lokasi ia harus menjemput Chandra, karena dengan perjalanan yang panjang ia akan memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Chandra.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Mafa
yah..... kenapa papa adi sm mama dindanya dibikin g ada kak😭
2023-01-10
1
khair
wah... kok?? dalam 7 tahun semua dah gk ada?? sedih
2022-12-12
4
Ahmadfadli Pratama085
kk kok kayak kurang srek y sama izza klau Candra sama izza kayaknya kisah y lurus aja gitu . klau bisa Candra dapat pasangan yg tegas dan agak2 gimana gitu kk . mukin kayak almarhum nenek y mama dinda biar bica satu kompak sama biyung canda
2022-12-12
4